Come and joint us

Alamat blog resmi Desa Cangaan http://desacangaan2012.blogspot.com

Tempat Sejarah Desa

Gambar Taman Lanang Desa Cangaan

Tempat Sejarah Desa

Gambar Sumur Taman (Sumur pomben)

Tempat Sejarah Desa

Taman Wadon Desa Cangaan

Pusat Pemerintahan Desa

Gambar Balai Desa Cangaan

Potensi Desa

Gambar Penggemukan Sapi

Potensi Desa

Gambar Peternakan Kambing

Potensi Desa

Gambar Areal Persawahan

Panorama Alam

Gambar Embung Desa / Waduk kecil

Panorama Alam

Gambar Pomben Sapi "Gempol"

Panorama Alam

Gambar Desa Cangaan dari Atas Gunung "Keindahan Alam Desa Cangaan"

Thursday, 27 December 2012

Contoh Juknis Pembentukan BPD & Perdes BPD

Akhir tahun 2012 banyak pemerintahan desa yang membutuhkan contoh atau panduan dalam pementukan BPD (Badan Permusyawaratan Desa), dikarenakan banyak jabatan BPD yang habis masa kerjanya. Untuk itu kami mencoba mencarikan Juknis dan contoh perdes tentang BPD, semoga bisa membantu anda, silahkan di download di link :
1. Perda Kabupaten Gresik tentang BPD                               DOWNLOAD 
2. Contoh Perdes tentang PBD                                                DOWNLOAD 
3. Contoh Juknis pembentukan BPD                                      DOWNLOAD

Wednesday, 19 December 2012

Aliansi Desa Indonesia Berdemo, Jakarta Macet Total

[JAKARTA] Kemacetan Jakarta yang  terjadi setiap hari semakin parah pada Jumat (14/12) pagi. Sejak sekitar pukul 07.30 WIB, arus lalu lintas di Jalan Gatot Subroto baik dari Pancoran, maupun sebaliknya lumpuh total. Kemacetan ini juga menjalar ke jalan lain yang berada di sekitar Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selatan, karena banyaknya para pengguna jalan yang mencari jalan alternatif menghindari depan Kompleks DPR.  

Kemacetan ini terjadi karena puluhan ribu orang yang menamakan diri mereka Aliansi Desa Indonesia berdemonstrasi menuntut segera disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) mengenai desa dalam Sidang Paripurna DPR yang digelar hari ini. Demonstran yang diperkirakan berjumlah sekitar 40.000 ini tertahan di depan gerbang dan membuat mereka meluber hingga ke jalan tol.  

Sunday, 16 December 2012

Kegiatan JalinKesra Propinsi warga terima 32 paket anak kambing

Cempe JalinKesra
Tanggal 13 Desember 2012, warga Desa Cangaan Ujungpangkah Gresik menerima 32 paket anak kambing dari program bantuan sosial ternak kegiatan Jalinkesra penanganan RTSM Tahun 2012
Seorang Warga mendapatkan 1 ekor jantan dan 3 ekor betina, sehingga keseluruhan yang diberikan berjumlah 128 ekor anak kambing kacang. 
Pada dasarnya program itu baik untuk meningkatkan perekonomian warga, akan tetapi banyak warga yang menyikapi program tersebut kurang tepat sasaran, dikarenakan warga yang menerima tidak tepat sasaran atau RTSM yang dimaksud. mengingat data nama RTSM yang digunakan oleh propinsi adalah data tahun 2005. Padahal kenyataannya kondisi warga telah banyak yang berubah. 

Sunday, 9 December 2012

Contoh Pembangunan Desa di Negara Lain

Afrika Selatan.
Belajar dari pengalaman Afrika Selatan dalam mengurangi jumlah kemiskinan. Journal Of Theoritical Politics pertengahan tahun 1996 mempublikasikan konsep permberdayaan ekonomi rakyat di Afrika Selatan yang dikenal dengan Reconstruction Development Programmes (RDP). RDP merupakan kebijaksanaan utama pemerintahan kesatuan nasional (GNU) dari Kongres Nasional Afrika (ANC) yang di publikasi sebagai manisfesto pemilu Afrika Selatan. Secara umum RDP merupakan program yang integral yang saling berhubungan dengan frameworksosio-ekonomi. Program ini berusaha untuk mengintegralkan pembangunan, rekontruksi, redistribusi, dan rekonsiliasi kedalam satu kesatuan program. Program ini mencoba memeneuhi kebutuhan dasar dan membuka peluang kepada potensi ekonomi dan manusia di desa dan di kota yang sebelumnya ditekan. Ia bermaksud sebagai visi fundamental dalam transformasi masyarakat Afrika Selatan. Lima kunci RDP adalah dapat diidentifikasi sebagai berikut: pemenuhan kebutuhan dasar; pembangunan sumber daya manusia; pembangunan ekonomi; demokrtisasi negara dan rakyat; dan implementasi RDP. Ada enam prinsip dasar dari RDP; integral dan berkelanjutan; prosesnya dimotori oleh manusia; perdamaian dan keamanan untuk semua; pembangunan bangsa; pembangunan berhubungan lannsung dengan rekontruksi; dan demokratisasi. Cita-cita RDP adalah untuk membasmi kemiskinan melalui perencanaan Marshal di Eropah Barat setelah Perang Dunia II. Untuk menerapkan RDP pemerintah harus komit untuk melakukan transformasi pemerintahlah yang melaksanakannya. Untuk itu pemerintah

Perkembangan Perundang2an Desa

Secara umum di Indonesia, desa atau yang disebut dengan nama lain sesuai bahasa daerah setempat dapat dikatakan sebagai suatu wilayah terkecil yang dikelola secara formal dan mandiri oleh kelompok masyarakat yang berdiam di dalamnya dengan aturan-aturan yang disepakati bersama, dengan tujuan menciptakan keteraturan, kebahagiaan dan kesejahteraan bersama yang dianggap menjadi hak dan tanggungjawab bersama kelompok masyarakat tersebut.
Dalam sistem administrasi negara yang berlaku sekarang di Indonesia, wilayah desa merupakan bagian dari wilayah kecamatan, sehingga camat menjadi "instrumen" koordinator dari penguasa supra desa, yakni Negara melalui Pemerintah dan pemerintah daerah, terhadap desa-desa yang ada di dalam wilayah kecamatan. Pada awalnya, sebelum terbentukya sistem pemerintahan yang menguasai seluruh bumi nusantara sebagai suatu kesatuan negara, urusan-urusan yang dikelola oleh desa adalah urusan-urusan yang memang telah dijalankan secara turun temurun sebagai norma-norma atau bahkan sebagian dari norma-norma itu telah melembaga menjadi suatu bentuk hukum yang mengikat dan harus dipatuhi bersama oleh masyarakat desa, yang dikenal sebagai hukum adat. Urusan yang dijalankan secara turun temurun ini meliputi baik urusan yang hanya murni tentang adat istiadat, maupun urusan pelayanan masyarakat dan pembangunan (dalam administrasi pemerintahan dikenal sebagai urusan pemerintahan), bahkan sampai pada masalah penerapan sanksi, baik secara perdata maupun pidana. Urusan yang demikian, dalam teori dan praktek sistem pemerintahan daerah di Indonesia, selama ini dikenal sebagai "urusan asal-usul".

Pedesaan Berdasarkan Potensi

1. Desa Terbelakang atau Desa Swadaya
Desa terbelakang adalah desa yang kekurangan sumber daya manusia atau tenaga kerja dan juga kekurangan dana sehingga tidak mampu memanfaatkan potensi yang ada di desanya. Biasanya desa terbelakang berada di wilayah yang terpencil jauh dari kota, taraf berkehidupan miskin dan tradisional serta tidak memiliki sarana dan prasaranan penunjang yang mencukupi.
2. Desa Sedang Berkembang atau Desa Swakarsa
Desa sedang berkembang adalah desa yang mulai menggunakan dan memanfaatkan potensi fisik dan nonfisik yang dimilikinya tetapi masih kekurangan sumber keuangan atau dana. Desa swakarsa belum banyak memiliki sarana dan prasarana desa yang biasanya terletak di daerah peralihan desa terpencil dan kota. Masyarakat pedesaan swakarsa masih sedikit yang berpendidikan tinggi dan tidak bermata pencaharian utama sebagai petani di pertanian saja serta banyak mengerjakan sesuatu secara gotong royong.
3. Desa Maju atau Desa SwasembadaDesa maju adalah desa yang berkecukupan dalam hal sdm / sumber daya manusia dan juga dalam hal dana modal sehingga sudah dapat memanfaatkan dan menggunakan segala potensi fisik dan non fisik desa secara maksimal. Kehidupan desa swasembada sudah mirip kota yang modern dengan pekerjaan mata pencarian yang beraneka ragam serta sarana dan prasarana yang cukup lengkap untuk menunjang kehidupan masyarakat pedesaan maju.

2 poin dasar yg harus dipersiapkan untuk memajukan desa

1. Harus ada kelompok masyarakat yang mendedikasikan diri untuk Kemajuan Desa maksudku kelompok ini harus sadar hak warga negara kewajiban negara, memahami sistematika musrenbangdus-des-cam-kab,membangun komunikasi politik dengan lembaga desa, kecamatan,eksekutif dan legislatif dan berketrampilan advokasi (masih sedikit ada kelompok yg seperti ini)
2. Lembaga Desa baik itu perangkat desa, BPD, LPMD, PKK, Karang Taruna yang menjalankan fungsi sesuai Job des-nya (Hampir semua Lembaga Desa gak produkstif relasi atar lembaga desanya)

meski samgat berat tp harus dimulai membangun poin 1, terlalu riskan membiarkan kesempatan desentralisasi desa yg makin hari makin dekat dan berarti ADD akan semakin besar tp penyelenggara desa (rakyat juga termasuk penyelenggara desa lho) masih carut-marut spt ini


1. Pertama, kita kuatkan profesionalitas dan kemampuan kita masing-masing.
2. Kedua, kita satukan kekuatan dan keikhlasan kita untuk peduli membangun.
3. Ketiga, Identifikasi masing-masing kita sesuai bidang, konsentrasi dan prioritas / kapasitas kita.
4. Kita wujudkan wirausaha / kemandirian usaha tiap desa, antar desa secara lokal, regional dan nasional.
5. Mari kita mulai.
a. Database potensi kita, (personal dan lokasional)
b. Ketemu dalam wadah khusus rembug pembangunan antar desa se nusantara
c. Bikin kluster-kluster potensi dan jaringan / pemetaan
d. Alternatif rancangan pembentukan wadah-wadah usaha. (koperasi, perseroan)

5 Masalah utama dan mendasar yang dihadapi oleh desa dengan pemerintahannya

  1. Kedudukan desa dalam sistem pemerintahan Indonesia sampai saat ini masih bersifat ambivalen, yakni sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki otonomi tradisional tetapi lebih banyak menjalankan urusan-urusan pemerintahan yang datang dari pemerintahan supradesa.
  2. Kedudukan organisasi pemerintah desa juga bersifat ambivalen seiring ambivalensi kedudukan kesatuan masyaarakat hukumnya.
  3. Sumber keuangan desa bersifat tradisional sehingga tidak memberikan kepastian untuk dapat digunakan untuk menggerakkan roda organisasi. Desa tidak memiliki kewenangan memungut pajak dan retribusi atas namanya sendiri. Pungutan pajak dan retribusi yang ada saat ini atas nama pemerintah supradesa (misalnya Pajak Bumi dan Bangunan sebagai pajak pemerintah pusat). Sumber keuangan desa berasal dari sumber-sumber tradisional seperti iuran warga desa, tetapi yang terbesar justru berasal dari transfer pemerintah supradesa (pusat, provinsi, kabupaten/kota).
  4. Kedudukan kepegawaian perangkat desa serta sistem imbalannya juga tidak jelas karena kedudukan kesatuan masyarakat hukum dan organisasinya yang bersifat ambivalen.

Pungutan Desa

Setiap pungutan, terutama yang berwujud uang di desa harus didasari dengan adanya peraturan desa (Perdes).  Tanpa Perdes, pungutan yang ditarik pemerintah desa tidak memiliki dasar hukum sehingga tidak bisa dibenarkan atau bisa dikategorikan sebagai pungutan liar. masyarakat termasuk yang tinggal di pedesaan sekarang ini sudah semakin kritis. Jika dikenakan pungutan tanpa adanya dasar hukum, maka pemerintah desa bisa digugat. Setidaknya bisa mengakibatkan gejolak di tingkat desa. Semuanya harus ada perdesnya. Baik itu pungutan untuk swadaya pembangunan, iuran untuk kegiatan sedekah bumi, atau jenis iuran lainnya harus ada dasar hukum, Jika pungutan sudah ada payung hukum Perdesnya, maka proses penarikannya akan lebih mudah. Selain itu, masyarakat cenderung bisa menerima dan dengan suka hati secara sadar akan membayar iuran tersebut. Lahirnya Perdes yang digunakan sebagai payung hukumharus dilakukan dengan cara musyarawah yang melibatkan stakeholders pemerintah desa. Terutama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai representasi perwakilan masyarakat.

Pendekatan Pembangunan Desa

Program pembangunan pedesaan telah dimulai sejak tahun 1946 yang digagas oleh Amerika dan Inggeris di India. Hampir satu abad pelaksanaan program pedesaan di dunia, di Indonesia proyek pembangunan pedesaan sudah dimulai sejak awal kemerdekaan. Apa yang kita rasakan hasil dari program pedesaan selama ini, yang ppaling dirasakan tentulah orang kota, para birokrat dan pengusaha bahkan multinasional. Dengan mengutip Frankel, Feder, Galti, Bennholdt Thomson, dan Goerge bahwa program-program pemodrenan pertanian yang dibiayai negara-negara kapitalis dan pinjaman Bank Dunia dan kelembagaan lain hanya akan menguntungkan negara kapitalis dan kelembagaan keuangan internasional tersebut.
Secara garis besar pendekatan pembangunan pedesaan mengacu pada tiga aliran besar, yaitu pertama
pendekatan teknokrat, 
menghubungakan pembangunan pedesaan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertanian dengan tekologi pertanian. Pendekatan ini berinduk kepada teori ekonomi liberal, dimana dengan out put utamanya adalah modernisasi pedesaan. Pendektan ini banyak mendapat kecaman dari beberapa pihak karena percepatan teknologi yang tidak liniear dengan situasi social ekonomi pedesaan, sering kali mekanisasi pertanian menyebabkan permasalahan baru bagi masyarakat desa. Teknokrat sendiri berasal dari kata teknikal dan birokratik.
Kedua, 
revolusioner 
dengan pusat analisisnya adalah sejarah kapitaslisme menuju ke sosialisme, dengan aliran pemikiran yang dipakai adalah pemikiran Marxisme. Asumsi teoritisnya adalah bahwa kapaitalisme menciptakan ketergantungan dan penghisapan. Maka pendekatan ini mencoba melepaskan diri dari pengaruh sistem global dan memperkuat kemampuan dalam negeri sendiri, jika negara-negara miskin makin tergantung dengan kapitalisme akan menjerumuskan negara miskin ke jurang kemiskinan yang lebih parah lagi. Asumsi teori ini bahwa campur tangan pemerintah dalam program pedesaan tidak akan membawa pengaruh positif jangka panjang bagi pemberantasan kemiskinan selagi pemerintah tidak memiliki otonomi sepenuhnya dari corak pembangunan yang diinginkan  dan membebaskan diri dari campur tangan tuan-tuan tanah, birokrat kapitalis, pemodal tempatan dan internasional.
Ketiga  

Pembangunan berdasarkan Karakter

Untuk melakukan pembangunan desa sudah seharusnya kita lebih dahulu memahami karakter desa yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, saya berlandaskan pada karakter desa di Sumatera karena desa-desa ini lebih dekat dan saya kenal.
Desa-desa di Sumatera umumnya memiliki tipologi The Line Village (Jefta Leibo, 1990) yaitu perkampungan dipinggiran sungai atau lautan dan dipinggir jalan raya. Mereka berdiam dalam satu komunitas yang berada dipinggir sungai, laut dan jalan raya tersebut sedangkan perkebunannya berada di luar kampung. Perkampungan yang dipinggir sungai atau laut mencirikan budaya asli masyarakat yang merupakan cikal-bakal masyarakat di desa tersebut. Sedangkan yang dipinggir jalan merupakan perkampungan baru yang tumbuh karena pertumbuhan jalan raya, pertumbuhan kota, pertumbuhan industri.
Karakter budaya line sungai atau laut adalah ekonomi berbasis sumber daya alam yang bercorakkan pada tiga pola ekonomi (Rawa, 2001) yaitu Pertama, pendapatan tahunan aktivitas ekonominya adalah bertani berladang berpindah-pindah, yang dilanjutkan dengan perkebunan tanaman keras. Kedua, produksi bulanan yang digunakan untuk melengkapi konsumsi tahunan,misalnya meneres karet (getah), membalak, melaut. Konsumsinya dijamin oleh tauke dengan sistem ijon, tuake memenuhi kebutuhan konsumsi lebih dahulu kemudian dibayar dengan hasil kerja bulanannya tersebut.
Ketiga, konsumsi mingguan atau harian. Kegiatan produksi mingguan atau harian ini biasanya berupa usaha reproduksi rumah tangga, pengolahan perkarangan, kebun dan bisa juga memancing ikan.

CSR

Dari hasil Musayawarah Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam) yang sudah dillaksanakan, tidak mungkin semua usulan dapat terdanai oleh APBD pemerintah. Karena itu diharapkan proses pendanaannya (pembangunan, red) perlu melibatkan peran serta dunia usaha, khususnya beberapa perusahaan yang beroperasi. Setiap perusahaan atau dunia usaha itu memiliki kewajiban dan tanggungjawab sosial kepada masyarakat, untuk memberikan Corporate Social Responsibility (CSR) kepada mereka dalam bentuk hasil pembangunan infrastruktur yang nyata dan bertanggung jawab.
Pihak kecamatan agar proaktif berkoordinasi kepada setiap perusahaan yang beroperasi di wilayah nya masing-masing. Duduk bersama melakukan sharing dan menawarkan beberapa program yang sudah disampaikan kepada pemerintah ketika program Musrenbangcam dilaksanakan beberapa waktu lalu.
Dengan demikian, ketika anggaran yang dimilki pemerintah sangat terbatas dan tidak mampu untuk membiayai berbagai pembangunan tersebut, maka tawaran yang dilakukan agar mereka (pihak perusahaan, red) mau membantu pendanaan untuk membangun berbagai infrastruktur yang dibutuhkan oleh masyarakat bisa jadi solusi

Desa Jadi Korban

Desa dengan pemerintahannya selama ini tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Desa lebih banyak diposisikan sebagai obyek kekuasaan politik dari supra desa, maupun obyek tersedianya sumber bahan dan tenaga kerja murah bagi pengusaha. Sistem pemerintahan desa yang digunakan saat ini pada prinsipnya masih meneruskan kebijakan pemerintah zaman penjajahan Belanda yang dinamakan "indirect rule". Melalui cara ini, pemerintah Belanda dapat memerintah rakyat desa melalui kepala desa, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya. Disengaja atau tidak, selama ini pemerintah supra desa telah menempatkan desa pada posisi yang marginal. Contoh: PILPRES  BIAYA APBN, PILKADA  BIAYA APBD, PILKADES  BIAYA SENDIRI. Pada masa lalu ada program pembangunan desa, tetapi lebih bersifat pelaksanaan cetak biru yang disiapkan pemerintah pusat, yang dampaknya justru membuat desa semakin tergantung pada pihak luar desa. Fungsi Desa sebagai tempat kehidupan dan penghidupan warganya menjadi pudar, berganti hanya sebagai tempat tinggal. Karena saya dari pemerintahan maka saya bicara bentuk dan kedudukan keorganisasian pemerintah desa. Dilihat dari bentuk dan kedudukannya, pemerintah desa adalah organisasi pemerintah semu, ini boleh setuju boleh tidak yang ambivalen, atau lebih tepat disebut sebagai lembaga kemasyarakatan yang menjalankan fungsi pemerintahan. Dikatakan demikian karena kewajiban-kewajibannya sebagai kewajiban pemerintah tapi haknya tidak, kepala desa dan perangkat desanya bukan PNS yang digaji dengan dana dari negara. Selama ini pembiayaan bagi organisasi pemerintah desa berasal dari sumber- sumber keuangan tradisional berupa iuran warga maupun pengelolaan kekayaan desa, ditambah dengan bantuan dari pemerintah supra desa. Kemudian keluar keputusan politik dalam bentuk Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR-RI/2000 Rekomendasi Nomor 7, ada keinginan politik untuk memperkuat desa, dengan kemungkinan menjadikannya sebagai DAERAH OTONOM TERBAWAH, ini baru kemungkinan karena disitu disebut studi perintisan berarti ada keinginan untuk menjadi daerah otonomi yang paling bawah. Apabila Tap MPR tersebut masih digunakan sebagai dasar hukum di dalam penyusunan RUU tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2006-2025, jadi posisi TAP MPR ini sangat dilematis karena sekarang itu MPR posisinya hanya lembaga tinggi negara biasa tapi pada waktu TAP ini disyahkan MPR masih sebagai lembaga tertinggi negara, jadi ada dua posisi, nah kalau itu masih dipegang perlu disusun grand desain yang bertahap dan berkelanjutan. Berbagai perubahan terhadap desa dan pemerintahannya saat ini cenderung bersifat parsial dan jangka pendek. Kita tidak pernah tahu kondisinya seperti apa dan kemana arahnya, kalau saya lihat prospeknya kedepan kalau TAP MPR masih di pakai maka akan muncul desa otonom baru yang merupakan gabungan dari desa-desa yang ada pada saat ini yang basisnya adalah TAP MPR No IV tapi konsekwensinya otonomi yang hanya pemberian dari pemerintah, berubah dari otonomi pengakuan yang selama ini berjalan, karena sekarang ini pemerintah sudah mengakui otonomi yang sifatnya asli maka nanti akan berubah mengenai otonomi yang bersifat pemberian dan ini juga akan menimbulkan kontroversi karena dianggap intervensi pemerintah kepada desa masuk kedalam. Otonomi desa baru ini luasnya mencakup beberapa desa lama otonominya bersifat rasional yang sekarang otonominya bersifat tradisional dan kalau ini terjadi maka Kecamatan akan dihapus dan tanda-tanda itu sudah nampak, misalnya adanya ADD kemudian pengisian jabatan Sekdes menjadi PNS dan yang agak kontroversi yaitu pasal 72 ayat 7 huruf b, urusan kabupaten kota yang pengaturannya diserahkan kepada desa. Ini akan menimbulkan kontroversi tapi proyeksinya seperti itu dengan asumsi TAP MPR masih dipakai untuk landasan kalau tidak maka kita akan menyusun kritisan yang lain. Kalau bicara tentang tata hubungan kerja antara desa dengan supra desa akan nampak bahwa tata hubungan kerja antar satuan pemerintahan tergantung pada sumber kewenangannya. Prinsipnya, pola pertanggungjawaban mengikuti pola pendelegasian kewenangan. Tata hubungan kerja antar satuan pemerintahan yang tidak bersifat hierarkhis bentuknya sebagai berikut: dari sistem yang lebih kecil wujudnya berupa laporan, sedangkan dari sistem yang lebih besar wujudnya pembinaan, pengawasan dan fasilitasi. Pola pertanggungjawaban pimpinan satuan pemerintahan akan mengikuti pola pengisiannya. Pimpinan yang dipilih pertanggungjawabannya akan mengikuti pola pemilihannya. Prinsipnya adalah mereka yang dipilih akan bertangungjawab kepada yang memilih. Pola pertanggungjawaban pimpinan satuan pemerintahan yang diangkat oleh pejabat yang berwenang, pada prinsipnya bertanggungjawab kepada pejabat yang mengangkatnya. Dilihat dari sistem pemerintahan, pemerintah desa merupakan subsistem yang paling kecil. Tetapi pemerintah desa bukan merupakan subordinasi dari pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian, kepala desa tidak bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. Karena ada beberapa perda yang mengatakan bahwa kepala desa bertanggungjawab kepada bupati, maka ini jadi lucu. Mengingat jabatan kepala desa diisi melalui pemilihan langsung oleh masyarakat, maka prinsipnya kepala desa bertanggungjawab kepada masyarakat pemilihnya. Pertanggungjawaban kalau bupati kepada DPRD da kalau kepala desa kepada rakyat melalui BPD, itupun kalau menurut UU 22/99 ada perda yang mengatakan kalau kepala desa bertanggungjawab kepada BPD, tetapi UU-nya mengatakan bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD tapi kemudian diperkuat dengan perda bahwa kepala desa bertanggungjawab kepada BPD. Ini menjadi tidak sinkron dengan sistem yang dipilih bertanggungjawab kepada yang dipilih, kalau kita melihat model pada UU 32/2004 karena kepala desa itu dipilih maka arah pertanggungjawaban ada 3 yaitu:
1. keatas kepada LPPD, laporan pemerintah daerah;
2. kesamping LKPC, laporan pertanggungjawaban dan;
3. kebawah IPPD, informasi kepada masyarakat, pola ini yang juga dipakai kepala desa, Mengikuti model yang diatas berarti kepala desa menyampaikan laporan penyelenggaran pemerintah desa kepada Bupati, walikota, dan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD yang sifatnya informatif dan menyampaikan informasi penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat.

Alokasi Dana Desa Versus PNPM

Penyakit lama peseteruan antar sektor, antar program, dan antar departeman dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat belum sembuh rupanya.

 
Belakangan malahan menunjukkan gejala makin akut. Perseteruan tak hanya berlangsung di pucuk-pucuk departemen di Jakarta. Tetapi sudah merembet, menjalar, dan menular hingga ke desa-desa.

 
Hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana desa-desa dikepung oleh banyak program, oleh banyak departemen. Ironisnya, desa selalu tidak punya obat penawar. Posisinya tidak lebih dari sekedar medan pertarungan, lapangan balbalan, atau stadion tempat antar departemen saling bertanding. Sementara warga desa, pemilik sejati lapangan itu hanya menjadi penonton, atau penggembira yang sesekali bertepuk tangan, tetapi juga yang setelah pertandingan usai masih harus membersihkan sampah sisa-sisa pertarungan

 
Ada dua program yang sedang bertanding di daerah ini. Program Alokasi Dana Desa (ADD) versus Proyek Pengembangan Kecamatan/Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (PPK/P2KP)-proyek ini sekarang dikenal dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Kabar serupa juga kita dengar dari Kabupaten Lombok Tengah. Di wilayah ini Mitra Samya mencatat sebanyak 124 RPJM Desa yang telah disusun susah payah oleh Bapeda- AusAID-ACCESS konon menjadi mentah kembali karena kehadiran PPK-P2KP.

Efektifitas Kinerja BPD sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintahan Desa

Salah satu dimensi penting dalam rangka mewujudkan cita-cita demokratisasi dan reformasi adalah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang undang Nomor 32 tahun 2004 yang di dalamnya juga mengatur mengenai Pemerintahan Desa. Dengan adanya perangkat hukum tersebut telah membuka peluang bagi terwujudnya demokratisasi sampai pada tingkat pedesaan melalui perubahan konfigurasi pemerintahan desa dengan menghadirkan Badan Permusyawratan Desa (BPD) sebagai institusi perwakilan rakyat di tingkat Desa yang mempunyai kedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Desa.

 
Kehadiran Badan Perwakilan Desa (BPD) dalam Pemerintahan Desa dengan berbagai fungsi dan kewenangannya diharapkan mampu mewujudkan sistem check and balances dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Namun demikian di sisi lain, kehadiran BPD juga telah menimbulkan berbagai permasalahan di tingkat desa terutama yang menyangkut hubungan kerja antara BPD dengan Kepala Desa yang diatur berdasarkan kaidah normatif.

 
Beberapa permasalahan pokok dalam penulisan ini adalah bagaimana pola hubungan kerja antara BPD dengan Kepala Desa dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa khususnya dalam proses penyusunan dan penetapan Peraturan Desa, penyusunan dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan pelaksanaan peraturan desa serta pertanggungjawaban Kepala Desa. Selain itu juga faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam hubungan kerja antara BPD dengan Kepala Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis permasalahan-permasalahan tersebut.

Implementasi Fungsi BPD Sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintahan Desa

Pelaksanaan tugas dan fungsi dari BPD pada dasarnya mengacu pada tugas dan fungsi dari lembaga ini yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yaitu melaksanakan fungsi legislasi, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta fungsi pengawasan. Namun dalam pelaksanaannya pelaksanaan fungsi legislasi dari BPD Desa Sereang ini, belum dilaksanakan secara efektif.

 
Salah satu penyebab ketidakefektifan pelaksanaan tugas dan fungsi dari lembaga ini khususnya pelaksanaan fungsi legislasi karena minimnya pemahaman serta keterampilan dan kemampuan anggota BPD Desa Dompas terhadap pelaksanaan fungsi legislasi tersebut. Kondisi ini juga sangat dipengaruhi oleh kurang tanggapnya aparat Kabupaten Bengkalis khususnya Dinas Pemberdyaan masyarakat desa dan Lembaga Desa selaku pihak yang bertanggung jawab terhadap pembinaan kelembagaan.

 
Pelaksanaan tugas dan fungsi dari BPD Desa Dompas yang menjadi ukuran dalam menilai kinerja organisasi tersebut secara umum dinilai belum optimal, namun terlepas dari penilaian masyarakat tersebut ternyata masih ditemukan sejumlah fakta yang apabila dikaitkan dengan indikator-indikator kinerja organisasi menunjukkan bahwa ada beberapa indikator kinerja yang belum terpenuhi dalam struktur keanggotaan BPD Desa Dompas yaitu masih adanya sejumlah elemen Masyarakat yang belum terwakili dalam struktur keanggotaan lembaga tersebut. Fungsi pengawasan dari BPD dinilai sebagai fungsi yang paling gencar dilaksanakan dibandingkan pelaksanaan fungsi-fungsi yang lain. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan BPD membutuhkan anggaran khusus yang diposkan untuk melaksanakan studi kelayakan penerapan peraturan desa yang ditetapkan bersama kepala desa berdasarkan karakter dan sejauhmana peraturan desa tersebut bisa efektif dilaksanakan.

Perdes Masih Lemah

Masih banyaknya ditemukan peraturan desa (Perdes) yang lemah dan berlaku efektif terhadap masyarakatnya. Menurut, Agung Prayogi, dalam penyusunan peraturan Perdes bisa mengacu hukum positif tertulis atau produk hukum yang ada di Indonesia.

 
"Acuan pada hukum yang statusnya lebih tinggi bertujuan hukum tersebut berlaku efektif. Agar berdampak positif. Tidak hanya itu saja, Perdes yang dibuatpun harus partisipatif," ungkap praktisi hukum ini, saat bertandang ke Biro HBT, Selasa (15/2).

 
Lebih lanjut Agung mengatakan hukum yang partisipatif itu adalah perwujudan hukum yang paling dasar. Hukum yang paling dasar adalah martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Berdasarkan nilai kemanusian ini warga masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pelibatan masyarakat dalam pembuatan peraturan desa harus dilakukan sejak perancanaan hukum sampai pada pendayagunaan hukum. Jangan sampai terabaikan begitu saja.

 
"Tujuan dari penyelesaran Perdes dengan produk hukum yang lebih tinggi ini agar tidak tumpang tindih. Sangat disayangkan apabila, Perdes yang dibuat bertabrakan dengan aturan setaranya. Apalagi jika sampai aturan itu bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi," terang pria jebolan Untan ini.

Demokrasi Desa:

Diskusi tentang demokrasi hampir selalu berkaitan dengan upaya membangun system politik nasional yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Untuk itu, selain konstitusi diperlukan institusi-institusi standar bagi pelembagaan system demokrasi seperti legislative, eksekutif, yudikatif, partai politik, pemilihan umum dan pers yang bebas. Namun demikian system demokrasi tidak bisa bekerja tanpa kemampuan Negara menegakkan supremasi hukum di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat dan elite) di pihak lain. Persoalan terbesar bangsa kita dewasa ini mencakup sekurang-kurangnya dua hal yang disebut terakhir, yakni kegagalam Negara menegakkan supremasi hukum dan belum terbangunnya kultur dan tradisi demokratis. Fenomena anarkisme dan pemaksaan kehendak dari berbagai kelompok masyarakat yang begitu marak beberapa tahun terakhir merefleksikan realitas tersebut.

 
Kultur demokrasi tak hanya berkaitan dengan penghormatan atas kesetaraan, hukum, toleransi, keberagaman, dan konsensus, melainkan juga berhubungan dengan pelembagaan tanggung jawab warga Negara dan elite politik dalam kehidupan kolektif.

 
Realitas ketiadaan supremasi hukum dan belum melembaganya kultur demokrasi tersebut diperparah oleh keterbelakangan ekonomi mayoritas rakyat kita, sehingga dalam banyak kasus rakyat tidak mempunyai pilihan kecuali terperangkap ke dalam konflik atas dasar sentiment kelompok, golongan, dan primordialisme yang diprovokasi oleh berbagai elemen hasil kolusi antaraktor pemodal (pasar), Negara, supradesa, dan bahkan "Negara bayangan" (shadow state).

Kelembagaan Desa

Perubahan struktur perwakilan masyarakat desa dari yang bersifat korporatis melalui LMD dan LKMD menjadi BPD yang bersifat partisipatif, memang mengubah dinamika desa, dari representasi Negara menjadi kepanjangan tangan masyarakat. Namun demikian struktur kelembagaan yang dipaksakan "seragam" secara nasional melalui UU No. 22/1999 juga cenderung meniadakan karakter desa yang amat beragam dan heterogen. Tidak mengherankan jika BPD pun akhirnya lebih menjadi representasi elite desa ketimbang representasi masyarakat. Konflik Kades versus BPD yang marak beberapa waktu lalu terutama dipicu oleh realitas seperti ini.

 
Terlepas dari kelebihan BPD atas LMD dan LKMD, harus diakui bahwa kehadiran BPD yang juga dipilih rakyat jelas berpotensi menyaingi dan mempreteli kewenangan Kades yang berujung pada delegitimasi Kades selaku otoritas tertinggi desa. Penciptaan lembaga BPD sebagai lembaga perwakilan desa barangkali didasari niat baik membangun demokrasi di tingkat desa. Namun persoalannya, lembaga BPD bukan hanya mempreteli otoritas Kades, dan juga otoritas lembaga-lembaga masyarakat asli yang telah ada sebelumnya, melainkan juga melahirkan disorientasi sosal mengenai arah kehidupan desa itu sendiri. Pertanyaannya, apakah satuan komunitas setingkat desa - dimana masyarakat bisa bertatap muka langsung hampir setiap waktu – sungguh-sungguh memerlukan sebuah "parlemen"?

Kelemahan Administrasi Desa

Ketidaksempurnaan administrasi tidak akan dipandang sebagai situasi yang suram, jika seandainya kondisi kesemrawutan administrasi pemerintahan di negara ini tidak merebak ke seluruh pelosok negeri, baik pada tingkat nasional bahkan sampai ke tingkat desa. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan adanya keinginan dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan status quo dan menerapkan pola otokratik dan otoriter. Peran pemerintah yang amat dominan dalam pembangunan sosial dan ekonomi membuat semuanya menjadi lebih semrawut.
Semua perubahan dan transformasi ini menyebabkan timbulnya pertentangan antara nilai lama dan baru, antara nilai tradisional dan yang modern. Tekanan dan pertentangan ini tidak hanya terbatas pada tubuh birokrasi, melainkan juga terjadi di kalangan masyarakat. Di kalangan intelektual yang diharapkan mampu melakukan perbaikan terhadap kebobrokan birokrasi, malah mereka utamanya yang konservatif menjadi stigma birokrasi atau yang lebih kita kenal dengan sebutan patologi birokrasi.
Pemerintahan Desa berkedudukan di wilayah Kecamatan dan sifatnya yang otonom seharusnya menjadikan desa sebagai teritorial yang paling esensial menyumbang potensi informasi kependudukan yang validitasnya tidak lagi diragukan. Akan tetapi pada realitasnya, berdasarkan evaluasi sejak berlakunya UU No 32 Tahun 2004 penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa masih menunjukkan adanya permasalahan yang memerlukan perhatian. Salah satunya masih kurangnya pemahaman terhadap arti penting peranan desa sebagai sumber data primer dari kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Akibatnya peran administrasi desa sering terabaikan.

Konflik Elit Desa

Kuatnya birokrasi desa akibat pelembagaan demokrasi pasca 1965, membuka desa untuk masuknya lembaga-lembaga nasional. Proses nasionalisasi demokrasi masuk ke pedesaan mampu membawa perubahan-perubahan di pedesaan dalam dua dasawarsa terakhir. Kaitan perubahan-perubahan itu dengan proses demokratisasi tergantung pada kemampuan politik dari birokrasi, kesadaran bahwa dalam jangka panjang industrialisasi memerlukan lembaga yang demokratis, dan kekuatan sosial ekonomi yang merupakan faktor penentu terjadinya perubahan di pedesaan.
Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan tentang birokratisasi desa dan pengaruhnya terhadap pembangunan di Kecamatan Kotaanyar Kabupaten Probolinggo, peranan birokrasi desa sebagai komunikator politik belum dapat dikatakan memuaskan. Sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, kepala desa bersama-sama dengan BPD bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan rumah tangganya sendiri. Kepala desa merupakan penanggungjawab utama di bidang pemerintahan dan pembangunan dengan segala aspeknya. Dalam hal ini, BPD merupakan wadah yang menyalurkan aspirasi masyarakat desa. Setiap keputusan kepala desa yang bersifat mengatur dan mempunyai akibat pembebanan terhadap masyarakat harus dimusyawarahkan dengan BPD. BPD merupakan lembaga yang seharusnya mengkomunikasikan politik pemerintah melalui musyawarah untuk mempertemukan kebijakan pemerintah dengan kepentingan masyarakat desa.

Namun demikian, secara cita-cita ideologis, apa yang di atur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tersebut, seringkali berbenturan dengan realita yang ada di masyarakat. Berbenturan dalam arti pelaksanaannya seringkali bahkan dapat dikatakan hampir tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Sebagai gambaran adalah fenomena yang terjadi pada pemerintahan desa di wilayah Kabupaten Probolinggo, khususnya desa-desa di Kecamatan Kotaanyar. Setiap desa di Kecamatan ini telah mempunyai Lembaga BPD sebagai bentuk implementasi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Desa-desa tersebut menjadi menarik untuk dikaji, sebab aturan-aturan atau tatanan dan pola-pola yang dibuat oleh pemerintah lebih didasari pemahaman yang sentralistik sekaligus seragam.

Dana Bantuan Keuangan Desa

Disalurkan melalui rekening kecamatan. Masalahnya dikarenakan tidak adanya verifikasi dilakukan oleh pihak kecamatan atas laporan pertanggung-jawaban yang disampaikan oleh desa, sehingga terdapat desa yang pertanggung-jawabannya kurang dari apa yang diterimanya. Selain itu, tidak adanya rekapitulasi dari pihak Dinas Pengelolaan Keuangan Pendapatan dan Aset (DPKPA) terhadap pertanggung-jawaban bantuan keuangan kepada desa yang disampaikan oleh pihak kecamatan.

 
Hal tersebut dinyatakan tidak sesuaikan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.13 Tahun 2006 Pasal 133 Ayat (2), penerimaan subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan bertanggung jawab atas penggunaan uang/barang dan atau jasa yang diterimanya dan wajib menyampaikan penggunaannya kepada Kepala Daerah. Dan, ayat (3), tata cara pemberian dan pertanggung-jawaban subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah.

 
Tugas DPKPA dalam pengelolaan dana bantuan keuangan kepada desa di antaranya menerima laporan SPJ dari kecamatan dan meneliti serta merekap laporan pertanggung-jawaban (SPJ) bantuan keuangan Desa.

 
Sedangkan tugas kecamatan dalam pengelolaan dana bantuan keuangan kepada Desa diantaranya, menerima laporan surat pertanggung-jawaban (SPJ) dana bantuan Desa dari Desa, memverifikasi laporan surat pertanggung-jawaban (SPJ) bantuan keuangan Desa dari Desa dan menyampaikan rekapitulasi laporan surat pertanggung-jawaban (SPJ) bantuan keuangan Desa kepada DPKPA.

PERATURAN DESA

Peraturan Desa ditetapkan oleh kepala desa setelah mendapat persetujuan bersama Badan Perwakilan Desa, yang dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi desa. Perdes merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing desa. Sehubungan dengan hal tersebut, sebuah Perdes dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Dalam konsep negara hukum yang demokratis keberadaan peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Desa dalam pembentukannya harus didasarkan pada beberapa asas. Menurut Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi membedakan 2 (dua) kategori asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut (beginselen van behoorlijk rcgelgeving), yaitu asas formal dan asas material. Asas-asas formal meliputi:
Asas tujuan jelas (Het beginsel van duideijke doelstellin)
Asas lembaga yang tepat (Het beginsel van het juiste orgaan)
Asas perlunya pengaturan (Het noodzakelijkheid beginsel)
Asas dapat dilaksanakan (Het beginsel van uitvoorbaarheid)
Asas Konsensus (het beginsel van de consensus)

RUU Desa dan Peran Sipil

TANGGAL 4 Mei 1999 Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang dikenal sebagai UU Otonomi Daerah disahkan. Dengan demikian sudah lebih dari 10 tahun UU itu dilaksanakan. Sejumlah keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaannya telah terjadi, namun menyangkut keotonomian desa yang sebenarnya tercantum dalam Pasal 1 Ayat O tentang Otonomi Desa, dapat dikatakan sama sekali tidak pernah disinggung apalagi dilaksanakan.

 
Munculnya RUU tentang Desa nampaknya menjadi harapan baru akan adanya otonomi desa yang sesungguhnya. Salah satu faktor penting dalam melaksanakan otonomi desa tersebut adalah tersedianya sumber dana yang memang selama ini tidak terlalu jelas jumlah dan asalnya.

 
RUU tentang Desa, Pasal 80 Ayat 1 menyebutkan bahwa sumber pendapatan desa berasal dari (nomor b): bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10% untuk desa dan dari retribusi kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi desa; dan (nomor c) bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% yang merupakan alokasi dana desa. Apabila RUU ini jadi diundangkan maka desa akan mempunyai kekuatan baru untuk melaksanakan seluruh kewajibannya yang memang cukup berat sesuai dengan RUU tentang Desa, Pasal 18 Ayat 2.

Desa Dipandang Sebelah Mata oleh Pemerintah

Desa adalah cikal bakal berdirinya sebuah negara, desa adalah pilar bangsa, desa adalah pondasi negeri ini, karena desa lebih dulu ada daripada Negara Republik Kesatuan Indonesia, desa diemukan pada tahun 1400 an oleh orang belanda yang bernama Herman Werner. Nama desa berasal dari bahasa urdu / sanskrit yang bersal dari kata swadesi yang artinya " tanah pusaka atau bumi leluhur ". itu sedikit sejarah tentang desa, lain kali akan kita kupas habis tentang desa, mulai desa di jaman kerajaan sampai dengan desa di jaman reformasi.

 
Sejak jaman reformasi bergulir, desa justru mengalami kemundurun di bidang perundang -undangan, pada saat orde baru desa masih punya UU khusus tentang desa yaitu UU no 57 tahun 1979. tapi pada saat ini desa hanya menumpang di UU No 32 tahun 2004, untuk itu kami Parade Nusantara ( Persatuan Rakyat Desa Nusantara ) induk organisasi kepala desa dan perangkat desa serta elemen desa lainya, sejak tahun 2007 mengajukan UU khusus tentang desa, dalam RUU Desa tersebut yang paling utama kita tuntut adalah Alokasi Dana Desa block grant / langsung dari APBN sebesar 10 %, dan kami anggap ini sangat logis dan wajar karena jumlah penduduk di Indonesia 78 % nya hidup dan tinggal didesa. Tuntutan ini juga sebagai jawaban terhadap sebagian besar permasalahan ( penyakit ) bangsa tentang kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, yang sebagian besar ditimpa oleh rakyat desa. Tiga penyakit bangsa itu terjadi karena adanya " diskriminasi " anggaran terhadap rakyat desa ini tercermin pada APBN tahun 2009 yaitu alokasi anggaran untuk desa hanya 1,3 %. Jelas sekali dapat terukur secara terang diskriminasinya dari APBN tahun 2009 itu bahwa jumlah rakyat desa di Indonesia berjumlah 78 % hanya mendapat belas kasihan anggaran APBN 1,3 %………sangat ironis.

Seberapa efektif alokasi dana pembangunan desa

Kandasnya usulan dana aspirasi (Program Percepatan dan Pemerataan Pembangunan Daerah/P4D) Rpi5 miliar per anggota DPR, rupanya tidak membuat Golkar kehilangan proposal cadangan.

 
Jajaran elite partai berlambang pohon beringin itu, hari-hari ini giat meyakinkan publik dan mitra koalisinya ihwal urgensi alokasi dana pembangunan sebesar Rpl miliar untuk setiap desa/kelurahan di seantero negeri. Di tataran substansi, Golkar mendengungkan gagasan besar di balik usulannya membangun Indonesia dari desa sebagai basis terendah pemerintahan dan locus kehidupan masyarakat.

 
Untuk itu, negara-melalui instrumen fiskal-harus terus memperbesar alokasi transfer bagi pembiayaan pembangunan desa. Kalau dalam kasus dana aspirasi, pendekatannya adalah daerah pemilihan (dapil), maka proposal baru ini menggunakan pendekatan berbasis program pembangunan.

 

Otonomi Desa

melaksanakan otonomi desa pada 2011, yakni ditandai pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) serta pengelolaan keuangan desa. Secara umum,
otonomi desa dapat digambarkan sebagai kinerja pemerintah (eksekutif) di desa.

 
Sistem dan pola pemerintahan yang sama dengan tingkat kabupaten atau kota itu, imbuh dia sehingga seperti halnya pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten dan kota (bupati dan wali kota) maka kepala desa terpilih harus memiliki visi dan misi selama lima tahun ke depan yang dijabarkan dalam RPJMDesa, serta Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa).

 
Rencana anggaran itu disusun bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk kegiatan tiap tahun.

 
Pemerintah Desa harus menyusun APBDesa yang setelah mendapat persetujuan bersama
dari BPD, kemudian diajukan kepada bupati atau wali kota untuk ditetapkan sebagai Peraturan Desa.

 

Desa harus dibangun dan diberdayakan.

Desa beserta pemerintahannya tidak berdaya, banyak warga miskin dan pengangguran di desa, langgengnya kelangkaan bahan baku, kuatnya jeratan rentenir, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan bagi warga desa, tiadanya modal usaha yang cukup di desa, KKN di desa, langka-nya air irigasi dan pupuk pertanian, tiadanya bibit lokal, murahnya hasil produksi pertanian, rusaknya infrastruktur di desa, terhambatnya inisiasi kreatif di Desa, dll, semua itu adalah "KEPUTUSAN POLITIK". Akan LANGGENG jika DIBIARKAN, dan akan BERUBAH jika ADA GERAKAN PERUBAHAN yang KUAT. Agen perubahan adalah Pemerintah dan Rakyat.

 
Coba!, rasakan denyut nadi dan urat saraf kehidupan desa. Sekarang, 'Apa yang masih tersisa di Desa?'. Kemiskinan, pengangguran, kelemahan dan kelangkaan, itu gambaran yang melekat kuat di desa. Itupun kerap diikuti oleh rasa sensitifitas yang tinggi (karena kompetitif) antar sesama, sehingga potensi konflik demikian besar, dan sering meletup walau dalam ukuran kecil. Justru dari sini, kerenggangan sosial, ekonomi, politik dan tata nilai semakin melebar. Seolah, yang tersisa di desa adalah 'masalah', 'frustasi sosial' dan tempat membuang sampah 'modernitas' dan sampah 'pembangunan'. Demikian itu, masih ditambah dengan kapitalisasi sektor-sektor layanan publik, bahkan publik pun menjadi barang dagang. Berapa-pun pendapatan warga desa, pada saatnya akan terserap (disesep) oleh bentuk-bentuk layanan tersebut. Dan, desa akan terpapar dan mejadi jalur buang dari gelanggang bebas pertarungan kapital.

Arah Kebijakan tentang Desa

Dalam konteks kebijakan atau regulasi tentang desa, yang diperlukan bukan sebuah pengaturan yang rigid dan seragam atas pemerintahan desa, melainkan suatu panduan yang bersifat longgar, sehingga terbuka peluang bagi setiap desa untuk membangun otonomi desa berdasarkan sejarah, kultur, tradisi, dan struktur social desa. Melalui keanekaragaman format desa tersebut diharapkan akan terbentuk otonomi desa yang sesuai dengan karakter dan akar sosial-budaya masyarakat setempat.

 
Dengan begitu sifat dan titik-tekan UU tentang Desa semestinya bukanlah semata-mata mengatur masalah kewenangan Kades dan aparat pemerintahan desa yang lain, melainkan lebih pada jaminan Negara untuk melindungi karakteristik asli desa di satu pihak, dan mempertahankan otonomi desa di pihak lain. Itu artinya, format pemerintahan desa bisa sangat beragam dan tidak mesti diatur secara rinci oleh UU tentang Desa. Dalam konteks lembaga perwakilan misalnya, bisa saja suatu desa tetap mempertahankan model BPD ataupun Bamusdes jika hal itu diangap lebih baik bagi masyarakat setempat. Bagi desa-desa yang telah memiliki

Membangun impian sebuah desa ideal imajiner

sebenarnya yang terutama harus dilakukan bersama adalah penyamaan persepsi tentang tujuan dan kegunaan dari adanya kebijakan otonomi daerah. Ketika kita mempertanyakan mulai darimana otonomi dilaksanakan, maka yang paling utama penerapan otonomi desa. Desa yang selama ini dijadikan sapi perahan dan 'budak' terbawah dalam sebuah sistem pemerintahan ORBA yang otoriter harus diubah pemahamannya menjadi sebuah wilayah otonom yang mampu mengelola dan mengambil keputusan sendiri dalam melaksanakan pengembangan desanya, meskipun masih terkait dengan kecamatan sebagai wilayah regional yang paling dekat. Desa harus dipandang sebagai satuan terkecil dari NKRI yang mana akan memberi sumbangan dan warna dalam pembangunan keseluruhan bangsa Indonesia.

 
Penyediaan prasarana dan sarana dasar
Dalam program pengembangan masyarakat pedesaan , untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak maka dibutuhkan prasarana dan sarana dasar yang utama harus ada dalam sebuah desa antara lain :
Sarana perumahan yang sehat, indah, harmonis
Sarana kesehatan (ketersediaan air bersih, saluran pembuangan, MCK, polindes, posyandu dll)
Sarana pendidikan (formal, non formal, informal)

Tentang RT RW

RW masuk di struktur masyarakat. Kepengurusan RW mesti orang yang sudah mengetahui lingkungan setempat agar semuanya bisa terkoordinir, bukan di luar lingkungan perumahan atau kampung
RW bagian dari pelayan publik, namun secara status dan kelembagaan RW lebih bersifat sebagai unit mandiri dan tidak dibiayai ataupun dianggarkan secara khusus dan kontinu oleh APBD, dan hanya dianggarkan lewat dana hibah.
RW tidak masuk dalam unsur pemerintahan. Karena unsur pemerintahan paling terbawah itu adalah kelurahan.
Kelurahan adalah instansi Pemerintah yang terbawah yang langsung membawahi penduduk juga merupakan pintu awal dalam kepengurusan pelayanan masyarakat sebelum ketingkat selanjutnya. Dengan berbagai macam urusan pelayanan masyarakat dari lahir sampai dengan meniggal dunia, berbeda dengan instansi-instasi lain padaumunya hanya mengurusi bidang-bidang tertentu sesuai fungsinya engan tingkat kehidupan social, karakter, agama ,status penduduk yang berbeda-beda merupakan bahan masuan bagi Kelurahan didalam melayani mereka yang kadang-kadang menjumpai permasalahan didalam proses pelayanan, baik mengenai data, status pendudukl yang kurang jelas maupun karakter masyarakat.

Kewenangan Desa : Antara Mimpi dan Kenyataan

PP No. 72 /2005 tentang Desa ternyata dinilai lebih longgar dalam melakukan desentralisasi kekuasaan terhadap desa. PP tersebut kembali menghidupkan peran BPD sebagai parlemen desa untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan desa. Meskipun demikian, tentu saja sebagai suatu peraturan pelaksanaan dari UU No. 32/2004, PP itu tidak banyak mampu menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di desa. Garis sub ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam PP tentang desa itu, yang pada pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal, pasal 202 ayat (1) UU No. 32/2004 memberikan pengertian pemerintah desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa.
 
Seperti dilansir dari sinar harapan beberapa waktu lalu menurut Persada Girsang Dirjen Pemdes Depdagri mengungkapkan banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang sebenarnya masuk akal dan memang harus dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut saja keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi benturan kepentingan dan bisa merugikan rakyat. Girsang menyatakan otonomi yang sesungguhnya bukan di kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari kabupaten.

RPJMDes Yang Tidak Partifipatif

Dalam beberapa analisis terhadap desa yang membuat RPJMDes, menganggap bahwa perencanaan pembangunan desa masih kurang partisipatif dan masih bersifat klise semata. Dalam beberapa perencanaan masih dibuat oleh Kepala Desa sendiri maupun oleh Sekretaris desa, setelah itu baru diajukan kepada ketua BPD. Padahal melihat betapa pentingnya RPJMDes yang lebih partisipatif akan menunjang sebuah perencanaan pembangunan di desa. Dari beberapa temuan yang ditemukan di lapangan, masih adanya beberapa musrenbang desa maupun pembuatan RPJMDes yang tidak melalui bottom up, alangkah baiknya jika musrenbang desa maupun yang lainnya dilakukan dari musyawarah di tingkat RT. Setelah hasil-hasil yang dicapai ditingkat RT akan di musyawarahkan lagi di tingkat RW, selanjutnya tingkat dusun dan selanjutnya tingkat desa.

Menanggulangi Kemiskinan Desa

Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life (James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit.
(1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.

Korupsi Aturan Lebih Bahaya dari Korupsi Uang

 

Korupsi peraturan dipandang lebih berbahaya dibandingkan korupsi uang. Alasan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, karena begitu pelaku korupsi uang sudah dihukum, ia akan bebas dan melenggang.

"Korupsi yang dilakukan sejak pembuatan peraturan membuka pintu korupsi lanjutan," kata Mahfud, di sela-sela Peluncuran dan Bedah Buku, Negeri Mafia Republik Koruptor karya Benny K Harman di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Jumat 25 Mei 2012 malam.

Pejabat Penjilat

Pejabat PenjilatSuatu hari Abu Nawas diundang sultan untuk mengikuti pertemuan di istana yang para menterinya suka bermaksiat dan cenderung korup. Sebelum pertemuan laksanakan, Abu Nawas dipanggil menghadap sultan.

“Wahai Abu Nawas maukah kau aku beri tugas?” tanya Sultan. Abu Nawas menyatakan kesediaannya. “Apa hukumannya kalau kau gagal dalam melaksanakan tugas?” desak Sultan.

“Aku siap dihukum 10 kali cambukan,” ujar Abu Nawas.

Sultan pun memerintahkan para dayangnya untuk mempersiapkan pakaian ala kerajaan kepada Abu Nawas. Pertemuan dilakukan esok harinya. Abu Nawas muncul di tengah pertemuan dengan berpakaian ala kerajaan, kecuali pecinya yang kumal dan lusuh.

RUU Pemerintahan Daerah Dan RUU Desa Serap Aspirasi Isu Strategis

Wakil ketua pansus RUU tentang Desa, Khatibul Umam Wiranu mengatakan kunjungan tersebut adalah dalam rangka menyerap masukan dan aspirasi dari pejabat pemerintahan daerah, terkait UU No. 32 Tahun 2004 tentang RUU tentang Pemerintahan Daerah dan RUU tentang Desa, untuk membahas point-point penting seperti pembentukan daerah otonom, pembagian perumusan pemerintahan, daerah berciri kepulauan, tata cara kepemilikan daerah, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, forum komunikasi atau musyawarah kepemimpinan daerah, dan perangkat daerah, aparatur serta pelayanan publik.
“Kita datang ke daerah untuk menyerap aspirasi pemerintahan daerah dan mendapatkan masukan dalam penyusunan penyempurnaan UU Pemda, UU Desa dan Pilkada yang secara bersamaan dibahas di Komisi II dan Pansus” ujar Khatibul Umam Wiranu
Khatibul Umam Wiranu menambahkan dipilihnya Provinsi Kalimantan Timur adalah sebagai salah satu daerah penghasil minyak bumi dan gas (migas) dan batu bara. “ Kita perlu mendengarkan aspirasi dari pemerintah yang daerahnya merupakan salah satu penyumbang terbesar debisa negara melalui hasil migas dan batu bara. Selain itu juga ini terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah” katanya.

DPR Akan Perjuangkan RUU Desa Tuntas 2012 Ini

DPR Akan Perjuangkan RUU Desa Tuntas 2012 Ini Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan, Pimpinan Dewan akan mendorong dan memperjuangkan penuntasan RUU Desa pada tahun 2012 ini.
     "Saat ini RUU Desa memang sedang dibahas oleh Pansus RUU Desa dan Sejumlah anggota dewan telah melakukan proses pelengkapan naskah serta beberapa anggota sudah melakukan Kunjungan kerja, ke tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Sumbar, dan Papua,"ujar Taufik Kurniawan saat menerima Ketua Parade Nusantara Sudir Santoso dan Ketua Umum Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) Pusat Ubaidi Rasidi serta rombongan, di Gedung Nusantara, Kamis, (31/5).

RUU Desa Berikan Jaminan Ekonomi bagi Rakyat Desa

Rancangan Undang-Undang tentang Desa yang sedang dibahas Panitia Khusus (Pansus) DPR RI diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi keragaman desa di tanah air dengan segala kekhususannya.

"Kita menargetkan RUU ini ditargetkan dapat diselesaikan pada akhir tahun ini,"ujar Wakil Ketua Pansus RUU Desa Budiman Sudjatmiko (F-PDIP) saat pertemuan Tim Pansus RUU Desa dengan civitas akademika Universitas Andalas (Unand) Padang, Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (28/5), acara diskusi mengangkat tema Politik dan Demokratisasi Pedesaan.

Budiman menjelaskan, sejak Indonesia merdeka baru pada tahun ini UU tentang Desa dibahas“DPR periode 2004-2009 sudah mulai mewacanakan namun tidak sempat menindaklanjuti," ucap mantan aktivis ini.

Sunday, 11 November 2012

MI Muhammadiyah 5


Taman Pendidikan Ihyaul Ulum


Balai Desa Cangaan Tampak dari Utara


Tuesday, 6 November 2012

8 sapi dan 11 kambing, qurban jamaah Masjid At-TAqwa

Idul Adha Tahun 2012 kali ini merupakan tanda meningkatnya semangat warga jamaah Masjid At-Taqwa dalam beribadah untuk mendekatkan diri terhadap-Nya, terbukti tahun ini hewan qurban yang terkumpul sebanyak 8 ekor sapi dan 11 ekor kambing, meningkat drastis dibanding tahun sebelumnya, walaupun pada tahun  ini jamaah disibukkan dengan pembangunan fisik Masjid yang juga sangat memerlukan sumbangan dari jamaah baik amal jariah, tenaga, maupun kosumsi harian.
Mudah-mudahan semangat ibadah yang tinggi  dari jamaah bisa dipertahankan untuk tahun selanjutnya, dan smoga ibadah qurban yang telah dilaksanakan diterima oleh Allah SWT, amin

Berikut gambaran kegiatannya !


Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More