Sunday, 9 December 2012

Pembangunan berdasarkan Karakter

Untuk melakukan pembangunan desa sudah seharusnya kita lebih dahulu memahami karakter desa yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, saya berlandaskan pada karakter desa di Sumatera karena desa-desa ini lebih dekat dan saya kenal.
Desa-desa di Sumatera umumnya memiliki tipologi The Line Village (Jefta Leibo, 1990) yaitu perkampungan dipinggiran sungai atau lautan dan dipinggir jalan raya. Mereka berdiam dalam satu komunitas yang berada dipinggir sungai, laut dan jalan raya tersebut sedangkan perkebunannya berada di luar kampung. Perkampungan yang dipinggir sungai atau laut mencirikan budaya asli masyarakat yang merupakan cikal-bakal masyarakat di desa tersebut. Sedangkan yang dipinggir jalan merupakan perkampungan baru yang tumbuh karena pertumbuhan jalan raya, pertumbuhan kota, pertumbuhan industri.
Karakter budaya line sungai atau laut adalah ekonomi berbasis sumber daya alam yang bercorakkan pada tiga pola ekonomi (Rawa, 2001) yaitu Pertama, pendapatan tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah, yang dilanjutkan dengan perkebunan tanaman keras. Kedua, produksi bulanan yang digunakan untuk melengkapi konsumsi tahunan,misalnya meneres karet (getah), membalak, melaut. Konsumsinya dijamin oleh tauke dengan sistem ijon, tuake memenuhi kebutuhan konsumsi lebih dahulu kemudian dibayar dengan hasil kerja bulanannya tersebut.
Ketiga, konsumsi mingguan atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian ini biasanya berupa usaha reproduksi rumah tangga, pengolahan perkarangan, kebun dan bisa juga memancing ikan.

Infrastruktur utama ekonomi pada line sungai atau laut ini adalah tauke sebagai penjamin kelangsungan konsumsi rumah tangga mereka. Tauke menjadi pasar yang membeli secara otomatis dan sederhana produksi rumah tangga tersebut, dan sekaligus berfungsi sebagai akses pinjaman (bank) dan in put (pejualan) barang untuk kebutuhan sehari-hari. Tauke ini menjamin konsumsi disemua musim, sepanjang waktu bahkan seluruh kebutuhan hidup.
Sebaliknya, karakter yang ada di line jalan raya lebih dekat kepada karakter budaya migran perkotaan (rawa 2002). Mingran perkotaan ini terdiri dari beberapa lapisan sosial yang terbangun berdasarkan kemampuan akses ekonomi kepada sumberdaya ekonomi yang dibangun akibat proses modernisasi. Terdapat tiga corak utama, yaitu pegawai yang bekerja di kantor, buruh harian lepas, dan buruh kebun.
Pada karakter ini tidak terdapat jaminan dari infrastruktur ekonomi, pedagang tidak selalu bersedia bertindak seabagai tauke. Satu-satunya sumber jaminan yang bersifat sementara dan sangat menjerat adalah bank gelap atau rentenir. Rumah tangga di line jalan raya bisanya memiliki asset tanah terbatas namun memiliki skill yang lumayan baik sesuai dengan lapisan sosialnya. Namun demikian, lapisan terendah yaitu buruh harian lepas tidak memiliki skill dan bekerja pada sisa-sisa perkotaan. Ketersediaan asset merupakan modal utama bagai karateristik ini, dengan asset yang terbatas produkstivitas bisa berkembang dengan cepat.
Kedua karateristik ini memiliki basis pemikiran ekonomi susbsisten, yaitu (Ever 1984) hubungan langsung antara produksi dan konsumsi (produksi sama dengan konsumsi) yang lepas dari hitungan negara, melibatkan tenaga kerja tanpa bayar dalam rumah tangga. Atau (Chayanov 1966) suatu aktivitas ekonomi yang melakukan self exploitation dengan maksud untuk memuaskan kebutuhan rumah tangga dengan apa yang dipunyai oleh pekerja rumah tangga tanpa dibayar. Namun demikian keduanya berada pada level yang berbeda. Pada line jalan raya level subsistensinya sudah jauh berkurang dan cenderung ke pemikiran ekonomi pasar. Pada line sungai atau laut pemikiran susbsistensi masih sangat dominan.
Untuk membangun desa seperti itu mestinya mengacu pada aspek sosial-ekonomi pedesaan. Pembangunan yang mengabaikan aspek sosial-ekonomi pedesaan selama terbukti gagal dan tidak berkelanjutan. Program-program tersebut hanya menjadi sarana politis yang menguntungkan bagi kepentingan elit saja.
Apa yang perlu diperhatikan dalam perencanaan pedesaan yang berbasis sosial-ekonomi. Pertama, adalah infrastruktur sosial. Kekuatan sosial apa yang mendorong masyarakat untuk berkembang dan potensi apa yang bisa dikembangkan dan stuktur sosial apa yang menghambatnya. Kedua, infrastruktur ekonomi. Ini menyangkut bagaimana masyarakat mampu mempertahakan kelangsungan konsumsi di desa. Apakah struktur produksi yang akses pasar, atau struktur tauke atau faktor lainnya. Ketiga, tahap pemikiran yang berkembang pada masyarakat tersebut, tradisional, moderen, subsisten atau pasar.Keempat, bebasis kemandirian lokal dan untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Tahap awal orientasi produksi masyarakat harus diarahkan kepada kebutuhan domestik rumah tangga di desa, setelah itu bertahap pemenuhan kebutuhan lebih besar, khususnya pemenuhan kebutuhan pasar kecamatan lalu berkembang terus sampai ke pemenuhan kebutuhan pasar global.
Pada masyaralat pedesaan tidak terdapat batasan yang tegas antara area ekonomi dan area sosial. Keduanya melekat dan saling melengkapi dalam satu kerangka identitas lokal. Jadi infrastruktur sosial dan infrastruktur ekonomi seringkali menyatu dalam satu struktur yang tidak begitu tegas. Kekuatan infrasutkrut ekonomi akan secara otomatis meletakan pososi status sosial pada struktur sosial. Kerana itulah jika pembangunan pedesaan didekati hanya dari satu aspek saja, maka akan mengganggu infrastruktur pedesaan yang sudah ada dan biasanya akan mengalami hambatan dalam proses pencapaian tujuan program. Pemahamana sosial-ekomoni pedesaan bisa dengan mudah dipahami melalui identifikasi pemikiran ekonomi yang berkembang ditengah-tengah masyarakat.
Program Membangun Desa semestinya secara filosofisnya mampu menjawab permasalah over consumption (Konsumsi berlebih) sehingga secara perlahan bisa melepaskan ketergantungan masyarakat desa dari tauke sebagai bagian dari perbaikan infratruktur ekonomi dan perubahan pemikiran ekonomi. Filosofi ini harus diikuti oleh pembangunan infrastruktur sosial dan kelembagan desa yang berbasis pada potensi desa. Untuk itu sebagai program Pemberdayaan Desa mau tidak mau harus menyentuh pada tiga aspek penting di pedesaan, yaitu manusia, pengembangan usaha dan kapasitas kelembagaan.
Aspek manusia meliputi perubahan pola pikir dari pemikiran ekonomi susbsisten ke pemikiran ekonomi pasar, dari berproduksi untuk konsumsi menuju ke berproduksi untuk peningkatan pendapatan. Maka diperlukan langkah-langkah pengembangan usaha melalui penyediaan modal, pendampingan, pembentukan pasar dan kemampuan menejerial. Langkah ini tidak mungkin bisa dilakukan sendiri-sendiri maka perlu dilakukan secara bersama dengan membangun modal sosial melalui kelembagaan-kelembagaan formal, informal dan kelompok sosial dan ekonomi yang ada di desa. Selanjutnya diperlukan suatu kelembagaan ekonomi yang didukung oleh kelembagaan formal dan informal desa.
Untuk menghimpun langkah bersama tersebut diperlukan sebuah lembaga ekonomi berbasis komunitas yang dikenal dengan lembaga keuangan mikro dan fasilitas kedai desa yang khusus melayani masyarakat aygn tidak mampu. Agar kelembagaan formal dan non-formal mendukung langkah-langkah ini, maka diperlukan pendampingan bagi perbaikan kelembagaan pedesaan tersebut.
Pertimbangan-pertimbangan akademik yang mendorong dikembangkannya lembaga keuangan mikro ditingkat pedesaan tidak dilepas dari beberapa hal yang mendorong perubahan di tingkat pedesaan dan kedai desa. Faktor utama dari kecenderungan perubahan di pedesaan (Rawa 2004) adalah penetrasi perubahan yang tidak terkontrol dan mampu merombak tatanan struktur sosial dan ekonomi pedesaan yang sudah ada. Perubahan struktur sosial menjadikan pengembangan pilihan-pilihan alternatif yang tidak terikat dengan struktur sosial lama.
Perombakan struktural ini telah menyebabkan perobahan ekonomi subsisten ke ekonomi pasar, walaupun tidak secara otomatis diikuti oleh cara berpikir ekonomi. Rumah tangga sudah berada pada ekonomi pasar tetapi cara berpikir masih ekonomi subsisten, ini terjadi karena tidak tampilnya negara untuk mengantikan posisi tauke pada struktur yang berubah tersebut. Dalam situasi perubahan seperti ini peran lembaga keuangan mikro menjadi sangat dominan, dimana posisi tauke secara perlahan tergeser, sementara lembaga penjamin lainnya belum muncul. Jika tidak ada yang menggantikan psosisi tauke ini maka secara perlahan akan terjadi kerawanan pangan.
Sementara pada masyarakat yang belum mengalami perubahan struktur sosial-ekonomi pedesaan, lembaga keuangan mikro ditingkat pedesaan bisa menjadi lembaga penyeimbang dari tauke yang bisa mengurangi tekanan penghisapan tauke kepada masyarakat. Jika tidak tersedia lembaga penyeimbang ini maka petani akan membatasi diri dan tetap bergantung pada tauke sebagai suatu sistem patron-klien. Artinya lembaga keuangan mikro dipedesaan mampu menjadi pendorong bagi arah perubahan di pedesaan untuk lepas dari struktur sosial-ekonomi yang menjerat tersebut.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More