melaksanakan
otonomi desa pada 2011, yakni ditandai pembahasan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDesa) serta pengelolaan keuangan desa. Secara umum,
otonomi desa dapat digambarkan sebagai kinerja pemerintah (eksekutif) di desa.
Sistem
dan pola pemerintahan yang sama dengan tingkat kabupaten atau kota
itu, imbuh dia sehingga seperti halnya pemilihan kepala daerah tingkat
kabupaten dan kota (bupati dan wali kota) maka kepala desa terpilih
harus memiliki visi dan misi selama lima tahun ke depan yang dijabarkan
dalam RPJMDesa, serta Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa).
Rencana anggaran itu disusun bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk kegiatan tiap tahun.
Pemerintah Desa harus menyusun APBDesa yang setelah mendapat persetujuan bersama
dari BPD, kemudian diajukan kepada bupati atau wali kota untuk ditetapkan sebagai Peraturan Desa.
"Karena telah memiliki APBDesa, maka pemerintah desa melaksanakan kegiatan pengelolaan keuangan desa melalui rekening kas desa.
Besarnya
anggaran yang disalurkan melalui Alokasi Dana Desa (ADD) berdasarkan
Peraturan Mendagri (Penmendagri) No. 37 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa, besarnya ADD paling sedikit 10 persen dari APBD kabupaten
dan kota.
Sumber pendanaannya dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten dan kota untuk desa.
Sesuai
Permendagri NO 37 itu, maka setiap pengeluaran belanja atas beban
APBDesa pun harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah.
Pasalnya,
imbuh dia, ADD langsung ditransfer ke rekening desa dan dikelola
pemerintah desa. Bahkan dalam Permendagri di atas, turut mengatur Sisa
Lebih Penghitungan Anggaran (Silpa) tahun sebelumnya, dana cadangan desa
yang disimpan dalam rekening tersendiri, hingga perubahan APBDesa.
"Jadi pengelolaan keuangan desa kini memiliki mekanisme yang lebih rumit
dibanding tahun-tahun sebelumnya yang biasanya melalui program Bantuan Desa
berdasarkan
Permendagri No 37/2007, penggunaan ADD adalah sebesar 30 persen untuk
belanja aparatur dan operasional, dan 70 persen untuk biaya pemberdayaan
masyarakat. Jadi RPJMDesa dan RKPDesa harus mengacu pada ketentuan
Permendagri ini.
Pemberdayaan masyarakat itu meliputi biaya
perbaikan sarana publik dalam skala kecil, penyertaan modal usaha
masyarakat melalui BUMDesa, biaya pengadaan ketahanan pangan, perbaikan
lingkungan dan pemukiman, teknologi tepat guna, perbaikan kesehatan dan
pendidikan, pengembangan sosial budaya dan
lainnya yang dianggap penting.
Otonomi
Desa bukanlah otonomi yang tergantung kabupaten, namun otonomi desa
yang terkoordinasi dengan kabupaten. Untuk itu, yang dibutuhkan desa dan
masyarakatnya adalah pengakuan (rekognisi), misalnya : dalam struktur
sosial di desa terdapat organisasi-organisasi dan atau kelompok-kelompok
masyarakat dengan berbagai tujuan memberdayakan diri, dan berkelompok
bagi mereka adalah cara untuk saling membangun kepercayaan dan
solidaritas. Sehingga dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan desa, mereka disertakan dan turut mengambil keputusan. Dalam
berbagai kebijakan program sektoral di desa, organisasi-organisasi dan
atau kelompok-kelompok masyarakat yang telah ada dan berkembang, tidak
tersentuh, bahkan dijauhkan. Sebaliknya, dibentuk struktur-struktur
sosial baru yang jauh dari kebiasaan mereka, sehingga rawan mengundang
konflik dan memecah bangunan sosial yang ada. Padahal, karakteristik
desa perlu dihormati dan dikembangkan.
Desa
dan masyarakatnya juga membutuhkan subsidiaritas; lokalisasi kewenangan
ditingkat desa dan pengambilan keputusan secara lokal atas kepentingan
masyarakat desa. Sebagai gambaran, desa dan masyarakatnya menghendaki
adanya kebijakan (policy) ditingkat desa yang dijadikan dasar untuk
menyelesaikan masalah atas dasar kepentingan masyarakat desa, bukan
penyelesaian masalah yang dasar policynya (kebijakannya) menunggu
petunjuk dari kecamatan atau kabupaten. Kondisi 'menunggu petunjuk'
untuk mengambil keputusan ini menjadi kenyataan umum di desa-desa.
Dengan demikian, desa tidak akan bisa berkembang dengan baik, antipati
masyarakat akan meningkat karena banyak masalah tidak terselesaikan
dengan baik, dan pada gilirannya kontraproduktif dengan berbagai upaya
memperkuat kelembagaan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Karenanya,
perlu jelas; mana masalah yang cara menyelesaikannya, cukup dengan
policy (kebijakan) desa, dan mana masalah yang dasar penyelesaiannya
diatur melalui kebijakan kabupaten?.
Jika
kondisi ini terjadi, akan tumbuh kepercayaan desa dan masyarakatnya
bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan secara cepat dan
efektif di desa. Bisakah ini terjadi?
Kita
patut kritis terhadap gagasan Pemkab. Di satu sisi, pemkab ingin
menekankan mekanisme rentang kendali yang ketat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan melalui berbagai kebijakan yang kuat dan
signifikan untuk desa, di sisi lain, ingin menghormati, mempertahankan
dan mengembangkan karakter lokal desa sebagai mekanisme untuk mengatur
kehidupannya, bahkan menegaskan otonomi desa adalah otonomi asli. Tentu,
diperlukan rumusan hubungan dan pengaturan sumber daya yang adil dan
efektif antara desa dan kabupaten, karena kebijakan daerah untuk desa
selama ini dirasa belum efektif, bahkan cenderung 'mengebiri' kemampuan
desa dan masyarakatnya untuk mengembangkan kesejahteraan.
Agar
gagasan pemkab tentang Otonomi Desa cepat terkondisikan dan
terintegrasi dengan baik ke dalam RPJMD dan RPJPD, maka, diperlukan
terobosan ; a) ada bagian tersendiri dalam struktur pemerintah daerah
yang fokus dan efektif mengawal terwujudnya otonomi desa, sekaligus
sebagai alamat untuk mengkoordinasikan berbagai perkembangan desa,
bahkan bertugas mengkoordinasikan dukungan program-program sektoral ke
desa, b) mempercepat penyelesaian rancangan peraturan daerah terkait
pembagian urusan pemerintahan antara kabupaten dan desa, c) memperjelas
skema kebijakan untuk mengatasi kesenjangan fiskal antara kabupaten dan
desa melalui peraturan daerah tentang 'Perimbangan Keuangan antara Desa
dan Kabupaten' (ADD diatur didalamnya), dan d) menyelenggarakan
upaya-upaya pemberdayaan masyarakat dan desa/kelurahan sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2007.
Terobosan-terobosan tersebut merupakan upaya untuk "membuat jalan,
memperbaiki jalan, dan sambil berjalan" mewujudkan kesejahteraan
masyarakat desa yang adil.
0 comments:
Post a Comment