Untuk
melakukan pembangunan desa sudah seharusnya kita lebih dahulu memahami
karakter desa yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, saya berlandaskan
pada karakter desa di Sumatera karena desa-desa ini lebih dekat dan saya
kenal.
Desa-desa di Sumatera umumnya memiliki tipologi The Line Village (Jefta
Leibo, 1990) yaitu perkampungan dipinggiran sungai atau lautan dan
dipinggir jalan raya. Mereka berdiam dalam satu komunitas yang berada
dipinggir sungai, laut dan jalan raya tersebut sedangkan perkebunannya
berada di luar kampung. Perkampungan yang dipinggir sungai atau laut
mencirikan budaya asli masyarakat yang merupakan cikal-bakal masyarakat
di desa tersebut. Sedangkan yang dipinggir jalan merupakan perkampungan
baru yang tumbuh karena pertumbuhan jalan raya, pertumbuhan kota,
pertumbuhan industri.
Karakter budaya line sungai atau laut adalah ekonomi berbasis sumber daya alam yang bercorakkan pada tiga pola ekonomi (Rawa, 2001) yaitu Pertama, pendapatan
tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah,
yang dilanjutkan dengan perkebunan tanaman keras. Kedua,
produksi bulanan yang digunakan untuk melengkapi konsumsi
tahunan,misalnya meneres karet (getah), membalak, melaut. Konsumsinya
dijamin oleh tauke dengan sistem ijon, tuake memenuhi kebutuhan konsumsi
lebih dahulu kemudian dibayar dengan hasil kerja bulanannya tersebut.
Ketiga,
konsumsi mingguan atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian
ini biasanya berupa usaha reproduksi rumah tangga, pengolahan
perkarangan, kebun dan bisa juga memancing ikan.
Infrastruktur utama ekonomi pada line sungai
atau laut ini adalah tauke sebagai penjamin kelangsungan konsumsi rumah
tangga mereka. Tauke menjadi pasar yang membeli secara otomatis dan
sederhana produksi rumah tangga tersebut, dan sekaligus berfungsi
sebagai akses pinjaman (bank) dan in put (pejualan) barang untuk
kebutuhan sehari-hari. Tauke ini menjamin konsumsi disemua musim,
sepanjang waktu bahkan seluruh kebutuhan hidup.
Sebaliknya,
karakter yang ada di line jalan raya lebih dekat kepada karakter budaya
migran perkotaan (rawa 2002). Mingran perkotaan ini terdiri dari
beberapa lapisan sosial yang terbangun berdasarkan kemampuan akses
ekonomi kepada sumberdaya ekonomi yang dibangun akibat proses
modernisasi. Terdapat tiga corak utama, yaitu pegawai yang bekerja di
kantor, buruh harian lepas, dan buruh kebun.
Pada
karakter ini tidak terdapat jaminan dari infrastruktur ekonomi,
pedagang tidak selalu bersedia bertindak seabagai tauke. Satu-satunya
sumber jaminan yang bersifat sementara dan sangat menjerat adalah bank
gelap atau rentenir. Rumah tangga di line jalan raya bisanya memiliki
asset tanah terbatas namun memiliki skill yang lumayan baik sesuai
dengan lapisan sosialnya. Namun demikian, lapisan terendah yaitu buruh
harian lepas tidak memiliki skill dan bekerja pada sisa-sisa perkotaan.
Ketersediaan asset merupakan modal utama bagai karateristik ini, dengan
asset yang terbatas produkstivitas bisa berkembang dengan cepat.
Kedua
karateristik ini memiliki basis pemikiran ekonomi susbsisten, yaitu
(Ever 1984) hubungan langsung antara produksi dan konsumsi (produksi
sama dengan konsumsi) yang lepas dari hitungan negara, melibatkan tenaga
kerja tanpa bayar dalam rumah tangga. Atau (Chayanov 1966) suatu
aktivitas ekonomi yang melakukan self exploitation dengan
maksud untuk memuaskan kebutuhan rumah tangga dengan apa yang dipunyai
oleh pekerja rumah tangga tanpa dibayar. Namun demikian keduanya berada
pada level yang berbeda. Pada line jalan raya level subsistensinya sudah jauh berkurang dan cenderung ke pemikiran ekonomi pasar. Pada line sungai atau laut pemikiran susbsistensi masih sangat dominan.
Untuk
membangun desa seperti itu mestinya mengacu pada aspek sosial-ekonomi
pedesaan. Pembangunan yang mengabaikan aspek sosial-ekonomi pedesaan
selama terbukti gagal dan tidak berkelanjutan. Program-program tersebut
hanya menjadi sarana politis yang menguntungkan bagi kepentingan elit
saja.
Apa yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pedesaan yang berbasis sosial-ekonomi. Pertama,
adalah infrastruktur sosial. Kekuatan sosial apa yang mendorong
masyarakat untuk berkembang dan potensi apa yang bisa dikembangkan dan
stuktur sosial apa yang menghambatnya. Kedua, infrastruktur
ekonomi. Ini menyangkut bagaimana masyarakat mampu mempertahakan
kelangsungan konsumsi di desa. Apakah struktur produksi yang akses
pasar, atau struktur tauke atau faktor lainnya. Ketiga, tahap pemikiran yang berkembang pada masyarakat tersebut, tradisional, moderen, subsisten atau pasar.Keempat,
bebasis kemandirian lokal dan untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Tahap
awal orientasi produksi masyarakat harus diarahkan kepada kebutuhan
domestik rumah tangga di desa, setelah itu bertahap pemenuhan kebutuhan
lebih besar, khususnya pemenuhan kebutuhan pasar kecamatan lalu
berkembang terus sampai ke pemenuhan kebutuhan pasar global.
Pada
masyaralat pedesaan tidak terdapat batasan yang tegas antara area
ekonomi dan area sosial. Keduanya melekat dan saling melengkapi dalam
satu kerangka identitas lokal. Jadi infrastruktur sosial dan
infrastruktur ekonomi seringkali menyatu dalam satu struktur yang tidak
begitu tegas. Kekuatan infrasutkrut ekonomi akan secara otomatis
meletakan pososi status sosial pada struktur sosial. Kerana itulah jika
pembangunan pedesaan didekati hanya dari satu aspek saja, maka akan
mengganggu infrastruktur pedesaan yang sudah ada dan biasanya akan
mengalami hambatan dalam proses pencapaian tujuan program. Pemahamana
sosial-ekomoni pedesaan bisa dengan mudah dipahami melalui identifikasi
pemikiran ekonomi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Program Membangun Desa semestinya secara filosofisnya mampu menjawab permasalah over consumption (Konsumsi
berlebih) sehingga secara perlahan bisa melepaskan ketergantungan
masyarakat desa dari tauke sebagai bagian dari perbaikan infratruktur
ekonomi dan perubahan pemikiran ekonomi. Filosofi ini harus diikuti oleh
pembangunan infrastruktur sosial dan kelembagan desa yang berbasis pada
potensi desa. Untuk itu sebagai program Pemberdayaan Desa mau tidak mau
harus menyentuh pada tiga aspek penting di pedesaan, yaitu manusia,
pengembangan usaha dan kapasitas kelembagaan.
Aspek
manusia meliputi perubahan pola pikir dari pemikiran ekonomi susbsisten
ke pemikiran ekonomi pasar, dari berproduksi untuk konsumsi menuju ke
berproduksi untuk peningkatan pendapatan. Maka diperlukan
langkah-langkah pengembangan usaha melalui penyediaan modal,
pendampingan, pembentukan pasar dan kemampuan menejerial. Langkah ini
tidak mungkin bisa dilakukan sendiri-sendiri maka perlu dilakukan secara
bersama dengan membangun modal sosial melalui kelembagaan-kelembagaan
formal, informal dan kelompok sosial dan ekonomi yang ada di desa.
Selanjutnya diperlukan suatu kelembagaan ekonomi yang didukung oleh
kelembagaan formal dan informal desa.
Untuk
menghimpun langkah bersama tersebut diperlukan sebuah lembaga ekonomi
berbasis komunitas yang dikenal dengan lembaga keuangan mikro dan
fasilitas kedai desa yang khusus melayani masyarakat aygn tidak mampu.
Agar kelembagaan formal dan non-formal mendukung langkah-langkah ini,
maka diperlukan pendampingan bagi perbaikan kelembagaan pedesaan
tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan
akademik yang mendorong dikembangkannya lembaga keuangan mikro
ditingkat pedesaan tidak dilepas dari beberapa hal yang mendorong
perubahan di tingkat pedesaan dan kedai desa. Faktor utama dari
kecenderungan perubahan di pedesaan (Rawa 2004) adalah penetrasi
perubahan yang tidak terkontrol dan mampu merombak tatanan struktur
sosial dan ekonomi pedesaan yang sudah ada. Perubahan struktur sosial
menjadikan pengembangan pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat
dengan struktur sosial lama.
Perombakan
struktural ini telah menyebabkan perobahan ekonomi subsisten ke ekonomi
pasar, walaupun tidak secara otomatis diikuti oleh cara berpikir
ekonomi. Rumah tangga sudah berada pada ekonomi pasar tetapi cara
berpikir masih ekonomi subsisten, ini terjadi karena tidak tampilnya
negara untuk mengantikan posisi tauke pada struktur yang berubah
tersebut. Dalam situasi perubahan seperti ini peran lembaga keuangan
mikro menjadi sangat dominan, dimana posisi tauke secara perlahan
tergeser, sementara lembaga penjamin lainnya belum muncul. Jika tidak
ada yang menggantikan psosisi tauke ini maka secara perlahan akan
terjadi kerawanan pangan.
Sementara
pada masyarakat yang belum mengalami perubahan struktur sosial-ekonomi
pedesaan, lembaga keuangan mikro ditingkat pedesaan bisa menjadi lembaga
penyeimbang dari tauke yang bisa mengurangi tekanan penghisapan tauke
kepada masyarakat. Jika tidak tersedia lembaga penyeimbang ini maka
petani akan membatasi diri dan tetap bergantung pada tauke sebagai suatu
sistem patron-klien. Artinya lembaga keuangan mikro dipedesaan mampu
menjadi pendorong bagi arah perubahan di pedesaan untuk lepas dari
struktur sosial-ekonomi yang menjerat tersebut.
0 comments:
Post a Comment