Desa
beserta pemerintahannya tidak berdaya, banyak warga miskin dan
pengangguran di desa, langgengnya kelangkaan bahan baku, kuatnya jeratan
rentenir, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan bagi warga desa,
tiadanya modal usaha yang cukup di desa, KKN di desa, langka-nya air
irigasi dan pupuk pertanian, tiadanya bibit lokal, murahnya hasil
produksi pertanian, rusaknya infrastruktur di desa, terhambatnya
inisiasi kreatif di Desa, dll, semua itu adalah "KEPUTUSAN POLITIK".
Akan LANGGENG jika DIBIARKAN, dan akan BERUBAH jika ADA GERAKAN
PERUBAHAN yang KUAT. Agen perubahan adalah Pemerintah dan Rakyat.
Coba!,
rasakan denyut nadi dan urat saraf kehidupan desa. Sekarang, 'Apa yang
masih tersisa di Desa?'. Kemiskinan, pengangguran, kelemahan dan
kelangkaan, itu gambaran yang melekat kuat di desa. Itupun kerap diikuti
oleh rasa sensitifitas yang tinggi (karena kompetitif) antar sesama,
sehingga potensi konflik demikian besar, dan sering meletup walau dalam
ukuran kecil. Justru dari sini, kerenggangan sosial, ekonomi, politik
dan tata nilai semakin melebar. Seolah, yang tersisa di desa adalah
'masalah', 'frustasi sosial' dan tempat membuang sampah 'modernitas' dan
sampah 'pembangunan'. Demikian itu, masih ditambah dengan kapitalisasi
sektor-sektor layanan publik, bahkan publik pun menjadi barang dagang.
Berapa-pun pendapatan warga desa, pada saatnya akan terserap (disesep)
oleh bentuk-bentuk layanan tersebut. Dan, desa akan terpapar dan mejadi
jalur buang dari gelanggang bebas pertarungan kapital.
Coba
pikirkan!, bangsa ini telah terjebak didalam pusaran tata niaga dan
pasar bebas. Semua kekuatan (sumberdaya) dipertaruhkan dan didesain
untuk mengikuti pusaran itu. Apa sumber daya yang tersisa?, kalau ada;
cukupkah dijadikan kekuatan untuk memutar balik?. Bahkan, bangsa ini pun
hampir lupa memiliki kedaulatan, dan melupakan pemilik kedaulatan
sesungguhnya adalah rakyat.
Mulailah untuk Bergerak dan Terus Gerakkan...
Apa
yang kita rasa selama ini sebagai masalah-masalah di desa,
keseluruhannya ingin menegaskan bahwa; daya rusak, daya redam, dan daya
lawan ada di 'kuasa dominan' dan terjadi bila ada kemampuan kapital
(lebih dekat dengan arti; modal) dan politik. Kemampuan terhadap
penguasaan modal (bisa diartikan dalam berbagai bentuk) dan kemampuan
untuk mempengaruhi kebijakan.
Jadi,
prioritas adalah perbaikan kondisi ekonomi rakyat di desa, agar mereka
mempunyai kemampuan/kuasa untuk bisa meningkatkan kualitas kesejahteraan
dibidang sosial, politik, dan budaya. Ini jalan utama yang perlu
dibangun, sambil memperbaiki jalan-jalan yang lain agar jalan utama
semakin kuat. Tentu, ekonomi tidak terlepas dari urusan sosial-politik
dan budaya, dan mereka (warga & kelompok di desa) pun perlu terdidik
dan terorganisir untuk itu.
Rakyat
di desa harus punya banyak 'kuasa' dan mempertahankan 'kuasa' itu untuk
bisa merubah dan meningkatkan kesejahteraannya. Di desa; dimanakan
letak 'kuasa-kuasa' ekonomi bekerja?, dimanakan letak 'kuasa-kuasa'
politik berjalan?, dan dimanakah letak 'kuasa-kuasa' budaya itu
bergerak?.
Nah,
bergeraklah untuk menguasai, kuasai-lah 'situasi dan posisi' secara
efektif, dan efektifkan semua fungsi negara agar rakyat desa sejahtera.
Otonomi
desa tidak dimaknai sebatas mengatur pembagian kewenangan. Tetapi
berkonsekuensi adanya perubahan pola pikir, cara pandang dan perilaku
yang teraktualisasi dalam cara kerja yang produktif dan
bertanggungjawab.
Tentunya,
dengan kewenangan yang ada warga desa mampu menggali dan mengelola
potensi-potensi yang ada disekelilingnya sehingga dapat mendatangkan
penghasilan. Artinya tidak menunggu perintah, petunjuk apalagi bantuan,
tetapi muncul sifat kemandirian dan komitmen untuk hidup lebih maju
warga
desa belum maksimal diberdayakan karena banyak faktor antara lain
masih adanya warga yang tidak terlibat atau tidak dilibatkan dalam
proses penggalian gagasan sampai penetapan rencana kegiatan. Hal ini
terjadi karena adanya unsur monopoli dan rendahnya kemampuan warga dalam
menyikapi berbagai persoalan hidup yang dihadapi.
pola
perencanaan seperti Musrenbang yang diterapkan pemerintah selama ini
dalam pelaksanaannya di lapangan mengalami banyak kekurangan. Indikasi
data-data yang diajukan dari setiap desa/kelurahan tidak semua mewakili
kepentingan mayoritas warga, tetapi lebih banyak memperhatikan
suara-suara orang tertentu saja yang mempunyai pengaruh dan aktif
mengikuti rapat atau pertemuan. Di lain pihak SKPD juga kurang proaktif
sehingga terkesan hanya menunggu usulan yang ditetapkan di tingkat
kecamatan.
kewenangan
mengatur desa berikut potensinya lebih banyak dilakukan oleh pemerintah
tingkat atas. Begitu pula soal penyusunan perencanaan seperti kegiatan
Musrenbang lebih banyak menjalankan aturan sehingga substansinya nyaris
tidak menyentuh masalah riil yang dihadapi warga. "Sejalan dengan itu
pula masih kuatnya anggapan bahwa orang-orang kecil yang ada di desa
masih bersifat paterialistik atau dianggap paternalistik atau mengikuti
saja yang diperintah dan tidak memiliki kemampuan dan pengaruh untuk
menentukan suatu kebijakan
Penyelenggaraan
otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan
pemikiran yang matang, mendasar dan berdimensi jauh ke depan. Pemikiran
itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya,
menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi,
kesetaraan dan keadilan disertai untuk kesadaran akan keaneka ragaman
kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhineka Tunggal
Ika. Kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian
sasaran-sasaran sebagai berikut :
Peningkatan pelayan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.
Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan PEMDA dan antar-PEMDA dalam kewenangan dan keuangan.'
Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.
Desa
atau yang di sebut dengan nama lain, selanjutnya di sebut desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yuridiksi,
berwenang untuk mengatur dan mngurus kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan/atau di
bentuk dalam sistem pemerintah nasional dan berada di Kabupaten/Kota,
sebagaimana dimaksud dalam Amandemen UUD 1945. Landasan pemikiran dalam
pengaturan mengenai desa adalah keaneka-ragaman, partisipasi, otonomi
asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah
Desa dapat diberikan penugasan ataupun pedelegasian dari pemerintah
daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan terhadap
Desa,geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa
yang di bentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun
karena alasan lain yang warganya pluralis, majemuk, ataupun heterogen,
maka otonomi daerah akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.
Sebagai
perwujudan dari sistem demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintah desa
di bentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang
sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang
berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan Pemerintah
Desa seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan Peraturan Desa, Angaran
Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa. Di desa di bentuk
lembaga ke masyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra kerja
Pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat desa.
Otonomi
desa pada dasarnya mempunyai peranan yang strategis, ketika saat ini
kita semua sedang mengusung ide pembangunan yang berbasis
kerakyatan/masyarakat, pemberdayaan dsb. Desa adalah basis masyarakat
dengan segala problematiknya. Kemiskinan ada di desa, akan tetapi di
desa pula basis sebagai potensi bisnis ekonomi, sebagian besar penduduk
indonesia juga tinggal di desa. Dengan demikian, slogan yang mengatakan
membangun desa maka daerah dan negara maju bukan hanya slogan pepesan
kosong tanpa argumen yang valid. Dalam kerangka konseptual pemikiran ini
lah, maka konsep pengembangan otonomi desa adalah alternatif yang
pantas di evaluasi yang berperan strategis dalam sistem pertahanan
nasional.
Otonomi
pada hakekatnya menunjukan besaran kewenangan yang dimiliki sebuah
ruang lingkup wilayah politik dan administratif. Luas atau sempitnya
kewenangan yang di ukur dengan jumlah urusan akan menunjukan besaran
otonomi tersebut. Oleh sebab itu, besaran kewenangan ini akan
berhubungan dengan tingkat kapabilitas dalam mengelola kewenangan
tersebut yang di lihat pada level kreativitasnya. Sehingga ada
persepsian yang menyatakan bahwa otonomi akan mendorong kreatifitas yang
arti kata ada pemberdayaan di sana. Tanpa ada otonomi, jangan harap
akan munculnya lahir kreativitas dan kapabilitas komunitas masyarakat
lokal.
Namun,
hal yang menarik jika kita mencermati perkembangan otonomi desa,
ternyata sesungguhnya masyarakat lokal khusus masyarakat pedesaan telah
lebih dahulu memiliki bakat kreativitas dalam mengelola berbagai
problematiknya dalam ruang lingkup otonomi aslinya yang kelihatan ada
pada pola adat-istiadat mereka. Hal ini tentunya tidak sama dengan
otonomi daerah pada level Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi yang dari
segi waktu masih relatif lebih muda karena diberikan oleh negara sebagai
bentuk strategis kebijakan pemerintah.
Menyimak
sejarah perkembangan otonomi desa, akan kelihatan kuatnya komitmen
untuk mengeyampingkan ruang lingkup pedesaan yang terus berkembang dan
berlangsung. Rezim otoriter dalam konteks desa sepertinya akan terus
berlanjut. UU No 32/2004 yang mengantikan UU No 22/1999 mungkin cerita
yang dapat diangkat.
Pemerintah
Desa berdasarkan UU No 32/2004 harus dikatakan berbeda secara mendasar
dengan pemerintah desa menurut UU No 22/1999. Di mana pengaturan desa
yang tergambar dalam UU No 32/2004 memperlihatkan kuatnya kontrol
pemerintah dan menghilangkan demokratisasi pemerintahan desa. hal ini
mengingatkan pengaturan desa dalam UU No 5/1975.
Selanjutnya
menyangkut kewenangan desa, dapat di lihat bahwa terdapat tiga sumber
urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa sebagaimana di atur dalam
Pasal 206 UU No 32/2004 yaitu :
Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa.
Kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah.
tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Penjabarannya
harus hati-hati, karena terjadi ketidak-sikronan terutama pasal 206
ayat (1) dengan pasal 200 UU No 32/2004 yaitu :
Dalam
pemerintahan desa di Kabupaten/Kota di bentuk pemerintahan desa yang
terdiri dari Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Pembentukkan, penghapusan dan/atau pengabungan desa dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat.
Desa
di Kabupaten/Kota bertahap dapat di ubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa Pemerintah Desa bersama Badan
Pemusyawaratan (BPD) dengan PERDA.
Pasal
206 ayat (1) menjelaskan kewenangan desa adalah urusan pemerintahan
berdasarkan hak asal-usul desa. Jenis urusan ini jelas bukan urusan
karena penyerahan dari pemerintahan Kabupaten/Kota. Padahal dalam pasal
200 dinyatakan bahwa dalam PEMDA Kabupaten/Kota di bentuk Pemerintahan
Desa. Istilah PEMDA menunjukan penyelenggaraan pemerintahan yang
bersumber dari asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Dengan demikian
dalam Pemerintahan Desa yang di bentuk ada urusan yang tidak bersumber
kepada pembentukkannya.
Menyangkut pengaturan sistem Pemerintahan Desa, terdapat beberapa kelemahan yang perlu dicermati, yaitu :
Pertama
: Tidak diaturnya sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa dalam batang
tubuh UU No 32/2004. Sistem pertanggung-jawaban Kepala Desa ditemukan di
dalam penjelasan umum. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab
kepada rakyat desanya yang dalam tata cara dan prosedur
pertanggung-jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui
Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib
memberikan laporan pertanggung-jawabannya. Pengaturan semacam ini tidak
tepat sasaran. Karena penjelasan pada hakekatnya bukanlah norma, namun
merupakan penjelasan dari norma sehingga terhindar dari penafsiran
gramatikal ganda. Hal ini yang perlu dicermati yaitu pola laporan
pertanggung-jawaban yang bersifat vertikal (ke atas) dan bukan
horinzontal dan ke bawah (ke masyarakat dan BPD) akan menimbulkan
perubahan orientasi pengabdian Kepala Desa yang akan lebih loyalitas
kepada kehendak pihak atas ke timbang kepada rakyat yang memilihnya dan
menimbulkan dampak yaitu Pemerintahan Desa bisa menjadi alat politik
pencapaian kekuasaan dari Bupati/Walikota dalam pemilihan umum Kepala
Daerah secara langsung.
Kedua
: Tugas dan kewajiban Kepala Desa dalam memimpin penyelenggaraan
Pemerintahan Desa di atur lebih lanjut dengan PERDA berdasarkan
Peraturan pemerintah dan pasal 208 UU No 32/2004 Ketentuan ini cukup
berbahaya mengingat UU tidak secara definitif menentukan tugas dan
kewajiban kepala Desa. pengaturan semacam ini memberi ruang hampa pada
pemerintah melalui peraturan Pemerintah. Di lain pihak Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi yang sangat terbatas
berdasarkan pasal 209 UU No 32/2004 yaitu menetapkan Peraturan Desa
bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
dalam formulasi pengaturan yang semacam itu maka akan sangat sulit
terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, karena
kewenangan Kepala Desa sangat elistis dengan menyerahkan sepenuhnya
pengaturan kepada PERDA.
Badan
Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam UU No 32/2004 fungsi bersama Kepala
Desa menetapkan Peraturan Desa dan sebagai penampung serta penyalur
aspirasi rakyat. Berbeda sama sekali dengan Badan Perwakilan Desa (BPD)
dalam UU No 22/1999, BPD berfungsi mengayomi adat-istiadat, membuat
Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa,
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa
meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.
mekanisme
tata cara Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di dalam UU No 32/2004yaitu
anggota Badan permusyawaratan Desa (BPD) adalah respretatif dari
penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan
mufakat artinya tidak dipilih secara langsung akan tetapi dengan
ditetapkan dengan cara musyawarah. Mekanisme tata cara pengaturan ini
pada dasarnya menghilangkan prinsip nilai demokrasi di level wilayah
desa. Sedangkan di dalam UU No 22/1999 yaitu anggota Badan Perwakilan
Desa (BPD) di pilih dari dan oleh penduduk desa yang memenuhi
persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa (BPD) di pilih dari dan oleh
anggota. Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama Kepala Desa menetapkan
Peraturan Desa. Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan
Bupati/Walikota, tetapi wajib ditetapkan dengan tembusan kepada Camat,
Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Selain
itu, penggantian Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan
Desa memunculkan kembali "sistem nepotisme", kerabat-kerabat Kepala
Desa menjadi kaum elit desa karena keangotaannya ditetapkan secara
musyawarah dan mufakat. Perubahan pola ini dapat di anggap sebagai
pengingkaran prinsip demokrasi langsung terhadap kedaulatan rakyat.
Selanjutnya
itu, mengenai aparatur Pemerintahan Desa dalam UU No 32/2004 terdiri
atas Sekretaris Desa dan perangkat desa lainnya. Sekretaris Desa di isi
dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Kondisi ini pada
dasarnya akan mengarahkan Pemerintahan Desa ke arah birokratisasi yang
pengabdiaannya pun akan berbeda. Di samping itu akan munculnya kultur
pegawai negeri sipil di desa dan dapat diarahkan kepada mesin politik
baru.
Di
samping itu, secara politik kedudukan Sekretaris Desa dapat membuatnya
jugaloyalitas ganda, satu sisi sebagai bawahan Kepala Desa maka ia harus
tunduk kepada Kepala Desa. namun di sisi lain sebagai Pegawai Negeri
Sipil secara otomatis maka ia juga harus tunduk kepada atasannya yaitu
Bupati/Walikota. Loyalitas ganda ini lah menyebabkan kewenangan desa
untuk mengatur dirinya sendiri menjadi hilang. Sebab masuknya birokrasi
intervensi pemerintah Kabupaten/Kota dapat dengan mudah masuk ke desa.
Jika demikian, peluang pola pembangunan yang sentralistik dan top down
(dari atas) berpeluang untuk hadir kembali.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu :
Mempercepat
pemprosesan pembahasan dan pengesahan RUU Pemerintahan Desa menjadi UU
Pemerintahan desa sebagai payung hukum manisfestasi prinsip
demokratisasi perdesaan serta dalam sistem pertahanan nasional dalam
kerangka NKRI.
Kepala
Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa yang dalam tata
cara dan prosesdur pertanggung jawabannya disampaikan kepada
Bupati/Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD),
Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya
dan kepada rakyat desa untuk menyampaikan informasi pokok-pokok
pertanggung jawabannya akan tetapi tetap memberi kesempatan kepada
masyarakat/rakyat desa melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk
menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal
yang bertalian dengan pertanggung jawaban yang di maksud.
Mempercepat
pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama
para petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem
agrobisnis industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan
kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam
(SDA).
0 comments:
Post a Comment