TANGGAL
4 Mei 1999 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah yang dikenal sebagai UU Otonomi Daerah disahkan. Dengan demikian
sudah lebih dari 10 tahun UU itu dilaksanakan. Sejumlah keberhasilan dan
kegagalan dalam pelaksanaannya telah terjadi, namun menyangkut
keotonomian desa yang sebenarnya tercantum dalam Pasal 1 Ayat O tentang
Otonomi Desa, dapat dikatakan sama sekali tidak pernah disinggung
apalagi dilaksanakan.
Munculnya
RUU tentang Desa nampaknya menjadi harapan baru akan adanya otonomi
desa yang sesungguhnya. Salah satu faktor penting dalam melaksanakan
otonomi desa tersebut adalah tersedianya sumber dana yang memang selama
ini tidak terlalu jelas jumlah dan asalnya.
RUU
tentang Desa, Pasal 80 Ayat 1 menyebutkan bahwa sumber pendapatan desa
berasal dari (nomor b): bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling
sedikit 10% untuk desa dan dari retribusi kabupaten/kota sebagian
diperuntukkan bagi desa; dan (nomor c) bagian dari dana perimbangan
keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa
paling sedikit 10% yang merupakan alokasi dana desa. Apabila RUU ini
jadi diundangkan maka desa akan mempunyai kekuatan baru untuk
melaksanakan seluruh kewajibannya yang memang cukup berat sesuai dengan
RUU tentang Desa, Pasal 18 Ayat 2.
Dalam
rangka mewujudkan otonomi desa tersebut sejumlah kekuatan penggerak
otonomi desa, baik LSM, pemerintahan desa, maupun kekuatan masyarakat
sipil telah secara jelas melakukan dukungan (tekanan), agar RUU tentang
Desa tersebut dapat segera disahkan. Namun sejumlah kekuatan birokrasi
pemerintah di aras atas desa sampai nasional merasa berkeberatan dengan
akan disahkannya RUU tersebut. Alasannya yakni pengesahan RUU tersebut
akan mengurangi kemampuan otonomi daerah di aras kabupaten dan provinsi,
dan akan semakin beratnya beban keuangan negara pada jangka panjangnya.
Permasalahannya bagaimana kita harus memandang dan menyikapi
kontroversi tetang otonomi desa tersebut.
Walaupun
sampai saat ini belum ada evaluasi resmi tentang dampak pemekaran
kabupaten, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pemekaran kabupaten
walaupun di sana-sini menunjukkan kelemahannya, seperti munculnya
sejumlah rent seekers, kabupaten induk yang semakin kecil, dan beban
negara yang semakin berat (pada jangka panjangnya), dipandang dari sudut
rakyat di daerah, munculnya daerah otonomi baru jelas memberi manfaat,
seperti adanya pengakuan identitas lokal yang membanggakan, pelayanan
publik yang semakin dekat, dan munculnya sejumlah bangunan fisik baru
yang selama ini, untuk daerah tertentu ''dilupakan''.
Baik
itu pemekaran daerah dari wilayah yang secara potensial memang layak
dan memang sudah seharusnya dimekarkan, seperti pemekaran daerah
Kabupaten Sambas menjadi Daerah Otonomi Baru Bengkayang, Singkawang, dan
Sambas sendiri, maupun pemekaran daerah yang sebenarnya kurang layak
dimekarkan, seperti pemekaran daerah Kabupaten Sumba Barat menjadi
Daerah Otonomi Baru Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, dan Sumba Barat
sendiri, menunjukkan bahwa dilihat dari sudut rakyat pemekaran tersebut
sangat bermanfaat.
Segera
Disahkan Dengan belajar dari proses pemekaran kabupaten tersebut dan
adanya ''pengabaian'' wilayah desa dan rakyat di pedesaan yang selama
ini terus-menerus secara sadar telah dilakukan oleh pemerintah, maka
sudah selayaknya bahwa RUU yang menyangkut Otonomi Desa harus segera
disahkan. Dengan demikian maka kalau pandangan kita mendasarkan diri
pada kepentingan rakyat di aras desa, bukan pada elite politik di aras
atas desa, maka sudah selayaknya kita mendukung pengesahan RUU tentang
Desa tersebut.
Walaupun
otonomi desa jelas harus segera diwujudkan dengan dukungan dana yang
jelas, tetap perlu kehati-hatian di dalam menyikapinya. Paling tidak ada
tiga permasalahan utama di dalam pengelolaan otonomi desa, yaitu
munculnya rent seekers di aras lokal, partisipasi rakyat yang belum
efektif, dan kemampuan pengelolaan keuangan yang masih lemah.
0 comments:
Post a Comment