Kandasnya
usulan dana aspirasi (Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan
Daerah/P4D) Rpi5 miliar per anggota DPR, rupanya tidak membuat Golkar
kehilangan proposal cadangan.
Jajaran
elite partai berlambang pohon beringin itu, hari-hari ini giat
meyakinkan publik dan mitra koalisinya ihwal urgensi alokasi dana
pembangunan sebesar Rpl miliar untuk setiap desa/kelurahan di seantero
negeri. Di tataran substansi, Golkar mendengungkan gagasan besar di
balik usulannya membangun Indonesia dari desa sebagai basis terendah
pemerintahan dan locus kehidupan masyarakat.
Untuk
itu, negara-melalui instrumen fiskal-harus terus memperbesar alokasi
transfer bagi pembiayaan pembangunan desa. Kalau dalam kasus dana
aspirasi, pendekatannya adalah daerah pemilihan (dapil), maka proposal
baru ini menggunakan pendekatan berbasis program pembangunan.
Namun,
dalam manajemen sektor publik, modal gagasan besar dan -niat baik
tidaklah cukup. Berbagai segi penting- terutama di level teknokratik dan
operasional-menjadi variabel penting yang berpengaruh atas pencapaian
gagasan tersebut.
Jika
tidak, para kritikus dan lawan politik melihat usulan tadi hanya
sebagai siasat politik Golkar bagi keuntungan politiknya dalam membangun
basis dukungan dari level terendah, tetapi dengan membonceng fasi
litas/sumber daya negara.
Model pembiayaan
Selama
ini-khususnya pada era otonomi-terdapat dua jenis pembiayaan
pembangunan desa yakni alokasi dana desa (ADD) dan bantuan langsung
masyarakat (BLM) sebagai program sektoral sejumlah kementerian. Dari
kedua sumber tadi, hanya ADD yang masuk ke APBDes. Dana tersebut
bersumber dari transfer kab/kota berdasarkan usulan RPJMDes, dan
pengelolaannya oleh kepala desa (government driven).
Pada
sisi lain, BLM menghindari proses pengelolaan yang birokratis. Jenis
program berbasis usulan masyarakat, dana mengalir langsung ke kelompok
target yang dikelola secara partisipatif {community driven
development/CDD) dan menjadi stimulan peningkatan kesejahteraan.
Program
PNPM Perdesaan, misalnya, kini menjangkau sekitar 12.045 desa di
seluruh Indonesia. Demikian juga program desa mandiri energi Kementerian
ESDM, bedah desa tertinggal Kementerian PDT, dll. Dari kedua model
pembiayaan tadi, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah pola mana yang
akan diikuti Golkar ataukah ada suatu opsi baru tersendiri? Kalau pola
ADD,
berarti distribusi dana itu mesti masuk APBD kab/kota. Lalu sesuai
rencana program (RPJMDes) diteruskan dalam skema dana perimbangan ke
APBDes. Jika mengikuti pola BLM, pintu masuknya adalah kementerian dan
menjadi bagian dari anggaran sektoral yang bersumber APBN.
Apa
pun pilihannya-termasuk kalau Golkar i punya opsilain-kita berharap
dana desa itu tidak masuk ke pos legislatif (mirip pola dana aspirasi),
lalu secara gelondongan disalurkan ke dapil/konstituen (pork-barrel).
Catatan penting terkait persoalan tersebut, pertama, visi keadilan dalam
kebijakan publik potensial dicederai oleh model program sama rata-sama
rasa. Kalau setiap desa/kelurahan mendapat jatah Rpl miliar, alokasi ini
jelas bias Jawa.
Dari
total 71.000 desa/ kelurahan di Indonesia, sekitar 40% berada di Pulau
Jawa. Niat membangun Indonesia dari daerah atau program pemerataan
pembangunan daerah (P4D) tadi justru sulit terwujud lantaran semakin
lebarnya celah kesenjangan regional (Jawa-luar Jawa) yang selama ini
saja sudah bertaraf ekstrem.
Kedua,
pola gelondongan dan pukul rata jumlah alokasi bisa berujung
destruktif. Selama ini, praktik anggaran di level desa/daerah belum
optimal, baik karena kapasitas daya serap anggaran yang lemah,
malaprak-tik dan inkompetensi pelaksanaan program, hingga korupsi.
Tanpa
terlebih dulu membe-nah sisi teknokrasi anggaran- terutama kelembagaan,
personel dan manajemen proyek-maka dana sebesar apa pun tetap sulit
menyentuh kebutuhan riil warga dan berpotensi macet di tangan segelintir
aparat desa (elite capture).
Ketiga,
problem koordinasi dengan program/pembiayaan lainnya. Harus diakui,
sama halnya di level nasional/daerah. problem fragmented planning juga
terjadi di desa. Dalam skema sektoral, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, aneka kementerian memiliki intervensi program hingga desa.
Terlepas dari kalkulasi politik tertentu, gagasan Golkar itu memberikan
pesan lebih tegas soal local economic development (LED) sebagai
paradigma dan strategi baru membangun Indonesia.
Sebagai
partai "ide", Golkar melangkah semaju di depan partai-partai lainnya,
dan secara politik pasti memberikan kredit tersendiri di mata daerah.
Namun, dalam suatu kebijakan publik, the devil is on the details,
sehingga setiap gagasan politik mesti teruji pula dari sisi
teknokrasi/operasional.
Dalam
konteks itu-sembari dirumuskan formula yang terorganisasi dan menjamin
keadilanatau efektivitas implementasi menurut hemat saya eksperimentasi
gagasan tadi bisa mulai dengan penguatan fiskal bagi program BLM yang
ada. Melalui wakil di parlemen, sejumlah kementerian diupayakan menambah
alokasi anggaran untuk sektor perekonomian dan infrastruktur perdesaan,
terutama di luar Jawa. Setelah itu, tugas partai adalah menguatkan
kapasitas gugus-gugus tugas di desa (dimotori kader-kadernya) agar bisa
mengelola program secara efektif.
0 comments:
Post a Comment