Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan tentang birokratisasi desa dan pengaruhnya terhadap pembangunan di Kecamatan Kotaanyar Kabupaten Probolinggo, peranan birokrasi desa sebagai komunikator politik belum dapat dikatakan memuaskan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kepala desa bersama-sama dengan BPD bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan rumah tangganya sendiri. Kepala desa merupakan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan dan pembangunan dengan segala aspeknya. Dalam hal ini, BPD merupakan wadah yang menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Setiap keputusan kepala desa yang bersifat mengatur dan mempunyai akibat pembebanan terhadap masyarakat harus dimusyawarahkan dengan BPD. BPD merupakan lembaga yang seharusnya mengkomunikasikan politik pemerintah melalui musyawarah untuk mempertemukan kebijakan pemerintah dengan kepentingan masyarakat desa.
Namun demikian, secara cita-cita ideologis, apa yang di atur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tersebut, seringkali berbenturan dengan realita yang ada di masyarakat. Berbenturan dalam arti pelaksanaannya seringkali bahkan dapat dikatakan hampir tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Sebagai gambaran adalah fenomena yang terjadi pada pemerintahan desa di wilayah Kabupaten Probolinggo, khususnya desa-desa di Kecamatan Kotaanyar. Setiap desa di Kecamatan ini telah mempunyai Lembaga BPD sebagai bentuk implementasi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Desa-desa tersebut menjadi menarik untuk dikaji, sebab aturan-aturan atau tatanan dan pola-pola yang dibuat oleh pemerintah lebih didasari pemahaman yang sentralistik sekaligus seragam.
BPD dan Pemerintahan Desa
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa, anggota masyarakat menyampaikan aspirasinya lewat Badan Perwakilan Desa (BPD). Namun terdapat Terdapat beberapa sikap yang berkembang dalam masyarakat desa dalam menanggapi pembentukan BPD. Pertama, kelompok yang menentang dibentuknya BPD, kedua, kelompok yang bersikap kritis skeptis, dan ketiga kelompok yang menyambut dengan antusias kebijakan pembentukan BPD. Namun secara umum kebanyakan anggota masyarakat mempunyai sikap yang menentang dan skeptis terhadap pembentukan BPD. Badan Perwakilan Desa (BPD) merupakan penyempurnaan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) yang dianggap kurang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya guna memenuhi harapan dan aspirasi masyarakat desa. Di sisi lain peran dari kepala desa yang juga sebagai ketua LMD terlalu dominan dalam perumusan dan pengambilan keputusan desa, sehingga peran dan fungsinya lebih merupakan kebijakan Kepala Desa dibandingkan LMD.
Saluran formal tersebut berfungsi memilah, memilih dan menggodok serta mengagendakan kebijakan yang berasal dari sejumlah aspirasi sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat. Proses pembentukan BPD diawali dengan pembentukan Panitia Pemilihan Anggota BPD oleh Lembaga Musyawarah Desa (LMD) desa yang bersangkutan. Sedangkan sistem Pemilihan Anggota BPD di Kecamatan Kotaanyar mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa. Pada Bab V Petunjuk Teknis Perda, terdapat dua macam sistem pencalonan yaitu sistem pencalonan Pola Dusun dan sistem pencalonan Pola Desa.
Dibandingkan dengan peraturan sebelumnya, Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menjanjikan terciptanya suasana kehidupan yang lebih demokratis, cermin peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan menyesuaikan pada potensi dan keanekaragaman daerah. Dengan menerapkan undang-undang tersebut tuntutan terhadap reformasi dalam bidang pemerintahan khususnya terhadap pemerintahan desa semakin tinggi, karena hal tersebut mengakomodasikan secara signifikan peran dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi.
Di sisi lain, dalam setiap kelompok masyarakat khususnya masyarakat Kecamatan Kotaanyar telah mempunyai pola dan budaya serta aturan atau norma tersendiri. Kenyataan ini mengakibatkan ketika terjadi aturan yang baru masuk ke dalam kelompok masyarakat tadi maka akan menyebabkan masyarakat tadi kesulitan untuk menerimanya apalagi aturan tersebut baru dan belum tersosialisasikan pada kelompok masyarakat yang bersangkutan. Dengan pola-pola dan budaya yang telah dimilikinya selama ini, masyarakat Kecamatan Kotaanyar sulit untuk menerima pelaksanaan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Apalagi sudah sekian lamanya dalam kelompok masyarakat Kecamatan Kotaanyar menjalani kehidupan demokrasi yang sama sekali bertentangan dengan undang-undang tersebut. Yang muncul kemudian adalah berbagai macam bentuk atau model konflik dalam lingkungan masyarakat yang seharusnya tidak bisa terjadi.
Sumber daya manusia mempunyai peran yang besar dalam perkembangan suatu organisasi baik organisasi politik, sosial, ekonomi maupun lainnya. Maju dan berkembangnya suatu lembaga atau organisasi sangat ditentukan sekali oleh kemampuan sumber daya manusia para anggotanya. Dalam pelaksanaannya, kemampuan sumber daya manusia dari anggota BPD masih sangat kurang sekali. Meskipun mereka rata-rata mempunyai pendidikan minimal SLTP, tapi kemampuan mereka dalam menampung, dan menyampaikan aspirasi masyarakat tidak menunjukkan beretika yang baik khususnya etika dalam berpolitik. Hal ini yang menjadikan kurang berfungsi optimalnya lembaga BPD.
Mekanisme yang perlu diperhatikan adalah dibentuknya Badan Perwakilan Desa. Kondisi memunculkan beberapa hal yang mengkhawatirkan, yaitu masuknya seseorang menjadi anggota BPD ada indikasi untuk menjatuhkan kepala desa terpilih. Hal ini yang banyak terjadi di Kec. Kotaanyar, karena yang bersangkutan merupakan rival kepala desa terpilih ketika pemilihan kepala desa. Keadaan ini tak lain hanya merepresentasikan bahwa BPD merupakan rival kepala desa dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Hal seperti itu sangat masuk akal sebab selama pemerintahan Orde Baru kedudukan kepala desa sangat kuat dan hampir tidak pernah mendapat kritik dari masyarakat. Kalaupun ada masukan dari masyarakat, kedudukan kepala desa tidak pernah terganggu. Terdapat beberapa hal yang perlu diamati dalam kehidupan bermasyarakat di kecamatan ini berkaitan dengan kehidupan pemerintahan pasca dikeluarkannya undang-undang tersebut. Pertama, sistem kontrol pemerintah kabupaten berkaitan dengan penilaian kepala desa setelah ditetapkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Kedua, berubahnya Lembaga Musyawarah Desa (LMD) menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD), perubahan ini menimbulkan perspektif yang perlu untuk diperhatikan, yaitu perubahan ini apakah mampu menjamin terciptanya demokratisasi di pedesaan.
Mekanisme lain yang perlu diperhatikan adalah dibentuknya Badan Perwakilan Desa. Pembentukan badan ini mekanismenya sama seperti yang dulu-dulu, yakni anggotanya dicalonkan oleh lembaga-lembaga masyarakat yang ada sampai dengan organisasi politik. Dengan kondisi yang seperti itu, maka memunculkan beberapa hal yang mengkhawatirkan, yaitu masuknya seseorang menjadi anggota BPD ada indikasi untuk menjatuhkan kepala desa terpilih. Hal ini karena yang bersangkutan merupakan rival atau saingan kepala desa terpilih ketika pemilihan kepala desa. Keadaan ini tak lain hanya merepresentasikan bahwa BPD merupakan rival atau musuh kepala desa dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Hal seperti itu sangat masuk akal sebab selama pemerintahan Orde Baru kedudukan kepala desa sangat kuat dan hampir tidak pernah mendapat kritik dari masyarakat. Kalaupun ada masukan dari masyarakat, kedudukan kepala desa tidak pernah terganggu. Hal yang memungkinkan terjadinya konflik adalah dukungan kepala desa datangnya dari basis massa politik aliran. Kepala desa yang mendapat dukungan dari massa politik tertentu akan senantiasa dijatuhkan dan diganggu oleh lawan politiknya. Sehingga yang terjadi BPD bukan sebagai patner atau mitra kerja kepala desa, tetapi BPD hanya sebagai lembaga yang mengganggu kinerja dalam menjalankan pemerintahan lokal di desa.
Yang terjadi selanjutnya adalah konflik desa dengan menggunakan sumber daya yang turut mempengaruhi dinamika sosial, budaya, lingkungan dan politik masyarakat. Berbagai kasus penurunan kepala desa, penolakan hasil pilkades, usaha rakyat membongkar skandal pemerintah desa merupakan indikasi bahwa aroma perubahan sebenarnya sudah sangat kental. Pada sisi lain, kondisi dan gerak perubahan telah menjadikan kekuatan yang secara langsung melakukan politisasi pada rakyat. Bangkitnya kesadaran rakyat ini sejalan dengan memudarnya pamor birokrasi desa dan penguatan parpol serta kekuatan non birokrasi lain. Berbagai proses perubahan yang terjadi di Kecamatan Kotaanyar pada dasarnya merupakan transformasi pemahaman atas kekuasaan yang semula sakral, maka kini disadari bahwa kekuasaan itu merupakan hal yang biasa.
Sekarang ini, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, prinsip pemberian otonomi daerah dilaksanakan secara proporsional dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab pada pemerintah lokal. Pemberian otonomi daerah diwujudkan dalam bentuk pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya yang berkeadilan. Sedangkan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Kemudian, untuk memajukan pembangunan, pemerintah melakukan birokratisasi desa sebagai saluran struktural fungsional ke desa melalui kepala desa atau lurah. Melalui aparat-aparat ini, pemerintah dapat mengintervensi desa memasukkan nilai-nilai politik dan pembangunan. Bagi penduduk Kotaanyar, munculnya lembaga BPD merupakan sesuatu yang baru. BPD adalah salah satu wujud dari implikasi otonomi daerah dengan konsep sangat berbeda dan lain dari lembaga LMD. Dan merupakan suatu badan yang menjanjikan akan tersalurkannya aspirasi rakyat di tingkat desa. Namun dalam kenyataannya di Kecamatan Kotaanyar, keberadaan badan perwakilan ini malah menjadi penghambat tersalurkannya aspirasi masyarakat desa.
Realitas yang berkembang di masyarakat, sesungguhnya menggariskan bahwa perubahan yang dilakukan tidak mungkin dilakukan. Sebaliknya perubahan yang setengah hati, tambal sulam, yang hanya berada di permukaan mengundang permasalahan-permasalahan yang lama muncul kembali. Namun demikian, perubahan mendasar tentu akan membawa pengaruh yang sangat penting pada elit-elit lokal. Bila sebelumnya mereka tidak diberi tempat untuk menyalurkan aspirasi rakyat kecil yang dibebankan pada dirinya, kini seiring dengan euforia demokrasi mereka bebas bersuara menyatakan apa yang menjadi pemikirannya. Di sisi lain kesiapan aparat desa untuk berdemokrasi masih terlalu mengambang, artinya setelah selama Orde Baru mereka mempunyai kekuasaan yang tidak dapat diusik, kini dengan munculnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 kekuasaan mereka dibatasi dengan segala macam peraturan. Hampir kepala desa dan perangkatnya setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh BPD. Dengan demikian, mereka belum terbiasa dengan peraturan yang baru. Di sisi lain, sosialisasi undang-undang tersebut belum menyentuh lapisan bawah, sehingga pemahamannya terhadap undang-undang yang baru juga kurang mendalam.
0 comments:
Post a Comment