Diskusi
tentang demokrasi hampir selalu berkaitan dengan upaya membangun system
politik nasional yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Untuk
itu, selain konstitusi diperlukan institusi-institusi standar bagi
pelembagaan system demokrasi seperti legislative, eksekutif, yudikatif,
partai politik, pemilihan umum dan pers yang bebas. Namun demikian
system demokrasi tidak bisa bekerja tanpa kemampuan Negara menegakkan
supremasi hukum di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat
dan elite) di pihak lain. Persoalan terbesar bangsa kita dewasa ini
mencakup sekurang-kurangnya dua hal yang disebut terakhir, yakni
kegagalam Negara menegakkan supremasi hukum dan belum terbangunnya
kultur dan tradisi demokratis. Fenomena anarkisme dan pemaksaan kehendak
dari berbagai kelompok masyarakat yang begitu marak beberapa tahun
terakhir merefleksikan realitas tersebut.
Kultur
demokrasi tak hanya berkaitan dengan penghormatan atas kesetaraan,
hukum, toleransi, keberagaman, dan konsensus, melainkan juga berhubungan
dengan pelembagaan tanggung jawab warga Negara dan elite politik dalam
kehidupan kolektif.
Realitas
ketiadaan supremasi hukum dan belum melembaganya kultur demokrasi
tersebut diperparah oleh keterbelakangan ekonomi mayoritas rakyat kita,
sehingga dalam banyak kasus rakyat tidak mempunyai pilihan kecuali
terperangkap ke dalam konflik atas dasar sentiment kelompok, golongan,
dan primordialisme yang diprovokasi oleh berbagai elemen hasil kolusi
antaraktor pemodal (pasar), Negara, supradesa, dan bahkan "Negara
bayangan" (shadow state).
Desa
sebagai unit pemerintahan terendah yang berhadapan langsung dengan
rakyat diharapkan pula dibangun di atas format demokrasi. Namun
membayangkan bahwa format demokrasi pada tingkat nasional bisa berlaku
sama pada tingkat desa, barangkali senderung salah-kaprah. Pada
dasarnya, setiap desa telah mempunyai lembaga "legislative" dan
yudikatif" sendiri, baik yang bersifat adat, agama atau gabungan
keduanya, yang bahkan telah ada sebelum penyeragaman format desa
dilakukan oleh Orde Baru dan pemerintah era reformasi. Karena itu dalam
konteks demokrasi dan otonomi desa yang diperlukan bukan hanya struktur
perwakilan formal yang potensial disalahgunakan oleh elite desa yang
minim akuntabilitas, melainkan juga perlindungan dan penguatan atas
lembaga-lembaga masyarakat asli sebagai representasi rakyat desa yang
sesungguhnya.
Oleh
karena itu dalam konteks demokrasi desa, pelembagaan kultur dan tradisi
berdemokrasi jauh lebih mendesak ketimbang pengaturan desa. Selain itu,
format
demokrasi desa tidak harus sama dan seragam seperti dianut oleh UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004.
0 comments:
Post a Comment