Secara umum di Indonesia, desa atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa daerah setempat dapat dikatakan sebagai suatu
wilayah terkecil yang dikelola secara formal dan mandiri oleh kelompok
masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturan-aturan yang disepakati
bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan
kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab
bersama kelompok masyarakat tersebut.
Dalam sistem
administrasi negara yang berlaku sekarang di Indonesia, wilayah desa
merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga camat menjadi
"instrumen" koordinator dari penguasa supra desa, yakni Negara melalui
Pemerintah dan pemerintah daerah, terhadap desa-desa yang ada di dalam
wilayah kecamatan. Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem
pemerintahan yang menguasai seluruh bumi nusantara sebagai suatu
kesatuan negara, urusan-urusan yang dikelola oleh desa adalah urusan-urusan
yang memang telah dijalankan secara turun temurun sebagai norma-norma
atau bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga menjadi suatu
bentuk hukum yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat
desa, yang dikenal sebagai hukum adat. Urusan yang dijalankan
secara turun temurun ini meliputi baik urusan yang hanya murni tentang
adat istiadat, maupun urusan pelayanan masyarakat dan pembangunan (dalam
administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan pemerintahan), bahkan
sampai pada masalah penerapan sanksi, baik secara perdata maupun pidana.
Urusan yang demikian, dalam teori dan praktek sistem
pemerintahan daerah di Indonesia, selama ini dikenal sebagai "urusan
asal-usul".
Dalam perkembangannya, setelah terbentuknya Negara Republik Indonesia, urusan
desa menjadi bertambah, antara lain dengan masuknya urusan-urusan yang
timbul karena adanya pemerintahan negara sebagai kekuasaan supra desa.
Dalam hal ini Pemerintah, baik secara langsung dan dengan tugas
pembantuan ataupun melalui pemerintah daerah dengan desentralisasi
otonomi, memerlukan bantuan dari desa untuk menyelenggarakan
urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan di tingkat "akar rumput"
(grass roots).
Deskripsi
di atas disimpulkan secara umum dari kondisi serta pengaturan yang
pernah ada sejak masa sebelum datangnya kekuasaan penjajahan kolonial
hingga saat ini. Berbagai periode kekuasaan dan pengaturan telah dilalui
oleh desa dalam perjalanan yang sangat panjang. Dalam hal pengaturan,
disamping tumbuh dan berkembangnya adat istiadat serta prakarsa
masyarakatnya, berbagai kepentingan politik penguasa di tingkat supra
desa telah pula ikut mewarnai pengelolaan desa dan masyarakatnya. Namun
demikian, karena pada dasarnya keberadaan desa sangat tergantung pada
kehendak masyarakat pengelolanya, maka sistem pengelolaan desa yang
berkembangpun menjadi sangat beragam.
Dalam
literatur modern di Indonesia, sistem pengelolaan desa secara formal
tercatat sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda dengan
dikeluarkannya dua peraturan perundang-undangan, yaitu: Staadsblad No.
83 Tahun 1906 tentang Indische Gemeente Ordonantie (IGO) yang berlaku
bagi desa-desa di pulau Jawa dan Madura, dan Staatsblad No. 683 Tahun
1938 tentang Indische Gemeente Ordonantie Buitengevesten (IGOB) yang
berlaku bagi desa-desa di luar pulau Jawa dan Madura. Kedua peraturan
tersebut banyak "menyerahkan" persoalan masyarakat desa kepada hukum adat masing-masing.
Kemudian
setelah merdeka, konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Undang-undang Dasar (UUD) 1945 (sebelum amandemen) dalam Penjelasannya
mencantumkan:
Dalam
teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende
landschappen dan volkgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali,
nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.
Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Dalam paragraf berikutnya dari Penjelasan UUD 1945 tersebut, dinyatakan:
Negara
Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa
tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah itu akan
mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Atas
dasar Penjelasan UUD 1945 inilah, 3 tahun kemudian dibuat pengaturan
tentang desa yang dimasukkan ke dalam UU No. 22 Tahun 1948 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dimana desa digolongkan sebagai
pemerintah daerah tingkat III. Penjelasan umum UU No. 22 Tahun 1948
menyebutkan alasan untuk mengatur desa sebagai daerah tingkat ketiga:
Menurut
Undang-undang pokok ini, maka daerah otonoom yang terbawah ialah desa,
negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti bahwa desa ditaruh
kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya
sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah
mengerti, bahwa desa itu adalah sendi negara, mengerti bahwa desa
sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala-segalanya, diperkuat
dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan.
Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap
statis (tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini,
Gemeente-ordonnantie adalah tidak berarti apa-apa, karena desa dengan
hak itu tidak bisa berbuat apa-apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan
dan oleh ordonnantie itu diikat pada adat-adat, yang sebetulnya didesa
itu sudah tidak hidup lagi.
Malah
sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya
adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa,
hanya oleh karena kepentingan penjajah menghendaki itu.
Perkembangan
selanjutnya, dibawah rezim Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 diganti dengan Undang-Undang No. 1 Tahun
1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Dalam Penjelasan Umum
undang-undang ini (Ad. 2) dinyatakan:
Hal-hal
yang disinggung ini tidak dapat kita lepaskan dari pengertian setempat
mengenai kesatuan-kesatuan masyarakat yang paling bawah, yang kita
namakan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum. Kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum ini bentuknya bermacam-macam di seluruh Indonesia ini. Di Jawa
namanya Desa dan Desa itu adalah satu macam kesatuan masyarakat hukum
yang tidak lagi terbagi dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum bawahan
dan tidak pula Desa itu merupakan bahagian dari lain kesatuan
masyarakat hukum menurut adat, sehingga desa itu berdiri tunggal,
mempunyai daerah sendiri, rakyat sendiri, penguasa sendiri dan mungkin
pula harta benda sendiri, sedangkan hukum-adat yang berlaku di dalamnya
adalah sesungguhnya "homogeen". Lain coraknya umpamanya di Tapanuli, di
mana kesatuan masyarakat hukum-adat itu mempunyai bentuk yang
bertingkat, umpamanya Kuria sebagai kesatuan masyarakat hukum-adat yang
tertinggi dan merupakan satu daerah, mempunyai di dalamnya sejumlah
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat bawahannya, yang dinamakannya
Huta, yang masing-masing mempunyai sekumpulan rakyat sendiri, satu
penguasa sendiri dan mungkin pula mempunyai daerah sendiri sebagai
bahagian dalam daerah kuria itu, sehingga adapula huta-huta yang tidak
mempunyai lingkungan daerah itu dalam daerah kurianya sendiri.
Meskipun
demikian juga dalam setiap kesatuan kuria itu berlaku hukum adat yang
"homogeen". Contoh yang lain ialah Minangkabau, dimana didapati kesatuan
masyarakat hukum tertinggi yakni Nagari, yang masing-masing mempunyai
daerah sendiri sedangkan dalam daerah itu dijumpai sejumlah suku-asal,
yang masing-masing suku merupakan pula satu kesatuan masyarakat
hukum-adat yang terbawah. Juga kesatuan masyarakat hukumnya yang bernama
Suku itu mungkin mempunyai daerah sendiri atau tidak dalam lingkungan
nagari itu. Syarat belakangan ini, mempunyai daerah sendiri adalah
syarat mutlak dalam sistim otonomi, yang memberikan kekuasaan kepada
sekumpulan rakyat yang berdiam dalam suatu lingkungan yang nyata.
Dengan
demikian nyatalah bahwa bagi tempat-tempat yang serupa ini sulit kita
untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang
ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu
secara tindakan baru kepada kabupaten di bawah Propinsi, atau
menciptakan dengan cara bikin-bikinan wilayah administratief dalam
kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam
prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara
bikin-bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan
kita berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu
masyarakat yang sungguh mempunyai faktor-faktor pengikut kesatuannya.
Sebab
itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat
diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat
dahulu. Berhubung dengan hal-hal adanya atau tidak adanya
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum-adat sebagai dasar bekerja untuk
menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi bahwa urusan
otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukum-adat, sehingga manakala
sesuatu kesatuan masyarakat hukum-adat dijadikan menjadi satu daerah
otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu
tidaklah berarti, bahwa tugas-tugas kepala-kepala adat dengan sendirinya
telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi-segi hukum-adat yang
bercorak ketata-negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat
hukum-adat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud
bersepadanan dengan kekuasaan ketata-negaraan yang tersimpul dalam
pengertian otonomi itu.
Kesanggupan
melihat perbedaan itu, yaitu perbedaan antara otonomi dan kekuasaan
adat adalah suatu syarat penting untuk menjalin hidupnya otonomi itu
secara yang memuaskan, keseluruhan rakyat yang mau tak mau masih
terkungkung dalam sistim hukum-adat itu.
Dalam
perkembangan selanjutnya yang dimaksud dengan pemerintah daerah tingkat
III berubah dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan
Daerah. Undang-undang ini menyebutkan bahwa yang disebut sebagai Daerah
Tingkat III adalah Kecamatan/Kotapraja. Namun karena persoalan desa
tidak diatur di dalamnya, sebagai pendamping bagi Undang-Undang No. 18
Tahun 1965 tersebut dikeluarkan pula Undang-Undang No. 19 Tahun 1965
tentang Desapraja, yang mengatur, bahwa desapraja tidak dianggap sebagai
tingkat pemerintahan daerah sebagaimana halnya Provinsi,
Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan, karena dianggap memiliki perbedaan
mendasar, yakni adanya otonomi asli yang sudah hidup secara turun
temurun dan menyatu dalam kehidupan masyarakat sebelum terbentuknya
Negara. Namun sayangnya, karena alasan politik tertentu dari penguasa
pada saat itu (rezim Orde Baru), keberlakuan Undang-undang tentang
Desapraja ini ditangguhkan, yang menyebabkan selama lebih kurang 14
tahun sampai munculnya UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa,
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang desa menjadi
"kosong". Dalam situasi kekosongan hukum tersebut, praktis hanya hukum
adatlah saat itu yang menjadi pegangan bagi kesatuan masyarakat yang
hidup di desa, mirip seperti sebelum berkuasanya pemerintah kolonial di
bumi Nusantara. Seperti alasan dipisahkannya pengaturan tentang desa
dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 dari pengaturan tentang Pemerintah
Daerah dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang
Pemerintahan Desa juga dimaksudkan sebagai pendamping bagi UU No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dalam mengatur
pengelolaan wilayah masyarakat terkecil secara formal. Akan tetapi,
meskipun dalam perumusannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 mengakui dan
menghormati keberadaan hukum adat, terdapat banyak aturan dalam
undang-undang ini yang telah membuat penyeragaman dalam berbagai hal,
mulai dari penyebutan istilah-istilah yang digunakan hingga sistem
pengelolaannya. Oleh karenanya, meskipun bertahan hingga 20 tahun,
undang-undang ini dianggap tidak konstitusional oleh masyarakat desa,
terutama bagi mereka yang tinggal di luar pulau Jawa, karena telah
menyeragamkan bentuk dan peristilahan desa di seluruh Indonesia. Demi
tujuan penyeragaman tersebut bahkan Pemerintah saat itu melakukan
regrouping terhadap beberapa desa. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh
salah seorang tokoh adat di Kabupaten Sanggau di bawah ini:
Dahulu
ketika diberlakukan UU No. 5 Tahun 1979, banyak kampung-kampung yang
diregrouping menjadi desa. Hal ini untuk memenuhi syarat menjadi desa.
Akhirnya banyak kampung yang letaknya berjauhan menjadi satu desa dan
untuk ke desa pengembangan (pusat desa) warga masyarakat harus menempuh
jarak berjam-jam hanya untuk mengurus surat ijin dari kepala desa.
Sebagian
kalangan, ada yang menilai bahwa undang-undang tersebut merupakan upaya
"jawanisasi". Ada pula yang mensinyalir, bahwa yang menjadi alasan
utama Pemerintah pada waktu itu dalam melakukan penyeragaman tersebut
adalah demi terkendalinya persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan
Republik Indonesia hingga ke tingkat pedesaan dimana hidup para petani
yang menjadi basis kekuatan komunisme saat itu, yang dianggap sebagai
ancaman utama bagi tegaknya negara yang berdasarkan asas ketuhanan (sila
pertama Pancasila). Dalam perkembangannya, penyeragaman pengelolaan
desa tersebut telah banyak mematikan kehidupan demokrasi di tingkat
desa. Dengan penyeragaman, Orde Baru sebagai penguasa waktu itu telah
menjadikan desa sebagai "instrumen" untuk mempertahankan tirani
kekuasaan.
Selanjutnya
dengan bergulirnya era reformasi pada tahun 1998 yang meruntuhkan
kekuasaan rezim Orde Baru, lahirlah suatu undang-undang baru di bidang
pemerintahan daerah yang isinya diupayakan dibuat sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi yang menjadi tuntutan utama dari Gerakan
Reformasi, yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, yang kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku hingga saat ini.
Namun demikian, meskipun kedua undang-undang itu sudah mengatur tentang
desa dalam satu bab khusus, ternyata hal ini belum cukup "memuaskan"
masyarakat desa itu sendiri.
Sebenarnya,
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 telah memberikan pengakuan terhadap
keragaman dan keunikan desa sebagai self-governing community. Hal ini
terlihat dari definisi desa yang dimuat dalam Pasal 1 undang-undang ini,
yaitu:
Desa
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional
dan berada di Daerah Kabupaten.
ada
UU ini, tidak ada lagi penyeragaman penggunaan istilah. Penggunaan
istilah dalam bahasa daerah mendapat ruang kebebasan. Kemudian ada
beberapa ketentuan lain yang juga memberikan kebebasan dalam sistem
penataan dan pengelolaan desa. Secara normatif, UU No. 22 Tahun 1999
sudah tidak lagi menempatkan desa sebagai bentuk pemerintahan terendah
di bawah kecamatan semata, melainkan juga sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
sesuai hak asal-usul dan adat-sitiadat setempat. Implikasinya adalah,
desa berhak membentuk regulasi desa sendiri untuk mengelola kehidupan di
desa. Dengan demikian, undang-undang ini diharapkan dapat membangkitkan
wacana, inisiatif, dan eksperimen otonomi desa, sekaligus mendorong
bangkitnya identitas lokal daerah.
Meskipun
demikian, UU No. 22 Tahun 1999 bukannya tanpa kelemahan. Beberapa
kesalahan dapat dilihat dalam perumusan judul bagian dan definisi. Dalam
undang-undang ini, desa didefinisikan sebagai "kesatuan masyarakat
hukum ... berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat" padahal
dalam kenyataannya banyak sekali desa dengan masyarakat yang memiliki
dari lebih dari satu kesatuan masyarakat hukum adat (seperti di Maluku
dengan orang Ambon dan orang Buton), dan banyak juga desa yang tidak
lagi mengatur dan mengurus rumah tangganya hanya berdasarkan asal-usul
dan adat-istiadat setempat semata, serta juga ada wilayah kesatuan
masyarakat hukum adat dengan batasan berbeda dengan batasan wilayah
desa.
Pada
undang-undang ini, tidak tergambarkan bahwa desa juga dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan (urusan pelayanan dan pembangunan)
yang sesuai dengan keinginan masyarakat desa guna meningkatkan
kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat desa dengan memperhatikan
faktor-faktor perlindungan/kelestarian lingkungan hidup yang sangat
penting bagi kehidupan masyarakat desa di masa depan. Sebenarnya ada
satu ketentuan dalam undang-undang ini yang mencoba memberikan solusi
terhadap permasalahan ini, yakni Pasal 99 huruf b , namun masih belum
cukup untuk memberikan pemecahan. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan,
bahwa desa memiliki kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah. Dari
perumusan ini memang bisa saja diartikan bahwa pendelegasian urusan
pemerintahan terjadi secara "otomatis", sepanjang belum dilaksanakan
oleh Daerah dan Pemerintah. Akan tetapi di sisi lain dapat pula berarti
bahwa apabila Daerah dan Pemerintah telah melaksanakannya, maka urusan
itupun dengan sendirinya tidak dapat lagi dilaksanakan oleh desa. Hal
ini tidak fair bagi desa, karena dalam prakteknya akan menyulitkan desa
dimana desa tidak memiliki bargaining position untuk meminta, menolak
atau mempertahankan urusan tersebut karena alasan kondisi dan tingkat
kemampuan sumber daya, baik sumber daya manusia maupun finansial.
Untuk
memecahkan persoalan di atas, seharusnya ada prinsip yang jelas untuk
dijadikan dasar atau pegangan bagi desa untuk bisa meminta, menolak
ataupun mempertahankan urusan-urusan pemerintahan, yang sebenarnya
merupakan urusan pemerintah daerah dan/atau Pemerintah. Desa harus bisa
menjadi subyek bagi urusan-urusan yang akan dikelolanya, bukan hanya
menjadi obyek. Prinsip tersebut harus dapat menempatkan posisi desa
sejajar dengan pemerintah (Pemerintah dan/atau pemerintah daerah), bukan
sub-ordinatif, sehingga hubungan yang terbentuk adalah hubungan yang
bersifat kemitraan, dimana tidak ada unsur pemaksaan dari satu pihak
terhadap pihak lainnya. Dengan prinsip ini desa juga dapat
mempertahankan urusan pelayanan dan pembangunan yang merupakan urusan
asal-usulnya. Yang harus diciptakan dengan prinsip ini adalah pemerintah
daerah dan/atau Pemerintah hanya dapat mendelegasikan kewenangan atau
urusannya kepada desa setelah mendapat persetujuan dari masyarakat desa
melalui penyelenggara desa, dan demikian pula sebaliknya pihak desa baru
dapat melaksanakan urusan pemerintahan yang mereka anggap sebagai
"otonomi asli" milik desa setelah memperoleh persetujuan dari
pemerintah. Kedua hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak dengan
memperhatikan faktor kehendak dan kesiapan/kemampuan desa . Memang,
setelah berlakunya Undang-Undang No.22 tahun 1999, ada peraturan
Pemerintah (PP) yang lahir sebagai peraturan pelaksana, yakni PP No. 76
Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Namun PP ini
juga tidak menyebutkan secara jelas prinsip yang dimaksud dalam uraian
di atas.
Kelemahan
lainnya yang dapat dicatat adalah sebagaimana dirumuskan pada definisi
desa dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah bahwa desa hanya
terdapat di kabupaten. Seharusnya sebagai suatu kesatuan masyarakat
hukum yang dapat mengatur dan mengurus dirinya sendiri, desa tidak hanya
terdapat di wilayah kabupaten, sehingga di dalam wilayah kota bisa saja
terdapat desa, meskipun disuatu kawasan tertentu telah ada satuan
wilayah kerja pemerintah daerah (dalam hal ini pemerintah kota) dibawah
kecamatan, yang disebut kelurahan. Hal ini seharusnya bisa terjadi
karena desa sebenarnya bukanlah wilayah kerja pemerintah kota. Dasar
pemikiran ini terkait pula dengan pemikiran bahwa pemerintah desa
sebenarnya bukanlah pemerintah dalam arti yang sebenarnya sebagaimana
yang dikenal dalam istilah Pemerintah (Pusat) ataupun pemerintah daerah.
Konstitusi Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
(UUD NRI) 1945 yang berlaku saat ini tidak menyebutkan bahwa pemerintah
desa adalah pemerintah. Yang disebut "pemerintah" dalam Pasal 18 UUD NRI
1945 hanyalah Pemerintah (Pusat) dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten dan kota. Dengan demikian, pemerintah desa hanyalah merupakan
organisasi yang dibentuk oleh masyarakat desa untuk mengurus urusan umum
(administrasi publik) yang menyangkut kepentingan masyarakat desa dan
individu yang datang/berada dan/atau mempunyai kepentingan di desa.
Dengan demikian, seyogyanya dalam implementasinya, di dalam wilayah
kecamatan bisa saja terdapat kelurahan sekaligus desa. Sebagai
perbandingan, dapat dilihat keadaan yang ada di Bali, dimana di dalam
wilayah kecamatan bisa terdapat desa administrasi sekaligus desa adat.
Desa administrasi mungkin bisa dianalogikan sebagai kelurahan di kota,
tetapi perbedaannya desa administrasi di Bali adalah organisasi yang
dibentuk dan diselenggarakan secara mandiri oleh masyarakat dan bisa
terdapat dimana saja (kota dan kabupaten), sedangkan kelurahan adalah
bagian dari dan dibentuk oleh organisasi pemerintah daerah dan hanya
terdapat di wilayah perkotaan. Disamping itu, dengan menetapkan bahwa
desa hanya terdapat di kabupaten, maka banyak desa-desa yang dikota
secara dipaksakan diubah menjadi kelurahan, tanpa memperhatikan aspirasi
dari masyarakat desa.
Adanya
kelemahan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 telah mendorong
pemerintah untuk merevisinya dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Sangat disayangkan, Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 inipun tidak terlalu menyelesaikan permasalahan tentang desa
yang ada dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tersebut, karena desain
desentralisasi yang dimiliki Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tidak jauh
berbeda dengan yang dimiliki Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Memang
sudah ada sedikit perbaikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.72 tahun
2005 tentang Desa yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004. Pasal 9 ayat (1) PP itu menyebutkan:
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan penyerahan urusan yang menjadi
kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa ...
diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan berpedoman pada
Peraturan Menteri.
Namun
ketentuan tersebut belum memberikan prinsip dasar tentang "kesetaraan"
yang dimaksud dalam uraian di atas, yang seharusnya diatur dalam suatu
undang-undang. Selanjutnya, Pasal 10 ayat (3) PP No.72 tahun 2005
menyatakan: "Desa berhak menolak melaksanakan tugas pembantuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disertai dengan
pembiayaan, prasarana dan sarana, serta sumber daya manusia." Namun
sekali lagi, ketentuan ini juga belum dianggap cukup untuk memberikan
prinsip dasar tentang prinsip kesetaraan, karena hanya memberikan aturan
mengenai power untuk melakukan penolakan, belum untuk meminta dan
mempertahankan urusan.
Satu
kelemahan lain yang cukup signifikan dalam Undang-Undang No. 32 tahun
2004 adalah ketentuan Pasal 200 ayat (3) yang menyebutkan:
Desa
di kabupaten/kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan
statusnya menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa
bersama badan permusyawaratan desa yang ditetapkan dengan Perda.
Meskipun
ketentuan ini telah mengadopsi perhatian terhadap usul dan prakarsa
pemerintah desa bersama badan permusyawaratan desa (Bamusdes), namun
pengaturan bahwa desa dapat diubah menjadi kelurahan adalah tidak tepat,
dan tidak ada penjelasan mengapa kelurahan diasumsikan "lebih sesuai".
Keresahan lainnya adalah adanya ketentuan yang cenderung meningkatkan
kontrol pemerintah terhadap desa, yaitu ketentuan Pasal 202 ayat (3)
yang menetapkan bahwa seorang sekretaris desa diisi oleh Pegawai Negeri
Sipil (PNS). Ketentuan ini dapat menyebabkan "ketidakpatuhan" sekretaris
desa kepada kepala desa sebagai atasannya, akan tetapi ia hanya akan
patuh kepada kekuasaan yang mengatur dan bertanggungjawab terhadap
dirinya sebagai PNS, yang jelas-jelas bukanlah kepala desa tapi pejabat
di jajaran perangkat pemerintah daerah.
Ketidak
puasan masyarakat desa akan peraturan perundang-undangan yang ada, kini
telah berujung pada tuntutan bahwa desa seharusnya tidak diatur satu
paket dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah, akan tetapi
hendaknya diatur dalam undang-undang tersendiri yang khusus mengatur
tentang Desa. Disamping alasan yang telah diuraikan di atas, berbagai
alasan lain juga melatarbelakangi tuntutan itu, seperti: dianggap bahwa
desa masih kurang diperhatikan oleh pemerintah; pemerintahan desa tidak
sama hakikatnya dengan pemerintah daerah, yang otonominya diberikan
secara total oleh Pemerintah Pusat; tidak jelasnya kedudukan desa dalam
sistem pemerintahan negara; serta sangat kurangnya pengalokasian
anggaran negara bagi penyelenggaraan pelayanan dan pembangunan di desa.
Dengan
fakta-fakta di atas yang dianggap menjadi alasan-alasan utama, Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) saat ini mencoba
mencarikan jalan keluar bagi permasalahan-permasalahan tersebut dengan
merumuskan suatu rancangan undang-undang (RUU) tersendiri tentang desa.
Adapun pokok-pokok pemikiran yang ingin dimuat dalam RUU tersebut adalah
hal-hal yang menyangkut:
Ketentuan
umum, Keberadaan desa dan pembentukan desa, Urusan desa dan Hubungan
desa dengan Negara dan daerah, Pendanaan untuk desa,
Lembaga penyelenggara tata kelola desa, Pemilihan desa, Lembaga desa sebagai mitra pemerintah desa,
Peraturan desa, Kinerja dan keuangan , Kerjasama, Penyelesaian perselisihan,
Pengawasan dan pembinaan,
Sanksi, Ketentuan peralihan, dan
Ketentuan penutup.
Selanjutnya
naskah akademik ini akan menguraikan secara terperinci hal-hal yang
akan diatur dalam pokok-pokok pikiran tersebut, yang nantinya akan
dituangkan sebagai bab-bab dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa.
Banyak
sekali desa-desa di Jawa yang sejak dulu selalu menghadirkan kekerasan
dan permainan politik uang ketika menggelar Pemilihan Kepala Desa
(Pilkades). Permainan politik uang di desa, sebagaimana di kabupaten dan
provinsi, menjadi isu yang sangat keras dan cepat, tetapi juga sangat
cepat menguap dan dilupakan banyak orang. Praktik-praktik kekerasan
cepat sekali berkobar dan juga cepat sekali dirampungkan oleh aparat
keamanan setelah menelan korban tidak sedikit. Tetapi sejak dulu di desa
tidak ada sebuah mekanisme dan proses politik yang dibangun dari
prakarsa lokal untuk mencegah praktik-praktik kekerasan.
Proses
perencanaan pembangunan desa masih berlangsung seperti dulu. Di atas
kertas perencanaan berlangsung dari bawah (bottom up) yang kemudian
dibawa naik ke kabupaten, tetapi praktiknya selalu terjadi manipulasi
sehingga aspirasi dari bawah tidak menjadi preferensi bagi pembuatan
keputusan di level kabupaten. Di tingkat desa sendiri, perencanaan
pembangunan juga didominasi oleh elite desa atau lebih berpijak pada
preferensi elite ketimbang aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Gotong-royong
tidak lagi secara otentik mencerminkan partisipasi dan solidaritas
sosial masyarakat desa, melainkan sebagai bentuk mobilisasi (jika bukan
paksaan) pemerintah desa terhadap warganya untuk mendukung
program-program pembangunan yang sudah dirancang dari atas. Salah satu
kasus yang menyolok adalah kebiasaan pemerintah supradesa dan pemerintah
desa "meng-uang-kan" gotong-royong dan swadaya ke dalam penerimaan desa
(APBDes). Padahal menurut asal-usulnya gotong-royong adalah bentuk
modal sosial (social capital), bukan modal finansial (financial capital)
sebagaimana telah dimanipulasi oleh pemerintah. Di zaman Orde Baru,
berbagai program departemen juga mengatasnamakan gotong-royong sebagai
bentuk swadaya masyarakat desa. Banyak proyek dari atas dengan jumlah
pendanaan yang kecil, kemudian dengan bantuan gotong-royong masyarakat
dapat menghasilkan pembangunan fisik yang luar biasa. Pada hampir semua
proyek pembangunan prasarana fisik kontribusi gotong royong selalu jauh
lebih besar ketimbang sumbangan dana dari pusat. Sejak Orde Baru hingga
sekarang, laporan mengenai banyaknya hasil pembangunan fisik yang
ditopang swadaya masyarakat lewat gotong royong sering diklaim sebagai
keberhasilan pemerintah.
Desentralisasi
adalah sebuah kebijakan dari atas yang tidak sempurna baik dari sisi
desain maupun praktiknya. Desentralisasi dan otonomi daerah lebih
difokuskan pada kabupaten/kota, sehingga desa masih tetap dipandang
sebelah mata dan belum memperoleh otonomi yang lebih leluasa. Desa masih
berada di bawah cengkeraman kabupaten secara hirarkhis. Para pejabat
kabupaten umumnya memandang bahwa otonomi berhenti di tangan kabupaten,
serta menjadikan desa sebagai objek kebijakan dan regulasi kabupaten.
Dalam praktiknya tidak sedikit Perda Kabupaten tentang pemerintahan desa
yang sebenarnya tidak relevan dengan konteks kebutuhan desa dan dari
sisi proses tidak melibatkan partisipasi desa. Karena itu tidak
mengherankan kalau kerapkali muncul kegelisahan dan bahkan resistensi
desa (terutama dari perangkat desa) terhadap regulasi dari atas.
Desentralisasi
politik yang terbatas juga diikuti dengan pembatasan desentralisasi
fiskal ke desa. Dari sisi hubungan keuangan, tidak ada kejelasan dan
ketegasan formula perimbangan keuangan antara pusat, daerah dan desa.
Desa tidak memperoleh transfer keuangan yang jelas, sebagaimana dana
pusat yang di-daerah-kan melalui Dana Alokasi Umum. Sebagian dana
kabupaten memang di-desa-kan tetapi tidak dibingkai melalui kerangka
regulasi yang menjamin kepastian dan keberlanjutan, melainkan hanya
tergantung pada kebaikan hati (benevolent) sang Bupati dan DPRD.
Kepala
desa (petinggi desa, lurah, kuwu, dll) kini mengalami disorientasi
kekuasaan: dari atas ditekan dengan instruksi oleh kabupaten (melalui
kecamatan atau langsung), dari samping digencet oleh BPD dan dari bawah
dituntut oleh masyarakat. Di banyak tempat kehadiran BPD dianggap
menjadi ancaman bagi kepala desa, dan sekaligus memunculkan ketegangan
antara kepala desa dengan BPD. Di desa-desa yang telah dimasuki
fasilitator dari luar (NGO atau perguruan tinggi), ketegangan itu bisa
dicairkan antara lain dengan cara dialog yang intensif dan membuat code
of conduct di antara kepala desa dan BPD. Tetapi desa-desa yang tidak
dimasuki pihak ketiga masih sulit untuk mendamaikan ketegangan Kades-BPD
karena belum mempunyai mekanisme dan proses manajemen konflik yang
dibangun berdasarkan prakarsa lokal. Pembelakan yang diberikan kabupaten
maupun kecamatan juga belum mampu mencairkan ketegangan itu.
Kapasitas
dan kinerja perangkat desa masih berjalan apa adanya (taken for
granted) sesuai dengan ketentuan administratif. Mereka umumnya cukup
puas karena telah bisa memberikan pelayanan prima nonstop 24 jam.
Mungkin masih sedikit ditemukan kepala desa dan perangkatnya yang
bekerja secara inovatif dan responsif dengan dituntun visi-misi besar.
Desa
itu menunjuk wilayah, yang didiami oleh masyarakat, yang di dalamnya
terdapat sumber-sumber produksi, yang didalamnya juga memiliki tata
kelola (governance), diikat oleh aturan main yang disepakati bersama
oleh masyarakatnya dan ada pengaturan untuk menegakkan aturan, yang
sering disebut dengan istilah pemerintahan. Dalam konteks ini, dulu desa
itu adalah negara. Sebelum negara monarki atau sekarang bergeser
menjadi negara kesatuan yang mengintegrasikan berbagai wilayah itu ada,
desa sudah ada lebih dulu. Oleh sebab itu desa sudah sejak lahirnya
merupakan wilayah yang bersifat otonom. Misalnya pada jaman kerajaan,
pemerintahan pusat (kerajaan) tidak banyak campurtangan dalam pengaturan
desa, namun hal penting yang hendak diperoleh dari proses
pengintegrasian ini adalah pusat mendapatkan upeti dari wujud kesetiaan
masyarakat yang terintegrasi terhadap negara.
Dalam
proses panjang, ketika pembangunan itu dilakukan oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia, kondisinya menjadi berbalik, desa menjadi bagian
dari pemerintahan pusat dengan posisi pinggiran dan kehilangan otonomi.
Selanjutnya desa menjadi obyek pembangunan semua lembaga pemerintahan
di atasnya sehingga tidak memiliki kewenangan dalam mengatur rumah
tangganya sendiri. Pusat menjadi sangat kokoh, melakukan sentralisasi,
mendominasi pengaturan segala macam sumber yang terletak di desa dan
lebih dari itu, yakni mengambil alih pemilikan desa menjadi pemilikan
pusat. Salah satu contoh, UU pertambangan bernuansa pusat dari pada
daerah.
Desa
tidak hanya termarjinalisasi oleh pusat melainkan juga oleh determinasi
kepentingan negara-negara industri yang telah dan sedang memperluas
pasar barang industrialnya. Posisi negara menjadi sulit
dipertanggungjawabkan, ketika negara melakukan proses integrasi nasional
maka pertanyaannya, demi kepentingan siapa negara melakukan
pengintegrasian lokal ke dalam nasional? Pengintegrasian lokal (desa)
untuk kepentingan kesatuan bangsa atau untuk kepentingan perluasan
pasarnya negara maju yang menyediakan ruang untuk pasar global?
Pertanyaan ini sungguh merisaukan sebab posisi desa sekarang ini sudah
menjadi bagian wilayah yang didominasi oleh kepentingan perluasan pasar
global. Perjuangan macam apa yang harus dilakukan agar desa berkembang,
berdaulat dan memiliki hak-hak yang mampu menjamin kesejahteraan
masyarakatnya?
Pembangunan
desa yang telah dilakukan selama 40 tahun tidak banyak merubah wajah
desa menjadi makmur. Sistem komersialisasi pertanian tanaman pangan
memang mampu meningkatkan jumlah produksi per areal lahan pertanian
pangan, namun peningkatan jumlah produksi tidak diikuti oleh pertambahan
jumlah pendapatan perkapita masyarakat, bahkan jumlah biaya produksi
dalam sistem pertanian pangan komersial menjadi meningkat. Saprodi
seperti pupuk, pestisida dan bibit harus dibeli, yang harganya setiap
tahun selalu meningkat. Persoalan lain, kondisi kerusakan tanah akibat
pupuk kimia juga semakin tinggi dan ketergantungan tanah terhadap pupuk
kimia juga semakin tinggi pula. Desa, yang dulunya, kaya akan teknologi
dan jenis benih padi sekarang banyak hilang lantaran diganti dengan
benih padi produksi pabrik. Sumber-sumber ekonomi produksi desa, yang
dulu dapat dikelola oleh lembaga desa, kini dikuasai oleh para
industriawan terutama berkaitan dengan hasil tambang yang berada di
wilayah desa. Desa yang seharusnya kaya kini menjadi miskin, baik miskin
pengetahuan dan teknologi lokal yang semula dimiliki, hak dan
kedaulatan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kebutuhan
yang ingin dicapainya. Pembangunan membawa degradasi lingkungan dan
menuju proses pemiskinan justru karena miskinnya konsep pembangunan
desa.
Tesis
masa lalu, kuatnya pemerintah pusat sebagai actor pengintegrasian
lokal, secara otomatis akan menjawab kuatnya perkembangan lokal. Sama
halnya, kuatnya pertumbuhan ekonomi nasional diasumsikan akan menjawab
perkembangan kesejahteraan lokal melalui proses trickledown effect.
Asumsi ini gagal menjelaskan perkembangan masyarakat desa. Keadaan yang
berlangsung sebaliknya, yakni kuatnya pusat justru melakukan apropriasi
atau pengabilalihan lokal oleh pusat. Pikiran paradigmatic ini garus
doitinggalkan dan diganti sebaliknya, kuatnya pertumbuhan dan
perkembangan lokal (desa) akan menjadi ciri pertumbuhan dan perkembangan
nasional. Kesulitan terbesar untuk melakukan pembaharuan ini karena
pusat memiliki kepentingan untuk menjadikan desa sebagai obyeknya dalam
proses pembangunan. Watak aparatur negara tidak berubah bahkan masuk ke
dalam ruang dimana mereka miskin konsep pembangunan dan hanya
menjalankan pertanggungjawaban keuangan proyek, yang akan merasa selesai
kalau keuangannya tidak dipersoalkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Perilaku
ini sulit dibendung dan dipatahkan, kalau ada perubahan hanya terbatas
pada wacana akan tetapi perilakunya tidak banyak mengalami perubahan.
Keadaan ini semua dapat terjadi karena desa tidak memiliki jamanan
perlindungan dari siapa pun yang hendak memiliki kepentingan terhadap
desa seperti birokrasi pemerintahan pusat yang dilakukan oleh departemen
tekni, para pebisnis dan kemungkinan besar lembaga swadaya masyarakat,
meskipun tidak semua Lembaga Swadatya Masyarakat itu sama. Ini lah
sebabnya sehingga desa kehilangan kedaulatan dan kemandirian untuk
mengatur dan mengkreasikan sumber dan potensi yang tersedia sesuai
dengan kepentingannya. Desa justru mengabdi kepada kepentingan lain
karena merekalah yang memiliki dan mengimplementasikan program
pembangunan pemerintah pusat
Kalau
cara pandang tentang pembangunan itu diubah, yakni bukan memperkuat
nasional akan tetapi memperkuat lokal sebagai cirri perkembangan
nasional maka ini membutuhkan jaminan. Satu-satunya jaminan untuk
mengembalikan kedaulatan desa adalah undang-undang. Ini lah perlunya UU
Desa. UU desa tidak hanya sekedar mengatur tentang pemerintahan desa
akan tetapi mengatur secara keseluruhan tentang hak dan kewajiban desa
dalam penyelenggaraan dan pengaturan rumah tangganya sendiri. Dengan
demikian UU ini juga tidak dapat dijadikan sebagai alat oleh para elit
desa, yang semakin lama ada kecenderungan berpikir parsial untuk
berpikir tentang perutnya sendiri dan bukan untuk kepentingan
kemaslahatan umat.
Jika
pikiran-pikiran parsial yang berkembang untuk membela kepentingannya
sendiri seperti para perangkat tidak berfikir secara keseluruhan tentang
desa dan hanya berpikir parsial seperti memperjuangkan kelompok
perangkatnya sendiri maka perjuangan untuk meraih kedaulatan desa akan
mengalami kegagalan. Oleh sebab itu lahirnya undang-undang yang
memberikan ruang kedaulatan serta hak kewajiban desa menjadi perlu
dikawal dengan agenda advokasi guna mencapai kepentingan bersama yang
lebih besar. Undang undang dibuat untuk mengatur hak dan kewajiban dan
bukan sebagai alatnya elit untuk membela kepentingannya sendiri. Jika
tidak, Desa setelah lepas dari "mulut buaya" lalu masuk ke "mulut
singa". Artinya dari marjinalisasi satu pindah ke marjinalisasi yang
lain. Sekali lagi, UU Desa bukan mengatur kepentingan elit akan tetapi
mengatur agar desa memiliki kedaulatan dan mendorong kemakmuran
masyarakatnya (community welfare).
Pembangunan
desa yang berkelanjutan merupakan pembangunandesa yang tidak merusak
lingkungan, memberikan hak kedaulatan untuk mengatur dirinya sendiri.
Pembangunan desa yang berkelanjutan bukan berpijak kepada konsep model
produksi kapitalis dimana desa hanya sebagai ajang pasarnya alat-alat
pertanian yang diproduksi oleh industri alat pertanian yang membebani
masyarakat. Jika keliru dalam memaknai terbentuknya UU Desa maka desa
akan masuk perangkat keberlanjutanya pasar global dan bukan
keberlanjutan kedaulatannya sendiri.
Oleh
sebab itu dasar filosofi memberikan pentingnya pengaturan desa melalui
UU menjadi sangat vital, yakni UU Desa itu diwujudkan untuk membela
kepentingan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Jika hal ini tidak
dipahami maknanya maka pembangunan desa akan memasuki ruang yang kurang
lebih sama dengan proses pembangunan masa lalu, dimana desa sudah
diserahkan kepada kepentingan global, sedang negara sebagai agen atau
kepanjangtangan kepentingan model produksi kapilaisme global yang
wataknya neoliberal. Pasar bebas menjadi alatnya untuk menguasai
sumber-sumber produksi yang hampir semuanya terletak di pedesaan. Paha
ini sangat anti terhadap perlindungan negara, kalau perlu negara menjadi
alatnya bisnis. Fungsi negara bukan mengatur bisnis akan tetapi negara
diatur bahkan alatnya bisnis. Kegagalan negara membangun bangsa karena
negara tidak mampu mengatur para pebisnis.
UU
Desa harus dipirkan untuk memberikan kedaulatan desa dan bukan sebagai
alat kekasaan pusat untuk melakukan pengambil alihan pusat terhadap
daerah atau unit terkecil masyarakat, yakni desa. Pengaturan ini
dilakukan guna mendorong proses pembangumam desa yang berkelanjutan dan
kelestarian lingkungan.
Tesis :
Kuatnya
pusat akan merembes atau menetes, baik secara ekonomi, politik maupun
budaya, ke daerah sampai dengan desa (pikiran ini hingga sekarang masih
berlangsung demikian perilaku birokratnya). Desa yang kuat, akan menjadi
ciri pertumbuhan nasional yang kuat dan kokoh.***
0 comments:
Post a Comment