Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah
sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam
negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain
persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak
bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai
kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya
akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya
jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus
urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan
rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas.
Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi
keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981),
mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak
lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang
dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka
menerima upah yang sangat sedikit.
(1)
memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk
memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa
aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup
(sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk
memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk
berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan
Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan
mengelola pemerintahan dengan baik.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara
menyeluruh kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah,
dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia.
Berdasarkan Human Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human Development Index
(HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut merupakan komposit
dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun, angka melek
aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen, kombinasi
angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan
pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per
kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara (Kompas, 2004).Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Dari
pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat
dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak
layak; (2) terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3)
kuranya kemampuan membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan
kesejahteraan hidup; (5) kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial
dan ekonomi; (6) ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses
terhadap ilmu pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat oleh BAPPENAS berikut ini;
¨
terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang
terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status
gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan
tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari.
Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih
dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
¨
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh
kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan
kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan
kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan
kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi
lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang
masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS.
Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin,
hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya.
Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya
menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di
antaranya penduduk miskin;
¨
terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan
oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas,
biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang
terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
¨
terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan
terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan
kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh
migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
¨ terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat
miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian
lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman
yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari
satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
¨
terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air
bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan
menurunnya mutu sumber air;
¨
lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin
menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah,
serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.
Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap
tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di
atas tanah pertanian;
¨
memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat
miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah
pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada
sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
¨
lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan
bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan
korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi.
Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001
diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah
konflik;
¨
lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan
hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah
garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka
dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin
dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik
mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang
memungkinkan keterlibatan mereka;
¨
besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan
keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota
keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga
miskin di perkotaan ratarata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan
rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari
berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiiskinan
adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses
dan rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan
berusaha; (5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan
upah; (6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi; (7)
terbatasnya akses terhadap air bersih; (8) lemahnya kepastian
kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi lingkungan
hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap
sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya
partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk
yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik,
meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Kenyataan
menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat
sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi
kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi
kehidupan manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat
ditanggulangi apabila dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut
Bank Dunia (2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan
kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan
kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang
bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di
antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya
perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi
(ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas
dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang
dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan
lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik
(good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan
tidak berwawasan lingkungan. Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan, pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Kemisiknan Desa
Desa
hingga saat ini tetap menjadi kantong utama kemiskinan. Pada tahun 1998
dari 49,5 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia sekitar 60%-nya (29,7
juta jiwa) tinggal di daerah pedesaan. Pada tahun 1999, prosentase angka
kemiskinan mengalami penurunan dari 49,5 juta jiwa menjadi 37,5 juta
jiwa. Prosentase kemiskinan di daerah perkotaan mengalami penurunan,
tetapi prosentase kemiskinan di daerah pedesaan justru mengalami
peningkatan dari 60% tahun 1998 menjadi 67% tahun 1999 sebesar 25,1 juta
jiwa, sementara di daerah perkotaan hanya mencapai 12,4 juta jiwa (Data
BAPPENAS, 2004). Data tersebut diperkuat laporan Kompas tahun 2004 yang
menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di
daerah pedesaan. Dengan demikian, desa hingga sekarang tetap menjadi
kantong terbesar dari pusat kemiskinan. Tabel berikut menggambarkan
prosentase perubahan dan jumlah penduduk miskin antara kota dengan desa
dari tahun 1976 sampai dengan tahun 1999.
Data
berikut menggambarkan bagaimana kemiskinan mempengaruhi tingkat
pendidikan masyarakat pedesaan. Pada tahun 2003 rata-rata lama sekolah
penduduk berusia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi
penduduk berusia 10 tahun ke atas yang berpendidikan SLTP ke atas masih
sekitar 36,2 persen. Angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas
masih sebesar 10,12 persen. Pada saat yang sama Angka Partisipasi
Sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun
APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen, dan APS
penduduk usia 16-18 tahun baru mencapai 50,97 persen. Tantangan tersebut
menjadi semakin berat dengan adanya disparitas tingkat pendidikan
antarkelompok masyarakat yang masih cukup tinggi seperti antara penduduk
kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk
perempuan, antara penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah
(Bappenas, 2004).
Tingkat
pendidikan kepala rumahtangga yang rendah sangat mempengaruhi indeks
kemiskinan di daerah pedesaan. Data yang disajikan BPS memperlihatkan
bahwa 72,01% dari rumahtangga miskin di pedesaan dipimpin kepala
rumahtangga yang tidak tamat SD, dan 24,32% dipimpin kepala rumahtangga
yang berpendidikan SD. Ciri rumahtangga miskin yang erat kaitanya dengan
tingkat pendidikan adalah sumber penghasilan. Pada tahun 1996,
penghasilan utama dari 63,0% rumahtangga miskin bersumber dari
pertanian, 6,4% dari kegiatan industri, 27,7% dari kegiatan jasa-jasa
termasuk perdagangan. Dari sekitar 66.000 jumlah desa di Indonesia,
tahun 1994 jumlah desa tertinggal mencapai 22.094 desa dan yang berada
di daerah pedesaan sekitar 20.951 desa. Pada tahun 1999 jumlah desa
tertinggal mencapai 16.566 dari sekitar 66.000 desa yang ada.
Menurut
BPS, kantong penyebab kemiskinan desa, umumnya bersumber dari sektor
pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan pertanian.
Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami penurunan
3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian
juga disebabkan ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang
terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan
melempem. Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8%
dari seluruh kredit perbankan, dan hanya naik 2% di tahun 2000 menjadi
19%.
Data-data
mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan sudah
sangat lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator
kemiskinan desa dan strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas,
penyebab utama kemiskinan desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan
yang rendah: (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3)
ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran
kredit yang terbatas; (4) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan
dasar; (5) kebijakan pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke
kota); (6) pengelolaan ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional;
(7) rendahnya produktivitas dan pembentukan modal; (8) budaya menabung
yang belum berkembang di kalangan masyarakat desa; (9) tata pemerintahan
yang buruk (bad governance) yang umumnya masih berkembang di
daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan sosial untuk bertahan hidup
dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat desa; (11) rendahnya
jaminan kesehatan.
Masyrakat
desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini
terpenuhi seperti; (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2)
memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas; (3) tidak adanya
kesempatan menikmati investasi di sektor pertanian; (4) kurangnya
kesempatan memperoleh kredit usaha; (4) tidak terpenuhinya salah satu
kebutuhan dasar (pangan, papan, perumahan); (5) berurbanisasi ke kota;
(6) menggunakan cara-cara pertanian tradisional; (7) kurangnya
produktivitas usaha; (8) tidak adanya tabungan; (9) kesehatan yang
kurang terjamin; (10) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial; (11)
terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12)
tidak memiliki akses untuk memperoleh air bersih; (13) tidak adanya
partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
Review Kebijakan Dan Program
Selama
ini, kebijakan penanggulangan kemiskinan, didesain secara sentralistik
oleh pemerintah pusat yang diwakili BAPPENAS. BAPPENAS merancang program
penangulangan kemiskinan dengan dukungan alokasi dan distribusi
anggaran dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) dan utang
kepada Bank Dunia serta lembaga keuangan mmultinasional lainnya. Berkat
alokasi anggaran yang memadai, pemerintah pusat menjalankan kebijakan
sentralistik dengan program-program yang bersifat karitatif. Sejak tahun
1970-an di bawah kebijakan economic growth sampai dengan
sekarang, pemerintah pusat menjadikan desa sebagai obyek dari seluruh
proyek yang dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan
kebijakan tersebut, pemerintah pusat menjalankan program-programnya
dalam bentuk: (1) menurunkan jumlah persentase penduduk yang berada
dibawah garis kemiskinan melalui bantuan kredit, jaminan usaha dan
pengadaan sarana dan prasarana di desa seperti PUSKESMAS, INPRES, KUD,
dan sebagainya; (2) mengusahakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat
miskin melalui distribusi sembako yang dibagikan secara gratis kepada
penduduk miskin; (3) mengusahakan pelayanan kesehatan yang memadai
dengan menyebarkan tenaga-tenaga kesehatan ke desa dan pengadaan
obat-obatan melalui PUSKESMAS; (4) mengusahakan penyediaan fasilitas
pendidikan dasar dengan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah INPRES;
(5) menyediakan kesempatan bekerja dan berusaha melalui proyek-proyek
perbaikan sarana dan prasarana milik pemerintah, penyediaan kredit dan
modal usaha yang diberikan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat
miskin; (6) memenuhi kebutuhan perumahan dan sanitasi dengan
memperbanyak penyediaan rumah-rumah sederhana untuk orang miskin; (7)
mengusahakan pemenuhan air bersih dengan pengadaan PAM; (8) menyediakan
sarana listrik masuk desa, sarana telekomunikasi dan sejenisnya; dan
sebagainya.
Berbagai
program yang dijalankan oleh pemerintah tersebut, lebih banyak menuai
kegagalan dibandingkan dengan keberhasilannya. Program Kredit Usaha Tani
(KUT) misalnya, merupakan salah satu di antara serangkaian program
pemerintah yang terbaru, yang menuai kegagalan. Program ini menempatkan
Bank, Koprasi, LSM dan kelompok tani hanya sebagai mesin penyalur
kredit, sedangkan tanggungjawab kredit terletak di tangan Departemen
Koprasi. Pada tahun 1998, platfon KUT mencapai 8,4 triliun rupiah naik
13 kali lipat dari sebelumnya. Para petani menyebut program ini sebagai
"kesalahan bertingkat enam" karena; (1) pelaksanaan KUT tidak
benar-benar memberdayakan petani; (2) mesin penyalur KUT (LSM, Bank,
Koprasi), ditunjuk tidak diseleksi secara ketat; (3) Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok (RDKK) dibuat secara serampangan, banyak fiktifnya;
(4) kredit diberikan kepada siapa saja termasuk nonpetani, sehingga
kurang tepat sasaran; (5) tidak ada pengawasan dalam penyaluran,
penerimaan dan penggunaan kredit; (6) dana penyaluran banyak bocornya,
mulai dari Departemen Koprasi, hingga ke KUD. Akibatnya per September
2000, tunggakan KUT mencapai 6,169 triliun rupiah atau 73,69% dari
realisasi kredit.
Sejak
tahun 2000, program KUT yang dianggap gagal total diganti pemerintah
dengan program baru yakni Program Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang
pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada bank, pemerintah hanya
bertindak sebagai pemberi subsidi pada tahap awal. Berdasarkan target
pemerintah, program ini menuai sukses tahun 2004, tetapi lagi-lagi
mengalami kegagalan karena kesulitan bank menyalurkan kredit kepada
petani dan kesulitan petani membayar bunga kredit. Dari platfon sebesar
2,3 triliun rupiah, sampai Maret 2001 baru terrealisasi 3,85 miliar
rupiah atau 1,57%. Akibatnya, terjadi kelangkaan kredit usaha tani di
desa. Di samping program KUT dan KKP juga ada Program Pengembangan
Kecamatan (PPK). Program ini bertujuan mengurangi kemiskinan di tingkat
pedesaan, sekaligus memperbaiki kinerja pemerintah daerah dengan cara
memberi bantuan modal dan pengadaan infrastruktur. Inti dari program ini
adalah perencanaan yang melibatkan masyarakat, laki-laki dan perempuan,
termasuk masyarakat miskin. Program ini dirancang melalui mekanisme
musyawarah mulai dari tingkat dusun hingga ke tingkat kecamatan.
Pelaksanaan program didampingi oleh seorang fasilitator kecamatan, dua
orang fasilitator desa, satu laki-laki, satu perempuan di tiap desa,
juga dibantu lembaga pengelola yaitu Unit Pengelola Keuangan (UPK) di
kecamatan yang melibatkan LMD. Program ini di beberapa daerah mengalami
kegagalan, karena tidak adanya perencanaan yang matang dan juga kuranya
transparansi penggunaan dan alokasi anggaran kepada masyarakat desa.
Kisah
kegagalan program yang dirancang dan didanai oleh pemerintah dan Bank
Dunia, juga terjadi dalam Program Padat Karya Desa-Pengembangan Wilayah
Terpadu (PKD-PWT) di NTT , Sulawesi Selatan, NTB dan Sulawesi Utara
serta program PDMDEK di Jawa Barat. Program PKD-PWT membagikan uang
bantuan sebesar 50 juta rupiah kepada setiap desa dan langsung
disalurkan ke rekening Tim Pelaksana Desa (TPD). Jumlah desa yang
dibantu dengan program ini mencapai 1.957 desa. Program ini mengalami
kegagalan, karena proses perencanaan, pelaksanaan dan penyaluran bantuan
kepada desa, sangat tergantung kepada TPD. Sementara PDMDEK di Jawa
Barat, mengalami kegagalan karena dana bergulir yang diberikan kepada
masing-masing desa sebanyak 14 juta rupiah per desa, digunakan
masyarakat untuk tujuan konsumtif.
Dilihat
dari kegagalan program penanggulangan kemiskinan selama ini, strategi
dan kebijakan alternatif yang berpihak kepada rakyat miskin, option for the poor
menjadi kebutuhan mutlak menanggulangi kemiskinan. Untuk membuat sebuah
strategi dan kebijakan alternatif, diperlukan pengetahuan yang memadai
tentang penyebab utama kemiskinan masyarakat desa. Dari serangkaian
penyebab kemiskinan masyarakat desa yang telah disebutkan di depan, maka
strategi dan kebijakan alternatif menanggulangi kemiskinan desa dapat
dilakukan dengan cara;
(1)
memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh
layanan pendidikan yang memadai, secara gratis dan cuma-cuma.
Pemerintah perlu mengembangkan sistem pendidikan nasional yang
berorentasi keberpihakan kepada orang miskin (pendidikan untuk orang
miskin). Pendidikan yang ditawarkan di Indonesia saat ini sangat mahal
dan biayanya sulit dijangkau oleh orang-orang miskin. Karenanya, mereka
memilih untuk tidak menyekolahkan anak-anak mereka, sebab beban biaya
pendidikan yang ada, tidak sebanding dengan kemampuan keuangan mereka.
Masyarakat desa selalu mengatakan bahwa "jangankan untuk menyekolahkan
anak-anak, untuk makan sehari-hari saja, susahnya minta ampun;
(2)
redistribusi lahan dan modal pertanian yang seimbang. Ketimpangan
kepemilikan lahan pertanian, memperlebar jurang kemiskinan antara
masyarakat yang tinggal di pedesaan. Sebagian besar tanah-tanah
pertanian yang subur dimiliki oleh tengkulak lokal dan tuan tanah.
Akibatnya, tanah-tanah pertanian yang ada, tidak memberikan penghasilan
yang cukup bagi orang-orang desa yang memiliki tanah dan modal pertanian
yang terbatas. Sebagian besar tenaga dan fisik mereka dipergunakan
untuk menjadi buruh di tanah-tanah pertanian milik tuan tanah dan
tengkulak lokal;
(3)
mendorong perkembangan investasi pertanian dan pertambangan ke daerah
pedesaan. Pembukaan investasi pertanian dan pertambangan dapat
memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat desa. Dengan begitu,
pendapatan mereka akan meningkat dan berpengaruh pada perubahan
kesejahteraan hidup;
(4)
membuka kesempatan yang luas kepada masyarakat desa untuk memperoleh
kredit usaha yang mudah. Sistem kredit yang ada saat ini, belum
memberikan kemudahan usaha bagi masyarakat desa dan sering salah
sasaran. Karena itu, diperlukan kebijakan baru yang memberikan jaminan
kredit usaha yang memadai bagi masyarakat desa;
(5)
memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan masyarakat desa.
Kebutuhan sandang, papan dan pangan perlu dilakukan melalui sebuah
mekanisme lumbung desa yang memberikan kesempatan yang sama kepada
masyarakat desa, memperoleh sumber-sumber kebutuhan yang disediakan
secara terorganisir;
(6)
memperkenalkan sistem pertanian modern dengan teknologi baru yang
memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menggali sumber-sumber
pendapatan yang memadai. Teknologi pertanian diperbanyak dan diberikan
secara cuma-cuma kepada petani untuk meningkatkan produktivitas
pertanian dan mempermudah pemenuhan kebutuhan hidup mereka;
(7)
memberikan jaminan kesehatan kepada mayarakat dengan sistem layanan
kesehatan gratis, memperbanyak PUSKESMAS dan unit-unit layanan kesehatan
kepada masyarakat desa yang miskin dan terbelakang;
(8)
memberikan jaminan asuransi dan jaminan sosial terhadap masyarakat
desa. Jaminan asuransi dan jaminan sosial dapat meningkatkan kualitas
hidup masyarakat miskin dan memberikan semangat hidup yang lebih
berarti. Sistem asuransi dan jaminan sosial yang ada saat ini,
diberlakukan secara diskriminatif, hanya terbatas kepada mereka yang
memiliki uang saja. Untuk itu, pemerintah berkewajiban memberikan
jaminan asuransi yang memadai kepada masyarakat miskin;
(9)
memperkuat komitmen eksekutif dan legislatif untuk memperbaiki tatanan
pemerintahan. Tatanan pemerintahan yang ada saat ini, memberikan
keleluasaan bagi terjadinya praktik korupsi dalam seluruh level
pemerintahan. Perbaikan tatanan pemerintahan, menjadi kata kunci untuk
membuat program penanggulangan kemiskinan benar-benar diperuntukkan bagi
masyarakat miskin;
(10)
Mendorong agenda pembangunan daerah memprioritaskan pemberantasan
kemiskinan sebagai skala prioritas yang utama, mendorong tekad semua
pihak untuk mengakui kegagalan penanggulangan kemiskinan selama ini,
membangkitkan kesadaran kolektif agar memahami kemiskinan sebagai musuh
bersama, dan meningkatkan partisipasi semua pihak dalam memberantas
kemiskinan.
Untuk menunjang keberhasilan strategi tersebut, diperlukan unsur-unsur berikut;
(a)
upaya penanggulangan kemiskinan tersebut sebaiknya dilakukan secara
menyeluruh, terpadu, lintas sektor, dan sesuai dengan kondisi dan budaya
lokal, karena tidak ada satu kebijakan kemiskinan yang sesuai untuk
semua;
(b)
memberikan perhatian terhadap aspek proses, tanpa mengabaikan hasil
akhir dari proses tersebut. Biarkan orang miskin merasakan bagaimana
proses mereka bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan;
(c)
melibatkan dan merupakan hasil proses dialog dengan berbagai pihak dan
konsultan dengan segenap pihak yang berkepentingan terutama masyarakat
miskin;
(d)
meningkatkan kesadaran dan kepedulian di kalangan semua pihak yang
terkait, serta membangkitkan gairah mereka yang terlibat untuk mengambil
peran yang sesuai agar tercipta rasa memiliki program;
(e)
menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka
inisiatif dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat. Dalam hal ini,
pemerintah lebih berperan hanya sebagai inisiator, selanjutnya
bertindak sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya,
kerangka dan pendekatan penanggulangan kemiskinan disepakati bersama;
(f)
pemerintah dan pihak lainnya (ORNOP, Perguruan Tinggi, pengusaha,
masyarakat madani, partai politik dan lembaga sosial keagamaan) dapat
bergabung menjadi kekuatan yang saling mendukung;
(g)
mereka yang bertanggungjawab dalam menyusun anggaran belanja harus
menyadari pentingnya penanggulangan kemiskinan ini sehingga upaya ini
ditempatkan dan mendapat prioritas utama dalam setiap program di setiap
instansi. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan menjadi gerakan
dari, oleh dan untuk rakyat.
Secara umum, program strategis yang dapat dijalankan untuk menanggulangi kemiskinan di desa adalah;
(1)
membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi. Pemerintah harus
menciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua
lapisan masyarakat, terutama oleh penduduk miskin. Karena itu, kebijakan
dan program yang memihak orang miskin perlu difokuskan kepada sektor
ekonomi riil (misalnya; pertanian, perikanan, manufaktur, usaha kecil
menengah), terutama di sektor informal yang menjadi tulang punggung
orang miskin. Agar pertumbuhan ekonomi ini berjalan dan berkelanjutan,
maka di tingkat nasional diperlukan syarat; (a) stabilitas makro
ekonomi, khususnya laju inflasi yang rendah dan iklim sosial politik dan
ekonomi yang mendukung investasi dan inovasi para pelaku ekonomi.
Secara garis besar hal ini menjadi tanggungjawab pemerintah pusat; (b)
diperlukan kebijakan yang berlandaskan pradigma keberpihakan kepada
orang miskin agar mereka dapat sepenuhnya memanfaatkan kesempatan yang
terbuka dalam proses pembangunan ekonomi; (c) memberikan prioritas
tinggi pada kebijakan dan pembangunan sarana sosial dan sarana fisik
yang penting bagi masyarakat miskin, seperti jalan desa, irigasi,
sekolah, air minum, air bersih, sanitasi, pemukiman, rumah sakit, dan
poliklinik di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa program yang bisa
dijalankan dengan menggunakan kebijakan ini adalah;
- program penyediaan sarana kesehatan bagi masyarakat miskin (PUSKESMAS, POSYANDU), dan sebagainya;
- program peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, serta penyediaan pendidikan gratis bagi orang miskin;
- program pemberdayaan masyarakat, peningkatan pendidikan informal dan keterampilan bagi masyarakat miskin, melalui inisiatif dari pemerintah daerah, juga melalui kerjasama dengan badan pendidikan, perguruan tinggi atau dengan LSM lokal;
- program pembentukan modal usaha melalui peningkatan akses masyarakat miskin terhadap lembaga-lembaga keuangan agar mereka ikut serta dalam program kredit dan tabungan;
- program sertifikasi tanah dan tempat usaha bagi orang miskin untuk menjaga asetnya dengan baik;
- program pengembangan pusat pasar pertanian dan pusat informasi perdagangan.(2) Kebijakan dan program untuk memberdayakan kelompok miskin. Kemiskinan memiliki sifat multidimensional, maka penanggulanganya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, akan tetapi juga mengandalkan kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan. Kebijakan dalam memberdayakan kelompok miskin harus diarahkan untuk memberikan kelompok miskin akses terhadap lembaga-lembaga sosial, politik dan hukum yang menentukan kehidupan mereka. Untuk memperluas akses penduduk miskin diperlukan; (a) tatanan pemerintahan yang baik (good governance), terutama birokrasi pemerintahan, lembaga hukum, dan pelayanan umum lainnya; (b) dalam tatanan pemerintahan diperlukan keterbukaan, pertanggungjawaban publik, dan penegakan hukum, serta partisipasi yang luas masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa program yang bisa dilaksanakan adalah;
- Program penguatan organisasi sosial, kelompok ekonomi, dan organisasi swamasyarakat lainnya seperti kelompok arisan, kelompok petani pangan, pedagang kecil, simpan-pinjam dan sebagainya;
- Program keterlibatan kelompok miskin dalam proses pendidikan demokrasi, misalnya dalam pengambilan keputusan melalui public hearing, penggunaan hak tanya dan sebagainya;
- Program keterlibatan kelompok miskin dalam pemantauan dan evaluasi pembangunan.(3) Kebijakan dan Program yang Melindungi Kelompok Miskin. Kelompok masyarakat miskin sangat rentan terhadap goncangan internal (misalnya kepala keluarga meninggal, jatuh sakit, kena PHK) maupun goncangan eksternal (misalnya kehilangan pekerjaan, bencana alam, konflik sosial), karena tidak memiliki ketahanan atau jaminan dalam menghadapi goncangan-goncangan tersebut. Kebijakan dan program yang diperlukan mencakup upaya untuk; (a) mengurangi sumber-sumber resiko goncangan; (b) meningkatkan kemampuan kelompok miskin untuk mengatasi goncangan dan; (c) menciptakan sistem perlindungan sosial yang efektif. Beberapa program yang bisa dilaksanakan untuk kategori ini adalah;
- Program lumbung desa yang sudah dikenal sejak lama. Program ini dapat disempurnakan dengan memasukkan metode yang lebih baik;
- Program kredit mikro atau koprasi simpan pinjam untuk kelompok miskin yang mudah diakses, dengan persyaratan atau agunan yang mudah dan syarat pengembalian yang fleksibel;
- Program pengembangan modal usaha dan kewiraswastaan untuk mendorong kelompok miskin meningkatkan kemampuan pemupukan modal usahanya secara mandiri dan berkelanjutan;
- Program pembentukan lembaga khusus penanggulangan bencana alam dan sosial yang terpadu, efektif dan responsif di daerah.(4) Kebijakan dan Program untuk memutus pewarisan kemiskinan antar generasi; hak anak dan peranan perempuan. Kemiskinan seringkali diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, rantai pewarisan kemiskinan harus diputus. Meningkatkan pendidikan dan peranan perempuan dalam keluarga adalah salah satu kunci memutus rantai kemiskinan. Beberapa program yang dapat dikembangkan dalam kategori ini adalah;
- Program pemberian bantuan sarana dan beasiswa untuk masyarakat miskin;
- Program pemberian makanan tambahan bagi anak-anak miskin di sekolah;
- Program magang atau menyerap lulusan sekolah kejuruan atau diploma;
- Program pemberdayaan perempuan melalui kegiatan produktif;
- Program penyuluhan bagi para ibu, bapak dan remaja, tentang hak-hak dan kewajiban mereka dalam berumah tangga.(5) Kebijakan dan program penguatan otonomi desa. Otonomi desa dapat menjadi ruang yang memungkinkan masyarakat desa dapat menanggulangi sendiri kemiskinannya. Kadang-kadang pemerintah menganggap bahwa yang dibutuhkan masyarakat miskin adalah sumber-sumber material bagi kelangsungan hidup penduduk miskin. Anggapan tersebut, tidak selamanya benar, karena toh dalam kondisi tertentu, masyarakat desa yang miskin dapat keluar dari persoalan kemiskinan tanpa bantuan material pemerintah. Inisiatif dan kreativitas mereka dapat menjadi modal yang berharga untuk keluar dari lilitan kemiskinan. Otonomi desa merupakan ruang yang dapat digunakan oleh masyarakat desa untuk mengelola inisiatif dan kreativitas mereka dengan baik, menjadi sumber daya yang melimpah untuk keluar dari jeratan kemiskinan. Kebijakan dan program yang bisa dilakukan untuk penguatan otonomi desa adalah;
- meningkatkan mutu sumber daya manusia desa melalui pendidikan formal dan nonformal;
- meningkatkan ketersediaan sumber-sumber biaya pembangunan desa dengan alokasi anggaran yang jelas dari pusat, provinsi dan kabupaten;
- menata lembaga pemerintahan desa yang lebih efektif dan demokratis;
- membangun sistem regulasi (PERDes) yang jelas dan tegas;
- mewujudkan otonomi desa untuk memberikan ruang partisipasi dan kreativitas masyarakat;
- mengurangi praktek korupsi di birokrasi pemerintah desa melalui penerapan tatanan pemerintahan yang baik;
- menciptakan sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien dan berwibawa;
- meningkatnya partisipasi masyarakat desa dalam pengambilan kebijakan publik;
- memberikan ruang yang cukup luas bagi keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Berbagai
program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan tersebut, membutuhkan
usaha yang serius untuk melaksanakannya. Disamping itu diperlukan
komitmen pemerintah dan semua pihak untuk melihat kemiskinan sebagai
masalah fundamental yang harus ditangani dengan baik, berkelanjutan dan
dengan dukungan anggaran yang jelas.***
0 comments:
Post a Comment