1.
Harus ada kelompok masyarakat yang mendedikasikan diri untuk Kemajuan
Desa maksudku kelompok ini harus sadar hak warga negara kewajiban
negara, memahami sistematika musrenbangdus-des-cam-kab,membangun
komunikasi politik dengan lembaga desa, kecamatan,eksekutif dan
legislatif dan berketrampilan advokasi (masih sedikit ada kelompok yg
seperti ini) 2. Lembaga Desa baik itu perangkat desa, BPD, LPMD, PKK,
Karang Taruna yang menjalankan fungsi sesuai Job des-nya (Hampir semua
Lembaga Desa gak produkstif relasi atar lembaga desanya)
meski
samgat berat tp harus dimulai membangun poin 1, terlalu riskan
membiarkan kesempatan desentralisasi desa yg makin hari makin dekat dan
berarti ADD akan semakin besar tp penyelenggara desa (rakyat juga
termasuk penyelenggara desa lho) masih carut-marut spt ini
1. Pertama, kita kuatkan profesionalitas dan kemampuan kita masing-masing. 2. Kedua, kita satukan kekuatan dan keikhlasan kita untuk peduli membangun. 3. Ketiga, Identifikasi masing-masing kita sesuai bidang, konsentrasi dan prioritas / kapasitas kita. 4. Kita wujudkan wirausaha / kemandirian usaha tiap desa, antar desa secara lokal, regional dan nasional. 5. Mari kita mulai. a. Database potensi kita, (personal dan lokasional) b. Ketemu dalam wadah khusus rembug pembangunan antar desa se nusantara c. Bikin kluster-kluster potensi dan jaringan / pemetaan d. Alternatif rancangan pembentukan wadah-wadah usaha. (koperasi, perseroan)
Mencari
Investor untuk diajak bekerjasama mendirikan sebuah Proyek atau
Perusahaan apalah... minimal untuk menyerap tenaga kerja yang ada di
desa...
bisa
juga, mengajukan proposal ke Perusahaan sebuah Produk tertentu.. diajak
mendirikan sebuah Monumen atau tugu tertinggi di GK... yang pada tugu
tersebut bisa juga ditempel iklan produknya. dan mungkin Tugu tersebut
bisa diletakkan di perempatan atau tempat Strategis... seirig
terkenalnya Tugu tersebut, pasti lokasi juga bakal ikut terkenal..
|
Bagi
pengusaha yang bisnisnya berbasis sumberdaya alam, salah satu
pertimbangan terpenting dalam pengembangkan usaha adalah kedekatan
lokasi usaha dengan sumber daya alam. Lokasi yang tepat adalah desa,
tempat dimana sumber daya alam melimpah! Ketentuan mengenai pelimpahan
kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah desa (pada
umumnya) diatur dengan Peraturan Daerah. Namun demikian, pemberian
kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah desa merupakan
suatu hal yang dilematis. Di satu sisi ada keinginan yang kuat untuk
melimpahkan sebanyak mungkin tugas dan kewenangan �termasuk
pengelolaan sumberdaya alam- kepada pemerintah desa. Namun di sisi
lain, pada kenyataannya sebagian besar pemerintah desa belum siap
mengemban tanggungjawab atas kewenangan yang besar dalam pengelolaan
sumber daya alam.
Jika anda ingin mengembangkan bisnis di
pedesaan, sejak awal harus anda sadari bahwa masih rendahnya kualitas
sumberdaya manusia (sebagian besar) perangkat desa, serta semakin
kuatnya kecenderungan perselingkuhan kepentingan politik dan ekonomi
lokal menyebabkan hadirnya beragam fakta yang menyebalkan dari praktik
pengelolaan sumberdaya alam yang (sering) destruktif. Paralel dengan
kecenderungan orientasi ekonomi jangka pendek yang dipraktikkan
pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam rangka menggenjot
kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD), aparat desa juga berupaya keras
meningkatkan Pendapatan Asli Desa (PADes) yang pada umumnya dilakukan
dengan pengurasan sumberdaya alam. Dengan demikian, pelimpahan
kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pemerintah desa dapat
terlaksana dengan baik, jika dan hanya jika ada upaya penguatan
institusi desa dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia pedesaan
secara sungguh-sungguh.
Keinginan untuk menguatkan desa sebagai
sebuah lembaga otonom yang memiliki peran dan otoritas yang lebih
mandiri ternyata juga menghadapi tantangan psiko-kultural yang cukup
besar dalam tataran praktis. Di masyarakat, istilah desa identik dengan
sifat inferior yang dekat dengan kebodohan, keterbelakangan, dan
kemiskinan. Oleh karena itu, bagi sebagian (besar) masyarakat ada rasa
kebanggaan jika status desa diubah menjadi kelurahan yang dalam konteks
kekinian lebih terasa bernuansa �kemajuan�.
Transformasi bentuk desa menjadi kelurahan dalam banyak hal dianggap
sebagai sebuah prestasi yang membanggakan tidak hanya bagi perangkat
desa, namun juga bagi warga desa. Perubahan status desa menjadi
kelurahan ibarat selembar sertifikat pengakuan bahwa desa yang
bersangkutan telah menapak naik ke jenjang kemajuan dan terentas dari
stigma keterbelakangan yang selama ini, suka atau tidak suka, melekat
pada desa. Kondisi ini sungguh dilematis karena sebenarnya dengan adanya
perubahan status desa menjadi kelurahan hak dan kewenangan desa sebagai
daerah otonom sesuai dengan asas desentralisasi akan hilang. Berbeda
dengan desa, institusi kelurahan hanyalah perpanjangan tangan dari
pemerintah kabupaten/kota yang melaksanakan fungsi dekonsentrasi dan
tugas perbantuan, dan oleh karenanya kelurahan tidak memiliki otoritas
dan kemandirian pemerintahan sebagaimana halnya dengan desa.
Implikasinya, warga kelurahan hanya berhak menikmati pelayanan
administrasi publik dari kantor kelurahan namun tidak memiliki hak
publik lainnya seperti hak suara dalam memilih secara langsung kepala
desa dan ikut serta menentukan jalannya pembangunan desa melalui
wakilnya di Badan Permusyawaratan Desa.
Rekonstruksi menuju
otonomi desa yang ideal cukup sulit diformulasikan ketika dibenturkan
pada tingginya realitas keragaman dalam memaknai otonomi desa. Namun
demikian, secara umum masyarakat desa memiliki �mimpi bersama�
yang pasti tidak jauh berbeda, diantaranya adalah: pertama, desa harus
dapat menjamin kecukupan warganya dalam memperoleh penghidupan dan
kehidupan yang layak dengan memberdayakan potensi lokal; kedua,
tersedianya infrastruktur fisik yang memadai di pedesaan tanpa
melunturkan nilai sosial dan budaya masyarakat desa; dan ketiga,
terjaminnya akses komunikasi dan informasi bagi masyarakat desa.
Dengan
demikian, agenda rekonstruksi otonomi desa harus merujuk pada keinginan
menyusun pondasi kelembagaan desa yang berkemakmuran, berkeadilan, dan
berbudaya. Sebagaimana telah dikemukakan, kuatnya kecenderungan aspirasi
warga desa yang lebih menginginkan desanya di masa depan dapat
bertransformasi menjadi kota harus dimaknai bahwa desa dalam konteks
kekinian sesungguhnya bukan lagi pilihan yang menarik dan hampir selalu
bermakna inferior. Oleh karena itu, cita-cita mewujudkan kemandirian
desa harus selalu dilekatkan dengan upaya yang sistematis untuk
memperbaiki citra desa. Bertolak dari titik ini, keragaman tafsir
otonomi desa sesungguhnya dapat bermuara pada satu keinginan bersama
yakni terwujudnya suatu model desa impian, dimana warga desa dapat
menikmati suasana hidup di desa yang masih kental dengan nilai
sosial-budaya pedesaan dan pada saat yang bersamaan mereka juga dapat
mengakses berbagai fasilitas dasar dengan mudah. Sebuah kondisi yang
tidak hanya menempatkan warga desa dalam posisi yang lebih bermartabat,
tetapi secara simultan juga dapat mereduksi berbagai masalah sosial
perkotaan yang hadir akibat derasnya arus urbanisasi. Pada kondisi desa
yang demikian urbanisasi tidak akan terjadi, karena sejatinya kebanyakan
orang (lebih) senang bekerja di desa dengan rejeki (seperti) orang
kota! |
5 comments:
Makasi infonya..
Makasi infonya..
sangat membbantu
Setuju
Setuju
Post a Comment