PP
No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam
melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali
menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan
terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu
peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu
menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa.
Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak
jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan
kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal,
pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa
terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
Seperti
dilansir dari sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang
Dirjen Pemdes Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala
desa yang sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga
tuntutan yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi.
Sebut saja keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan
keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan terlibat dalam
politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan
dan bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya
bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena
otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di
desa saja harus ada izin dari kabupaten.
Sudah
menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan
dalam Undang-Undang Nomor 32/2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah
Kabupaten untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing.
Otonomi daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah
untuk mengatur anggaran daerahnya sendiri, tapi tidak lepas dari
pengawasan Pemerintah Pusat.
Berkaitan
dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya
berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak
pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan
Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pemba-ngunan desa
yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan
pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam mencip-takan
kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan
inovasi masya-rakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada
sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya.
Dengan demi-kian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan
dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang
mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.
Salah
satu ukuran keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa adalah Pemerintah
Desa semakin mampu memberikan pelayanan kepada masyarakatnya dan mampu
membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan
terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting
Otonomi Daerah. Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh
berhasil tidaknya Otonomi Desa. Namun demikian, realitas yang terjadi
pada era otonomi dan desentralisasi yang muatannya sarat akan
nilai-nilai demokrasi dan transparansi ini cenderung sering menghadirkan
permasalahan yang kompleks di desa. Dimana pada era tersebut, proses
politik berjalan seperti lebih cepat daripada kemampuan untuk mengelola
manajemen pemerintahan desa yang otonom.
Masyarakat
atau kelompok masyarakat diper kenalkan dengan hal baru dalam konteks
politik, yakni kebebasan menentukan sikap dan pendapat serta meniru
demokrasi ala barat, dan demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa
batas. Beberapa kendala lain yang pantas menjadi bahan pemikiran dan
perlu dicari jalan keluarnya, antara lain :
Pertama,
merubah mentalitas aparatur, baik di tingkat Desa, Kecamatan maupun
Kabupaten yang terbiasa bersikap sentralistis menuju mentalitas
pemberdayaan daerah. Sehingga untuk melaksanakan suatu kebijakan
terkadang masih harus menunggu Juklak, Juknis dan segala tuntunan dari
atas (Tuntas).
Kedua,
usulan-usulan tentang prioritas program pembangunan di desa yang
disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten setelah melalui Musbang di
tingkat desa dan kecamatan sering terkesan hanya formalitas dan kurang
diperhatikan dengan sungguh-sungguh oleh Pemerintah Kabupaten. Hal itu
dapat dilihat dari usulan tentang prioritas program pembangunan di desa
dan kecamatan yang "itu-itu saja" dari tahun ke tahun. Ironisnya,
usulan-usulan itu sering terbentur pada ketidakmampuan daerah dalam hal
pendanaan, atau bahkan terperangkap dalam jaring KKN model baru yang
menyebabkannya terlantar dan hanya menjadi arsip dalam laci. Bukan
rahasia lagi bahwa bagi Desa atau Kecamatan yang mempunyai orang yang
memiliki akses di pemerintahan, baik di Legislatif maupun Eksekutif,
sangat memudahkan Desa atau Kecamatan tersebut memperoleh prioritas
proyek-proyek pembangunan.
Ketiga,
jika Otonomi Desa benar-benar dapat diwujudkan, barangkali cukup
menguntungkan bagi desa-desa yang memiliki aset dan sumber daya alam
yang memadai, namun justru mempersulit untuk desa-desa yang kurang
strategis dalam masalah sumber daya alam dan tidak memiliki aset yang
cukup.
Keempat,
sikap ambigu Pemerintah Kabupaten dalam penanganan aset Kabupaten yang
ada di desa. Di satu sisi aset tersebut dituntut untuk menjadi mata air
bagi PAD yang harus selalu mengalir deras. Di sisi lain, Desa yang
memiliki aset dan banyak menerima imbas dari keberadaan aset tersebut
kurang dilibatkan penanganannya dan hanya menerima penyisihan hasil yang
sangat jauh dari pantas, apalagi cukup. Contoh yang mudah mengenai hal
ini adalah keberadaan pasar milik Pemerintah Kabupaten yang ada di desa.
Ada satu wacana, bahwa untuk terwujudnya keadilan atau keseimbangan
dalam pemanfaatan Dana Alokasi Umum (DAU) Kabupaten, desa-desa mesti
tergabung dalam asosiasi atau paguyuban agar memiliki kekuatan untuk
berembug dan tawar-menawar dalam hal pemanfaatan DAU Kabupaten.
PP
No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam
melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali
menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan
terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu
peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu
menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa.
Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak
jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan
kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal,
pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa
terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
Reduksi
sistematis terhadap kedudukan dan peranan BPD terlihat
sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1). Tidak ditegaskannya
kedudukan BPD sebagai parlemen/legislatif desa; (2). Mekanisme pengisian
keanggotaan BPD yang semula dalam UU No. 22/1999 "dipilih" berdasarkan
mekanisme demokratis, kini dalam UU No. 32/2004 ditetapkan secara
musyawarah dan mufakat dengan basis perwakilan wilayah.
Ditinjau
dari sudut aliran pertanggungjawaban (legal accountabi-lity)
penyelenggaraan pemerintahan desa oleh Kepala Desa versi UU No. 32/2004
maupun PP No. 72/2005, terlihat sangat kentara adanya tarikan ke atas.
Pasal 15 ayat (2) PP No. 72/2005 menyebutkan bahwa Kepala Desa mempunyai
kewajiban untuk memberikan laporan penye-lenggaraan pemerintahan desa
kepada Bupati/Walikota. Tanggung jawab Kepala Desa kepada BPD hanya
dalam bentuk penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban, dan
kepada masyarakat hanya menginformasikan laporan penyelenggaraan
pemerintahan desa.
Rumusan
aturan dalam pasal 15 ayat (2) PP desa itu tentu saja terlihat
kontradiktif dengan pasal 35 huruf b PP desa, yang mengatur bahwa BPD
memiliki salah satu wewenang untuk melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. Meskipun pada
pasal 35 huruf c PP Desa BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala desa kepada Bupati/walikota, namun
mengacu pada rumusan pasal 15 ayat (2) PP Desa di atas, sangat jelas
terlihat ambiguitas pe-ngaturan kewenangan pengawasan BPD.
Selain
itu, menyangkut sistem perencanaan di desa terlihat pula belum adanya
kehendak negara untuk membangun pola local self planning di desa. Pasal
63 PP Desa masih mengikuti jejak UU No. 32/2004, yang menempatkan
perencanaan desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan
pembangunan daerah kabupaten/kota. Sementara itu, pasal 150 UU No.
32/2004 telah menegaskan bahwa sistem perencanaan daerah merupakan satu
kesatuan dengan perencanaan pembangunan nasional. Apabila ditarik garis
lurus untuk menghubungkan substansi pengaturan mengenai perencanaan di
desa, daerah dan pusat, terlihat sangat jelas yang dibangun adalah model
perencanaan terpusat (centralized planning). Sentralisasi perencanaan
semacam itu sebenarnya justru mengingkari hakekat otonomi daerah, yang
seharusnya terus mengalir menjadi otonomi desa dan akhirnya menjadi
otonomi rakyat.
0 comments:
Post a Comment