Program
pembangunan pedesaan telah dimulai sejak tahun 1946 yang digagas oleh
Amerika dan Inggeris di India. Hampir satu abad pelaksanaan program
pedesaan di dunia, di Indonesia proyek pembangunan pedesaan sudah
dimulai sejak awal kemerdekaan. Apa yang kita rasakan hasil dari program
pedesaan selama ini, yang ppaling dirasakan tentulah orang kota, para
birokrat dan pengusaha bahkan multinasional. Dengan mengutip Frankel,
Feder, Galti, Bennholdt Thomson, dan Goerge bahwa program-program
pemodrenan pertanian yang dibiayai negara-negara kapitalis dan pinjaman
Bank Dunia dan kelembagaan lain hanya akan menguntungkan negara
kapitalis dan kelembagaan keuangan internasional tersebut.
Secara garis besar pendekatan pembangunan pedesaan mengacu pada tiga aliran besar, yaitu pertama
pendekatan teknokrat,
menghubungakan
pembangunan pedesaan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertanian dengan
tekologi pertanian. Pendekatan ini berinduk kepada teori ekonomi
liberal, dimana dengan out put utamanya adalah modernisasi pedesaan.
Pendektan ini banyak mendapat kecaman dari beberapa pihak karena
percepatan teknologi yang tidak liniear dengan situasi social ekonomi
pedesaan, sering kali mekanisasi pertanian menyebabkan permasalahan baru
bagi masyarakat desa. Teknokrat sendiri berasal dari kata teknikal dan
birokratik.
Kedua,
revolusioner
dengan
pusat analisisnya adalah sejarah kapitaslisme menuju ke sosialisme,
dengan aliran pemikiran yang dipakai adalah pemikiran Marxisme. Asumsi
teoritisnya adalah bahwa kapaitalisme menciptakan ketergantungan dan
penghisapan. Maka pendekatan ini mencoba melepaskan diri dari pengaruh
sistem global dan memperkuat kemampuan dalam negeri sendiri, jika
negara-negara miskin makin tergantung dengan kapitalisme akan
menjerumuskan negara miskin ke jurang kemiskinan yang lebih parah lagi.
Asumsi teori ini bahwa campur tangan pemerintah dalam program pedesaan
tidak akan membawa pengaruh positif jangka panjang bagi pemberantasan
kemiskinan selagi pemerintah tidak memiliki otonomi sepenuhnya dari
corak pembangunan yang diinginkan dan membebaskan diri dari campur
tangan tuan-tuan tanah, birokrat kapitalis, pemodal tempatan dan
internasional.
Ketiga
pendektan reformis,
pendekatan
ini mencoba untuk tidak hulu ke dua aliran besar pemikiran dunia tetapi
mencoba beranjak dari asusmsi kedua aliran pemikiran dua tersebut
tetapi tetap mengakamodasi kedua aliran tersebut untuk tujuan
pertumbuhan pertanian dan pemerataan pendapatan. Pendeaktan ini
berorientasi pada hasil dengan memanfaatkan semua in put yang dapat
mempercepat out put.
Dalam
hal ini adalah program pembangunan pedesaan yang diperkenalkan,
dilaksanakan dan dinyatakan gagal oleh UNESCO adalah program pembangunan
komuniti (Community Development -/CD). Program pembangunan pedesaan
yang telah dijalankan oleh PBB melalui Unesco ataupun yang dijalankan
oleh Amerika Serikat dan Inggeris ini telah gagal pada awal tahun
1960-an padahal telah dijalankan tahun 1948.
Kelemahan
utama CD adalah bersumber dari hipotesisnya tentang masyarakat desa. CD
melihat masyarakat desa bersifat homogen, mempunyai kepentingan bersama
dan mampu menyelesaikan masalah secara bersama. Oleh sebab itu, peranan
pemerintah hanyalah sebagai perancang strategi pembangunan, dan
pengadaaan kemudahan serta pelayanan kepada masyarakat. Padahal
hipotesis itu hanya ilusi semata, sebab pada masyarakat desa terdapat
stratifikasi sosial dan ekonomi dan terjadinya konflik laten dalam
perebutan sumber daya ekonomi dan politik.
Selain
itu, agen-agen perubahan CD tidak mampu berfungsi sebagaimana yang
diharapkan. Seperti yang terjadi di India, seorang agen harus bertangung
jawab terhadap ribuan penduduk. Akibatnya, agen-agen tersebut tidak
mampu mengajak masyarakat merintis perubahan. Bahkan CD justeru tidak
mampu membantu masyarakat yang seharusnya mendapat bantuan. Keuntungan
hanya dinikmati lapisan masyarakat tertentu yang merupakan elit di desa
karena kedudukannya yang mantap atau pendatang yang segaja mengikuti
program tersebut. Mereka ini memang lapisan petani progresif yang telah
mempersiapkan perubahan. Sementara petani kecil, penyewa dan buruh tani
tidak mengalami perubahan yang berarti. Myrdal (1968) menyebutkan bahwa
program CD hanya menjadi alat pemerintah untuk menyalurkan bantuan
kepada yang tidak begitu miskin.
Menurut Hunt (1966) pula, hampir semua laporan projek CD menekankan kecendrungan ke arah perencanaan dari atas Top Down of Planning bukannya
perencanaan program dari masyarakat desa sendiri. Akibatnya perubahan
yang dilaporkan lebih bersifat kuantitatif. Agen-agen perubahan
cenderung memfokuskan pada proyek-proyek yang dapat dilihat dari mata
kasar, karena lebih menonjolkan usaha mereka bukan yang dilakukan rakyat
desa.
Kegagalan
program CD ternyata masih diikuti pula kegagalan program pengantinya
yaitu revolusi hijau. Program Revolusi Hijau berkembang tahun 1960-an,
yang berorientasi pada penggunaan teknologi petanian dan bibit yang
berproduksi tinggi. Program ini juga, secara internasional hanya
berlangsung selama 10 tahun, disebabkan beberapa kelemahannya dan
dinyatakan gagal pada tahun 1970-an.
Diantara
kelemahan revolusi hijau kurangnnya mempertimbangkan aspek sosial,
semata-mata pertimbangan ekonomi. Keuntungan hanya diperoleh oleh petani
kaya yang dengan mudah mendapatakan teknologi pertanaian sedangkan
petani kecil, penyewa tanah dan buruh tani tentu tidak dapat
memanfaatkannya. Selain itu, pendektan ini mengabaikan dampak dari
kemasukan teknologi terhadap perubahan sosial di desa serta sempitnya
pemahaman masyarakat desa, sebagaimana pada program CD.
Selama
orde baru pemerintah Indonesia memperkenal program revolusi hijau ke
seluruh Indonesia. Menurut Hüsken, hasilnya sangat mengejutkan bahwa
revolusi hijau telah menimbulkan permasalahan besar pada masyarakat
pedesaan, kesempatan kerja di pedesaan menurun dratis, kesenjangan
petani kaya dengan petani kecil dan buruh tani semakin melebar.
Sementara itu, perempuan yang dulu memegang peranan penting dalam
menanam, menyiangi dan memanen hilang pekerjaannya.
Kegagalan
program revolusi hijau memaksa dunia internasional mengembangkan
program pembangunan desa berhaluan kemiskinan. Program pembangunan desa
dikembangkan tahun tahun 1970 oleh seluruh lembaga bantuan keuangan
dunia, sebagai kritik terhadap program sebelumnya. Program ini
menjadikan petani kecil dan miskin sebagai sasaran utama pembangunan
dengan melibatkan petani secara aktif dalam pembangunan. Masyarakat desa
sebagai subjek yang dinamis. Sebagaimana program sebelumnya program ini
juga dilaksanakan secara besar-besaran di negara dunia ketiga secara
bersamaan.
Ternyata
melalui progam ini 50% dari seluruh program dinyatakan berhasil. Namun
demikian program ini juga tidak lepas dari kelemahan, yaitu belum
jelasnya konsep petani kecil sehingga juga akan menguntungkan petani
kaya yang progresif. Selain itu, program ini hanya mengutamakan in-put
tidak out-put dan semata-mata atas pertimbangan pertumbuhan ekonomi,
akibatnya program ini juga menyebabkan perombakan pada struktur sosial.
Setelah
era reformasi, pemerintah Habibie melaksankan program IDT (inpres desa
tertinggal) untuk membangun desa. Fokus program ini dtujukan pada
katagori desa-desa miskin. Program ini sendiri tampaknya belajar dari
konsep Pembangunan Pedesaan Berhaluan Kemiskian. Sayangnya, begitu
pemerintah Habibie lengser program inipun hilang dibawa angin tanpa
bekas, Bisa dikatakan gagal total.
Faktor
kegagalan IDT hampir sama dengan faktor kegagalan program lainnya,
masyarakat desa diasumsikan homogen, kemiskinan bukan rumah tangga
tetapi adalah desa, besarnya keterlibatan birokrasi, fungsi pendamping
yang tidak tepat dan tidak mempunyai pengetahuan yang jelas tentang
masyarakat desa. Faktor yang terpenting adalah belum tegasnya bentuk
usaha yang harus dilakukan, serta lemahnya kontrol dari masyarakat.
Di
era Megawati, program pedesaan yang menonjol dan tetap ada sampa
sekarang adalah PPK (Program Pengembangan Kecamatan). Departemen Dalam
Negeri mengklaim program ini sangat berhasil sehingga mengeluarkan
edaran agar setiap daerah menerapkan model PPK ini sebagai acuan
pemberdayaan desa. Ternyata program yang diagung-agung keberhasilnnya
tersebut lebih fokus pada pembangunan fisik, sementara program ekonomi
dan pembangunan sosialnya hampir tidak tersedia. Jika indikatornya
adalah pembangunan fisik tentulah program ini berhasil, tetapi PPK ini
sendiri hanya menyentuh kelas elit dipedesaan saja.
Rezim
SBY (Susilo Bambang Yudoyono) tetap melanjutkan program PPK yang
kemudian diobah namanya menjadi PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat) Mandiri yang konsepnya tetap menggunkan konsep PPK dengan
sumber pembiyaan dari pemerintah daerah. Selain program PPK, rezim SBY
juga memperkenalkan program Beras Miskin (Raskin), Bantuan Langsung
Tunai (BLT), Asuransi kesehatan keluarga miskin (Askeskin), dan Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) serta Prona Pertanahan, Desa
sehat. dan program lain yang ada di departemen seperti Program Desa
Rawan Pangan, Program Desa Pinggir Hutan, dan seterusnya dimana semua
departemen mengatasnamakan kemiskinan dengan target program pedesaan.
Sementara itu, disetiap provinsi dan kabupaten memiliki program
pemberdayaan sendiri-sendiri yang tida saling berkaitan dengan sararan
desa. Ini artinya departemen, provinsi dan kabupaten beramai-ramai
membuang uang di desa tanpa satu koordinasi yang kuat dan jelas,
sementara hasilnya bisa diperdebatkan. Mengapa tidak mencontoh model
Afrika Selatan misalnya?
0 comments:
Post a Comment