Penyakit
lama peseteruan antar sektor, antar program, dan antar departeman dalam
pelaksanaan program pembangunan masyarakat belum sembuh rupanya.
Belakangan
malahan menunjukkan gejala makin akut. Perseteruan tak hanya
berlangsung di pucuk-pucuk departemen di Jakarta. Tetapi sudah merembet,
menjalar, dan menular hingga ke desa-desa.
Hari-hari
ini kita menyaksikan bagaimana desa-desa dikepung oleh banyak program,
oleh banyak departemen. Ironisnya, desa selalu tidak punya obat penawar.
Posisinya tidak lebih dari sekedar medan pertarungan, lapangan
balbalan, atau stadion tempat antar departemen saling bertanding.
Sementara warga desa, pemilik sejati lapangan itu hanya menjadi
penonton, atau penggembira yang sesekali bertepuk tangan, tetapi juga
yang setelah pertandingan usai masih harus membersihkan sampah sisa-sisa
pertarungan
Ada
dua program yang sedang bertanding di daerah ini. Program Alokasi Dana
Desa (ADD) versus Proyek Pengembangan Kecamatan/Proyek Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan (PPK/P2KP)-proyek ini sekarang dikenal dengan nama
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Kabar
serupa juga kita dengar dari Kabupaten Lombok Tengah. Di wilayah ini
Mitra Samya mencatat sebanyak 124 RPJM Desa yang telah disusun susah
payah oleh Bapeda- AusAID-ACCESS konon menjadi mentah kembali karena
kehadiran PPK-P2KP.
Kepala
Desa sebagai pucuk pimpinan pemerintah di tingkat desa dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya, mempunyai kewajiban untuk
mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat melalui Badan Perwakilan
Desa dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada
Bupati (pasal 102 UU No. 22 tahun 1999).
Sedangkan
Badan Perwakilan Desa mempunyai tugas untuk menetapkan Kepala Desa dari
hasil pemilihan yang dilaksanakan oleh masyarakat desa (ayat 3 pasal 95
UU No. 22 Tahun 1999) serta sekaligus berhak untuk mengajukan usulan
kepada Bupati agar Kepala Desa diperhentikan ( ayat 2 pasal 103 UU No.
22 Tahun 1999).
Hubungan
antara Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa yang lainnya adalah
berkaitan dengan penetapan peraturan desa dimana peraturan desa hanya
sah secara hukum jika peraturan desa tersebut telah ditetapkan oleh
Badan Perwakilan Desa. Jika salah satu dari Badan Perwakilan Desa atau
Kepala Desa tidak terlibat dalam penetapan peraturan desa maka peraturan
tersebut tidak sah secara hukum. Peraturan desa yang ditetapkan oleh
Badan Perwakilan Desa dan Kepala Desa juga termasuk penetapan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahunnya (ayat 3 pasal 107 UU No. 22
tahun 1999).
Dalam
desa tidak hanya kelembagaan pemerintah desa dan Badan Perwakilan Desa
saja yang ada, tapi ada dua lembaga lagi yaitu kelembagaan ekonomi dan
kelembagaan sosial.
Kelembagaan
ekonomi terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat yang berorientasi
profit (keuntungan) dan dibentuk di desa berbasiskan pada pengelolaan
sektor produksi dan distribusi. Contoh dari kelembagaan ekonomi adalah
koperasi, kelompok tani, kelompok pengrajin, perseroan terbatas yang ada
di desa
Kelembagaan
sosial meliputi pengelompokan sosial yang dibentuk oleh warga dan
bersifat sukarela. Contoh dari kelembagan sosial adalah karang taruna,
arisan, lembaga swadaya masyarakat, forum rt/rw, organisasi masyarakat.
Dalam
berhubungan keempat lembaga tersebut berinteraksi secara dinamis (bisa
merenggang maupun merapat) sesuai dengan kekuatan dan posisi tawar yang
dimiliki masing-masing lembaga. Pada waktu tertentu, dimungkinkan adanya
satu lembaga yang lebih dominan dibandingkan dengan ketiga lembaga
lainnya dalam interaksi sosial. Sebagai contoh dimana pada masa Orde
Baru, Pemerintah Desa lebih dominan dibandingkan dengan lembaga politik,
masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil.
Oleh
karena itu, hubungan yang ideal dalam kehidupan ditingkat desa adalah
keempat lembaga tersebut dilibatkan dalam proses pembangunan desa.
Dengan kalimat lain perlu dibangun adanya partisipasi yang menyeluruh
dan saling menguatkan antar lembaga-lembaga yang ada di desa. Dalam
bahasa akademis hubungan yang saling menguatkan tersebut dikenal dengan
istilah Tata Pemerintahan Yang Baik (Good Governance).
Tata
Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) adalah suatu kesepakatan
tentang penyelenggaraan Pemerintahan yang diciptakan secara bersama oleh
semua elemen yang ada di suatu wilayah. Jika di tingkat Desa, Tata
Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) adalah sebuah kesepakatan
tentang penyelenggaraan pemerintahan desa yang ciptakan secara bersama
oleh pemerintah desa, kelembagaan politik desa, kelembagaan ekonomi desa
dan kelembagaan sosial desa. Dengan kalimat lain, Tata Pemerintahan
Desa Yang Baik merujuk pada proses penciptaan hubungan kerjasama antara
empat kelembagaan yang ada di desa untuk membuat pengaturan-pengaturan
yang digunakan dalam menyelenggarakan pemerintahan di desa.
Dengan
demikian dalam mewujudkan Tata Pemerintahan Desa Yang Baik, yang perlu
dibangun adalah sebuah mekanisme dialog atau komunikasi antar empat
kelembagaan desa, sehingga keempat lembaga desa sama-sama merasa
memiliki tata pengaturan tersebut..
Di
Selayar Sulawesi Selatan setali tiga uang. Para pegiat ADD di daerah
ini menemukan akseptabilitas masyarakat terhadap PPK jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ADD. PPK menjadi proyek idola dan amat diminati baik
masyarakat maupun pemerintah desa.
Kelihatannya
memang sakti betul PPK-P2KP ini. Meskipun dianggap memiliki banyak
cacat dari sisi substansi pemberdayaan dan partisipasi masyarakat,
kenyatannya proyek ini malahan lebih memasyarakat.
Kita yakin Selayar, Lombok dan Sumba hanya potret kecil dari gambaran besar kecenderungan serupa yang terjadi di banyak daerah.
Ini
adalah warning bagi siapa saja penggemar partisipasi untuk bekerja
lebih keras menemukan metodologi program. Kenyataannya yang dianggap
partisipatif lebih diminati, yang diduga memperdayakan malah dirindukan.
Bagaimana bukan warning kalau Musrenbang yang sudah dirancang
berbulan-bulan dengan pikiran dan tools terbaik ternyata bisa
dimentahkan dengan satu dua gertakan.
Dari
sisi desain, program PPK memang dianggap jauh lebih canggih. Mereka
memiliki sistem, mekanisme, dan prosedur pertanggungjawaban keuangan
yang ketat. Mereka merekrut fasilitator dan konsultan dalam jumlah
besar, dan membayarnya dengan gaji yang besar juga. Karena itu operator
PPK di lapangan sangat solid, mungkin sudah sekuat jaringan birokrasi
negara.
Program
ADD sebaliknya. Karena masih baru seumur jagung, program ini belum
menemukan sistem pengelolaan yang cukup teruji. Instrumen-instrumen
teknis pembukuan dalam program ADD relatif belum lagi dibangun.
Aktor-aktor ADD kebanyakan adalah LSM yang sebagian besar bekerja atas
dasar semangat voluntarisme, sering dengan energi yang pas-pasan pula.
Tapi
itu tak penting benar. Yang paling mengenaskan adalah, banyak
pemerintah kabupaten/kota lebih senang merespon PPK tinimbang ADD.
Pemerintah kabupaten/kota mengerjakan ADD dengan setengah hati dan
orang-ogahan.
Kebanyakan
dari mereka berpikir pendek bahwa ADD tidak lebih dari menggelontorkan
dana kabupaten/kota kepada desa. Karena itu, mengerjakan ADD sama dengan
bunuh diri, memereteli sendiri sebagian sumberdaya yang selama ini
dikangkanginya.
Tetapi
kabupaten selalu punya dalih: ADD belum dilaksanakan karena masyarakat
desa belum siap menerima uang yang jumlahnya cukup besar itu. Ironisnya,
kabupaten-kabupaten yang mengatakan bahwa desa belum siap ternyata juga
tidak melakukan apa-apa demi mempersiapkan desa.
Itulah
sebabnya mengapa banyak praktek ADD yang masih jalan di tempat. Kecuali
di beberapa daerah, rata-rata kebijakan ADD sejauh ini masih berupa
good will . FPPD Yogyakarta hingga awal Agustus 2007 mencatat masih
terdapat sekitar 40% kabupaten/kota di Indonesia yang belum mempunyai
aturan dasar ADD.
Mungkin
benar bahwa PNPM dan ADD punya watak yang beda. Yang pertama dikenal
sebagai proyek Bank Dunia, dan berbau utang luar negeri. Sedangkan yang
terakhir adalah program yang diusung untuk menjalankan misi otonomi
daerah.
Yang
pertama cenderung menegasikan pemerintah desa, sedangkan yang kedua
justru menjadikan pemerintah desa sebagai sasaran utama. Yang pertama
mengibarkan bendera poverty alleviation, dan yang kedua membentangkan
spanduk good village governance. ADD dilahirkan oleh Depdagri, sedangkan
induk semang PPK-P2KP konon Bappenas-Menko Kesra-Depdagri.
Walaupun
demikian, integrasi pengelolaan kedua program ini sebenarnya
dimungkinkan. Dana nondesentralisasi yang masuk daerah dan desa, seperti
PPK dan teman-temannya, bisa ditempatkan sebagai dana akselerasi. Yaitu
dana yang ditujukan untuk mempercepat pencapaian tujuan perencanaan
daerah dan desa.
Dana
itu tentu saja harus disatukan dengan perencanaan lokal, sehingga PPK
tidak perlu membangun jaringan birokrasi dan perencanaan lagi. Pihak
pusat cukup melakukan fasilitasi dan supervisi atas perencanaan lokal
ini.
Dalam
praktek di beberapa daerah, upaya mengintegrasikan kedua program ini
mulai bermunculan. Para pegiat otonomi daerah di Nusa Tenggara Timur
misalnya, saat ini sedang merancang workshop integrasi ini, melibatkan
Team AusAID-ACCESS, Mitra Samya, PPK, dan P2KP. Aktivitas serupa juga
lahir di Lombok Barat NTB, Janeponto, dan Bantaeng Sulawesi Selatan.
Tetapi
upaya mengintegrasikan keduanya, selain membutuhkan energi besar, juga
penuh jebakan dan agak berbahaya. Karena, sementara desain integrasi
dirancang, puluhan workshop dilakukan, dan peraturan-peraturan untuk
menjalankan desain baru itu dibikin, jangan-jangan desa sudah keburu
habis.
Stamina
desa sudah terkuras untuk memahami program-program baru yang tak selalu
bisa mereka mengerti. Juga yang tidak memberikan mereka kedaulatan
untuk memutuskan nasibnya sendiri.
Tetapi
di luar soal teknis dan desain program, perseteruan ADD versus PNPM
mungkin menggambarkan persoalan yang jauh lebih besar danmendasar. Ialah
bahwa upaya-upaya pemberdayaan desa, atas nama program apapun, masih
jauh panggang dari api. Bahwa nasib desa sebenarnya tidak pernah
berubah. Bahkan pada jaman ketika otonomi desa sedang memperoleh
momentum kebangkitannya seperti sekarang, desa sejatinya tidak pernah
memiliki kesempatan untuk otonom. Desa hanya suboordinat negara.
Kenyataan
ini mengantarkan kita kepada soal lain. Ialah bahwa apa yang
disebutoleh Hans Antlov sebagai "negaraisasi desa" ternyata tidak hanya
berlangsung semasa Orde Baru. Proses menyuntikkan serum negara ke dalam
sendi-sendi kehidupan kemasyarakatan desa belum berhenti. Proses itu
terus berlanjut, hingga hari ini, dengan varian dan modus yang
barangkali jauh lebih canggih dibandingkan dengan yang pernah terjadi di
masa lalu.Jika di masa lalu negaraisasi desa dilakukan atas nama
stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, sekarang dikibarkan di bawah
bendera pengentasan kemiskinan dan demokrasi. Jika di masa lalu aktor
negaraisasi desa adalah partai politik dan otoritarianisme kepemimpinan,
sekarang pemeran utamanya adalah departemen pemerintah dengan seluruh
jaringan birokrasinya, Bank Dunia, pemerintah kabupaten/kota, LSM,
fasilitator, dan konsultan profesional pembangunan masyarakat. Orang
desa? Silakan menonton di pinggir lapangan.
Dibalik ADD ada prinsip-prinsip dasar ADD yang selama ini belum dipahami oleh masyarakat.
Secara
umum Alokasi Dana Desa (ADD) atau yang di beberapa daerah dikenal juga
dengan istilah Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa. Sebagaimana
diketahui semua fihak bahwa permasalahan desa bersama masyarakat
warganya, masing-masing sangatlah sepesifik dan tidak mungkin disama
ratakan. Dengan adanya fiskal transfer ke desa tersebut, maka Kabupaten
tidak perlu lagi terlalu repot terlibat dalam penyelesaian
permasalahan-permasalahan skala desa karena masing-masing desa bersama
warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Selama
ini pembangunan desa hampir selalu dipilihkan dari atas, atau dikenal
dengan istilah top down dan pelaksananya adalah dinas/instansi
pemerintah melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari
desa, bahkan dusun, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di
tangan pemerintah daerah. Maka bukan tidak mungkin proyek yang datang ke
desa bukanlah kebutuhan yang didambakan masyarakat, melainkan kebutuhan
yang dirumuskan oleh pemerintah daerah. Biaya pembangunannya pun sudah
bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari kaca
pandang masyarakat.
Pernyataan
di atas sering kita dengar dari masyarakat desa, dan mereka memang
membuktikannya dengan sunggung-sungguh. Mereka juga sudah sangat faham
kalau pembangunan desanya yang dikerjakan melalui proyek banyak
potongannya di sana-sini.
Bukti
di atas menunjukkan betapa desa adalah potensi pembangunan yang besar
bagi daerah. Pembangunan dengan melibatkan langsung masyarakat desa,
menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan
desa yang selama ini dijalankan dengan mekanisme proyek. Budaya gotong
royong, gugur gunung, sambatan, dan semacamnya adalah potensi sosial
yang masih hidup di masyarakat desa dan harus dilestarikan.
Memberikan
kesempatan luas kepada desa mengatur rumah tangganya sendiri dengan
memberikan kewenangan disertai dengan biaya perimbangan akan mempercepat
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Belanja investasi
yang lebih efisien ini akan mempercepat kesejahteraan masyarakat secara
lebih merata dalam jangka panjang.
Gerakan
pembangunan sela-ma ini sering kali bias kepen-tingan politik. Atmosfir
sema-cam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata untuk
semua warga. Ada desa yang selalu mengalir lancer proyek-proyek dari
tahun ke tahun ke desanya, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek
secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat
bagian kue pembangunan. Bias kepentingan tersebut dirasakan oleh
sebagian masyarakat sebagai bentuk diskriminasi pelayanan yang mereka
terima. Kondisi semacam ini, kalau dibiarkan terus menerus bisa
menciptakan kecemburuan antar masyarakat.
Dampaknya,
akan terbangun rasa enggan, tidak peduli (apatis), bahkan kebencian
pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian tersebut.
Kondisi
di atas adalah salah satu potret kekecewaan desa karena sudah
bertahun-tahun usulan mereka tidak dipenuhi. Desa sudah menganggap bahwa
tidak perlu lagi membuat usulan karena toh usulan tersebut kemungkinan
kecil dipenuhi. Di sisi lain para pejabat pemda seing menyampaikan
pernyataan seperti di atas dan menjadi pembenaran klasik atas kebijakan
top down yang masih belum bisa dirubah sepenuhnya.
Beban
pembangunan bisa dikatakan lebih besar di kota dari pada desa. Akses
pelayanan publik di kota jauh lebih cepat berkembang dari pada di desa.
Pembangunan bias perkotaan ini menciptakan pelayanan masyarakat kota dan
desa yang semakin senjang dari waktu ke waktu. Strategi pemba-ngunan
semacam ini tidak akan bisa mengatasi masalah kemiskinan struktural,
jumlah kemiskinan di desa akan selalu lebih tinggi daripada di kota,
disamping mobilisasi masyarakat dari desa ke kota (urbanisasi) akan
terus semakin besar, baik untuk keperluan mencari kesempatan kerja,
mencari ilmu, maupun mengais rejeki yang lain.
Bias
pembangunan tersebut secara mendasar menyulitkan pemerintah daerah
dalam menyeleng-garakan pelayanan publik maupun pembangunan secara lebih
adil. Strategi pembangunan akan sulit diwujudkan karena asas
pembangunan tidak didasarkan kepada kebutuhan strategis melainkan lebih
besar pada urusan kepentingan.
Daerah
justru akan dibantu meningkatkan pelayanan ketika desa turut berperan
membangun lingkungannya. Pemerataan pembangunan bisa diwujudkan apabila
daerah bersedia memberikan kesempatan luas kepada desa untuk turut
memba-ngun melalui strategi menga-lokasikan dana yang proporsional
kepada desa.
Hal
ini bisa dimengerti karena desa sudah mendapatkan apa yang selama ini
mereka dambakan, bisa membangun desanya sesuai aspirasi warganya.
Perhatian mereka sebagian akan tertumpah bagaimana mewujudkan cita-cita
desa dan memperbaiki
Otonomi
daerah melahirkan ide reformasi desa dan menjadi gerakan pembaharuan
pengelolaan desa yang lebih modern di tengah-tengah tradisi
masing-masing desa. Peranan desa dalam pembangunan dan fungsi pelayanan
terbawah mulai bergerak pasti menuju kamajuan masa depan desa yang lebih
baik. Kantor desa secara bertahap mulai dibenahi dan dilengkapi
peralatan-peralatan yang modern seperti komputer maupun kelengkapan lain
semacam telepon dan bahkan sepeda motor dinas.
Peningkatan
peranan desa dalam pembangunan berkontribusi besar mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesulitan yang selama ini membelenggu
desa secara bertahap mampu diurai oleh mereka sendiri.
Dari
sudut pandang pemberdayaan masyarakat, masyarakat desa semakin mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri dan ini menjadi indicator keberdayaan
mereka. Sifat ketergantungan desa secara bertahap semakin berkurang.
Secara
umum ADD atau di beberapa daerah disebut DAU Desa maupun DAU Nagari
dapat diterima dan dimanfaatkan secara baik oleh masyarakat desa. Dana
tersebut meskipun jumlahnya masih terbatas namun telah mampu menjadi
stimulant bagi pembangunan desa. Sebagian besar masyarakat desa di
daerah penelitian menyampaikan bahwa kebijakan ADD ini dirasakan lebih
benfanfaat daripada kebijakan DPDK yang ada selama ini. Mekanismenya
dirasakan lebih transparan dan partisipatif dan pemanfaatannya lebih
demokratis, berdasarkan pada rembug desa.
Membangun
desa adalah kebutuhan warga desa yang akan terus berlanjut. Hal ini
bisa disaksikan dari bertumpuknya usulan masyarakat setiap tahun yang
disampaikan di Musbang Desa maupun UDKP.
Bertumpuknya
usulan tersebut menunjuk-kan bahwa desa tidak mampu menyelesaikan
masalahnya sendiri. Kemandirian desa adalah kunci bagi kemandirian
daerah dalam jangka panjang. Sehingga membangun kemandirian desa secara
bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama
ini. Kemampuan masyarakat menyelesaikan masa-lahnya, kalau bisa diorong
secara luas di seluruh daerah, maka kreatifitas dan ketahanan masyarakat
akan menjadi modal penting menghadapi tantangan global di masa depan.
Partisipasi
adalah suatu yang tulus yang diberikan seseorang untuk suatu
penyelesaikan masalah serta mengontrol jalannya pemerintah. Selama ini
partisipasi masyarakat desa terbangun oleh rasa kebersamaan dan
kekeluargaan yang tinggi sesama warga desa. Saat seorang warga mengalami
suatu musibah, saudara dan tetangganya berduyun-duyun membantu
meringankan beban warga yang tertimpa musibah tersebut.
Demikian
pula ketika masalah tersebut merupakan masalah RT, RW dan Desa, warga
RT, RW, dan Desa, akan berduyun-duyun membantu menyelesaikan masalah
tersebut, tanpa diminta, tanpa dipaksa.
Alokasi
Dana Desa atau yang di beberapa daerah disebut dengan Perimbangan
Keuangan Kabupaten Desa menjadi bagian dari Penerimaan Desa. Semua
Penerimaan dan Belanja Desa selanjutnya diputuskan dalam Peraturan Desa
(Perdes) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa). Belanja
Desa digunakan untuk belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja
rutin yang dimaksudkan disini adalah untuk belanja aparatur, meliputi
pos belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, serta belanja
perjalanan dinas. Sedangkan Belanja Pembangunan meliputi belanja
Pembangunan Sarana dan Prasarana Pemerintahan, Produksi, perhubungan,
pembangunan lain-lain.
Meskipun
manfaat Alokasi Dana Desa dirasakan luas bagi kemandirian desa, namun
masih ada beberapa catatan hambatan dan tantangan ke depan. Hambatan
yang paling terasa di beberapa daerah terdapat pada kesiapan aparatur
pemerintahan desa. Pengalaman yang baru ini diakui oleh semua fihak
masih membutuhkan waktu untuk belajar banyak bagaimana mengelola secara
mandiri pembangunan di desa.
Kesenjangan
kemampuan antara aparatur pemerintahan Kabupaten dan Desa yang
disebabkan oleh perbedaan jam terbang ini masih menjadi penghambat
kelancaran implementasi ADD.
Kelemahan
perangkat dan aparatur pemerintah desa tersebut menjadi sumber
kelemahan atminitrasi desa. Inilah masalah yang paling sering terjadi
sehingga menjadi titik lemah bagi kelancaran pencairan dana maupun
pertanggung jawa-ban kepala desa.
Pengalaman
desa dalam hal perencanaan bisa dibilang masih sangat lemah. Hal ini
sangat difahami karena peranan desa selama ini hanya pengusul program
yang disampaikan kepada supra desa. Tentu saja mereka tidak memiliki
kemampuan di bidan perencanaan desa yang menjadi bagian penting ketika
desa harus mengelola dana.
Hambatan
lain yang tidak kalah subtansial adalah kesiapan Pemerintah daerah
sendiri terhadap perubahan peran desa tersebut, terutama bagi lembaga
yang bersentuhan dengan pemberdayaan desa. Selama ini bisa dikatakan
desa dianggap tidak tahu apa-apa.
2 comments:
sedikit kasih saran Pak, sebenarnya mungkin RPJM yang sudah disusun desa sudah sesuai dengan peraturan namun ada beberapa Desa yg tidak menyusun Dok. RPJM Desa
Nah itulah gunanya fasilitator PNPM, ketika pada tahun 2010 dokumen RPJMDes mulai disusun dengan melibatkan fasilitator. bagi desa yang sudah menyusun sebenarnya hanya tinggal mereview saja
saya sangat bangga dengan tulisan2 anda, teruskan perjuangan membangun bangsa walaupun diawali dengan membangun desa anda....
Salam Kenal RULI H JUNIARTO
dr Kab. Blora jawa Tengah
Trims suport dan motivasi anda, mari kita jadikan desa kita selangkah lebih maju dengan memaksimalkan potensi yang ada di desa
Post a Comment