Era Otonomi Daerah
Runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998
memunculkan semangat reformasi sistem pemerintahan RI yang awalnya cenderung
sentralistik ke arah yang lebih desentralistik. Salah satu perubahan yang
sangat strategis adalah adanya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah melalui pemberlakuan Undang-undang Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggantikan Undang-undang Nomor 5
tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Pemberlakuan undang-undang baru
tersebut memberikan kepada daerah, kekuasaan penyelenggaraan urusan rumah
tangga daerah secara utuh dan bulat, khususnya kepada Daerah Kabupaten dan
Daerah Kota, dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam kerangka Negara Kesatuan
RI .
Beberapa karakteristik legal yang tampaknya
perlu dipahami oleh masyarakat luas dengan adanya otonomi daerah antara lain
adalah : (Desi Fernanda, 2002)
1.
Meletakkan otonomi daerah sebagai
wujud pengakuan kedaulatan rakyat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas daerah tertentu dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai dengan
aspirasi masyarakat setempat.
2.
Daerah Otonom Kabupaten dan Kota
tidak lagi merangkap sebagai wilayah administrasi pusat, sehingga tidak lagi
ada perangkapan jabatan Kepala Daerah dan sekaligus Kepala Wilayah.
3.
Menempatkan seluruh kewenangan
pemerintahan pada Derah Kabupaten dan Kota yang lebih dekat dengan masyarakat,
kecuali kewenangan-kewenangan tertentu yang ditetapkan sebagai kewenangan
Propinsi dan kewenangan Pusat. Kewenangan Propinsi terbatas pada bidang-bidang
yang bersifat lintas Daerah Kabupatan/Kota, atau kewenangan yang belum dapat
dilaksanakan oleh Daerah/Kota. Kewenangan Pusat antara lain meliputi lima
bidang strategis, yaitu politik luar negeri, agama, ekonomi moneter, pertahanan
dan keamanan, dan hukum/peradilan .
4.
Tidak ada hubungan hirearki antara
daerah otonom Kabupaten dan Kota dengan daerah otonom Propinsi. Jadi Daerah
otonom Kabupaten/Kota bukanlah bawahan daerah otonom Propinsi.
5.
Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD
setempat. Artinya Kepala Daerah wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan
tugasnya kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran, dan akhir masa jabatan.
6.
Kedudukan keuangan daerah otonom
menjadi lebih kuat dengan adanya
desentralisasi fiskal, di mana daerah tidak lagi mendasarkan pengelolaan
keuangannya kepada ketentuan alokasi dari Pusat, melainkan memilki otonomi penuh
untuk mengelola keuangan daerah , dengan kewajiban melaporkannya kepada DPRD,
sebagai bentuk akuntabilitas.
7.
Struktur perangkat pemerintahan
daerah tidak lagi seragam, melainkan boleh bervariasi sesuai dengan potensi dan
keanekaragaman daerah. Sedangkan Kecamatan dan Kelurahan tidak lagi merupakan
perangkat pemerintahan wilayah tetapi menjadi perangkat daerah otonom.
8.
Pengawasan oleh Pusat lebih
bersifat preventif daripada represif, sehingga terdapat keleluasaan bagi daerah
untuk melaksanakan otonominya tanpa campur tangan Pusat, kecuali jika ternyata terdapat kebijakan daerah yang
bertentangan dengan kebijakan nasional atau yang lebih tinggi.
Dana Pembangunan Daerah
Pembangunan daerah mustahil bisa
dilaksanakan dengan baik tanpa adanya dana yang mencukupi. Dalam pasal 27
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 telah diatur bahwasanya dalam rangka
pembiayaan pelaksanaan desentralisasi, daerah akan mengandalkan pada
sumber-sumber penerimaan yang terdiri atas : (1) Pendapatan Asli Daerah – PAD;
(2) Dana Perimbangan; (3) Dana Pinjaman; dan (4) lain-lain Penerimaan yang sah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan
yang dihasilkan dari upaya daerah sendiri yang berasal dari berbagai sumber,
antara lain adalah dari pajak daerah, retribusi, hasil keuntungan perusahaan
daerah, dan dari berbagai hasil usaha lainnya yang sah menurut peraturan.
Kemampuan daerah untuk memperoleh PAD rata-rata sangat rendah, bahkan untuk
menutupi biaya rutin pun sangat kekurangan. Untuk daerah otonomi Kabupaten dan
Kota dana yang diperoleh dari PAD hanya sekitar 13% dari dana yang dimiliki,
sedangkan di daerah otonomi Propinsi sebanyak 30%. (Deddy Supriadi B. , 2002).
Dana Perimbangan adalah dana yang diperoleh
pemerintah Daerah dari pemerintah Pusat, baik yang berasal dari PBB, Bea
Perolehan Hak atas tanah dan Bangunan, Penerimaan Sumber Daya Alam, Dana
Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Penerimaan dari PBB dibagi dengan imbangan 10% untuk Pemerintah Pusat dan 90%
untuk Daerah; penerimaan dari BPHTB dibagi dengan imbangan 20% untuk Pusat, dan
80% untuk Daerah; penerimaan dari Sumber Daya Alam dibagi dengan imbangan 20%
bagi pemerintah Pusat dan 80% untuk Daerah.
Satu hasil penelitian yang dilakukan oleh
SMERU dan hasilnya diseminarkan di Bali pada bulan Juni 2002, menunjukan bahwa
dalam UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat –Daerah tidak diatur penerimaan dari sektor
perkebunan, sehingga daerah yang memiliki areal perkebunan merasa dirugikan
karena daerah tidak memperoleh pendapatan dari sektor tersebut. “ In
addition, those regions with established industries that make a significant
contribution to state revenue, such as the tobacco industry in Kabupaten Kudus,
do not receive a share of the profits despite the fact that the natural
resources upon which the industries are based lies within their territory. As a
result, these regions feel that they have been treated unfairly by regional
autonomy laws”. Perlu diketahui yang diatur dalam undang-undang tersebut
hanya mencakup penerimaan dari sektor minyak bumi, gas alam, kehutanan,
pertambangan umum, dan perikanan.
Berdasarkan data APBD tahun anggaran 2001
untuk 82 Kabupaten/Kota di Indonesia, dapat diketahui bahwa dana perimbangan
menempati porsi terbesar yaitu rata-rata 77% (Sadu Wasistiono, 2002). Yang
terkecil adalah Kabupaten Badung yakni 32% sedangkan yang terbesar Kabupaten
Kutai Kertanegara sebesar 99%. Khusus untuk Kota Palu, mencapai 90%.
Melihat lebih besarnya pendapatan daerah
Kabupaten/Kota yang diperoleh dari Dana Perimbangan dibandingkan dengan
Pendapatan Asli Daerah, maka dapat
dikatakan daerah masih belum bisa otonomi secara sepenuhnya. Artinya
desentralisasi dalam aspek ekonomi, politik, dan sosial, belum diimbangi dengan
desentralisasi aspek fiskal, dan akibatnya ketergantungan Daerah kepada Pusat masih
sangat dirasakan.
Sumber Daya Manusia sebagai
kekuatan utama pembangunan daerah.
Sebagian besar upaya yang dilakukan
daerah untuk bisa mengurangi dana yang diperoleh dari pemerintah pusat adalah
dengan memacu uapaya memperoleh Pendapatan Asli Daerah sebesar mungkin. Metode
yang paling populer sampai dengan saat ini adalah dengan mengesploitasi Sumber
Daya Alam daerah yang ada, dan melalui Pajak dan Retribusi Daerah. Cara pertama
sangat mungkin dilakukan apabila di daerah SDA nya memang berlimpah, namun bagi
daerah yang miskin akan SDA umumnya mengambil jalan lain yaitu meningkatkan
penerimaan dengan cara kedua . Terlepas dengan cara daerah memperoleh PADnya,
yang menjadi pertanyaan “mampukah daerah menggali dengan bermodalkan sumber
daya manusia yang ada di daerahnya sendiri?”
Ada slogan yang cukup terkenal dalam
dunia industri “ Assets make things possible, people make things happen”
. Artinya kekayaan alam, modal, bahan baku, dan asset-aset lainnya membuat
sesuatu itu mungkin, namun hanya melalui tangan-tangan manusialah membuat
semuanya itu terjadi. Indonesia boleh mempunyai laut yang luas penuh dengan
ikan, namun tanpa nelayan yang baik, ikan tersebut akan tetap menjadi ikan yang
ramai berenang-renang di dalam lautan. Daerah bisa punya modal sendiri atau
modal asing, atau hasil penarikan pajak dan retribusi, namun tanpa manusia yang
akhli dan bermoral dalam mengelola uang tadi, dapat kita bayangkan bagaimana
jadinya. Demikian pula, daerah boleh mempunyai
kekayaan alam yang berlimpah, namun tanpa ada sumber daya manusia yang
mengolahnya secara benar, kekayaan alam tersebut bukannya menjadi sumber yang
bermanfaat, melainkan lebih banyak mudharatnya.
Berdasarkan laporan-laporan tertulis
maupun lisan, ternyata semangat reformasi yang di dalamnya adalah juga
pelaksanaan otonomi daerah, masih belum sepenuhnya bisa diterjemahkan menjadi
tindakan. Dalam salah satu laporannya Ahmad Subagya (2002) salah satu anggota
Dewan Konsultasi Otonomi Daerah Kabupaten Bantul mengemukakan beberapa kendala
pelaksanaan otonomi daerah, yang antara lain adalah :
1.
Partisipasi masyarakat rendah..
Sebagian
besar masyarakat kabupaten/kota mempunyai persepsi bahwa otonomi daerah
merupakan persoalan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini berakibat pada
rendahnya partisipasi masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah
menjadi rendah. Salah satu akibatnya adalah, dalam perencanaan dan persiapan
lainnya pemerintah kabupaten sibuk sendirian, dan kurang mendapat dukungan atau
kontrol dari masyarakat. Masyarakat tidak perduli pemerintah siap atau tidak,
cenderung menunggu dan melihat apa yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Bagi masyarakat, yang penting ada perubahan pada kinerja pemerintah sehingga
masyarakat memperoleh pelayanan yang lebih baik dan murah. Sikap menunggu ini
akan sangat mengganggu pelaksanaan otonomi daerah karena sesungguhnya
pelaksanaan otonomi daerah akan sangat diuntungkan dengan adanya partisipasi
masyarakat.
Permasalahan ini juga ditemukan oleh
penelitian yang dilakukan oleh SMERU, yang antara lain berbunyi :“The
implementation of regional autonomy must include the involvement of wider
circle of participation outside the boundary of government and the bureaucracy.
The responsibility of local communities in each autonomous region must also
taken into account, so that government and the community share responsibility
for successful implementation of regional autonomy. This implies that the
implementation of regional autonomy will be a long-term process, which must be
widely understood not only by local government but also by civil society”
2.
Sikap dan mentalitas aparatur
Pemerintah Daerah
Sikap
mentalitas aparatur pemerintahan daerah merupakan salah satu kunci penting
keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, karena merekalah ujung
tombak dan eksekutor program tersebut. Ada gejala cukup menonjol pada hampir
semua pemerintah kabupaten bahwa sikap dan mentalitas aparatur baik eksekutif
maupun legislatif masih menyisakan pengaruh pemerintah yang sentralistik,
sehingga mereka lebih baik menunggu dan kurang berani mengambil inisiatif dan
prakarsa untuk melaksanakan fungsi keotonomian daerahnya. Kondisi ini sudah
tentu tidak menguntungkan pelaksanaan otonomi daerah, karena kepeloporan
aparatur pemerintahan daerah mutlak diperlukan.
Di samping itu, ada dua pandangan lain
yang tampaknya juga mendukung dua hasil penelitian tersebut di atas, yang datangnya dari Muadim Bisri, SH, Sag. Dalam
makalahnya yang berjudul “Melacak Problematika Otoda” . Pertama, otonomi daerah
dicurigai sebagai proses transformasi kolusi, korupsi, dan nepotisme ke tingkat
daerah, ini juga ternyata terbukti. Banyaknya anggaran belanja daerah yang
tidak jelas serta melimpahnya permintaan fasilitas kesejahteraan para eksekutif maupun
legislatif tingkat daerah merupakan bukti yang nyata. Kedua, kendala yang muncul berikutnya adalah
rendahnya kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM). Perda-perda yang
ditelorkan sebagai konsekuensi dari perubahan pola anggaran proyek dan program
telah menimbulkan kekhawatiran baru, karena ternyata di daerah tingkat I dan II
masih minim staf akhli di bidang keuangan dan manajemen yang diperlukan (Bisri,
2002)
Mencermati permasalahan di atas, maka apa
yang sekiranya harus dilakukan oleh daerah dalam menghadapi otonomi ini.
Adhitya Wardono dan Asep Mulyana dalam makalah yang yang disampaikan di
Frankrut, berjudul “Sumberdaya Padat Otak dan Otonomi Daerah” mengutip buah
pikiran seorang ekonom Friedrich List yang mengemukakan konsep Pendekatan
Tenaga Produktif. Rekomendasinya adalah kemakmuran suatu daerah (bangsa)
bukan disebabkan oleh akumulasi harta dan kekayaan, melainkan dengan cara
membangun lebih banyak tenaga yang produktif. Dengan pendekatan ini akan
terjadi kekuatan swadaya setempat yang mampu menunjang kemakmuran ekonomi suatu
daerah atau bangsa. Yang dimaksud oleh Friedrich List dengan Tenaga
Produktif adalah karya kreatif, inovatif, pemahaman atas kekuasaan dan hokum,
hak dan kewajiban masyarakat, efektivitas penyelenggaraan pemerintah, ilmu dan
kebudayaan, dan sikap terhadap hak asasi manusia serta mentaati norma agama.
(Wardono dan Mulyana, 2001).
Hubungan antara Kemajuan
Daerah dengan Sumber Daya Manusia
Dari apa yang dikemukakan oleh Fredrich
List tersebut di atas maka uraian berikutnya
berupaya menjelaskan sejauh mana hubungan antara kemakmuran daerah yang
indkatornya adalah kemakmuran ekonomi dengan variabel sumber daya manusia.
Dengan mengetahui hubungan yang terjadi di antara kedua variabel tersebut
penulis ingin lebih meyakinkan kepada pembaca betapa pentingnya pemerintah
Daerah/Kota/Propinsi untuk memfokuskan upayanya pada peningkatan kualitas
sumber daya manusia di daerahnya masing-masing.
Data yang digunakan dalam mencari hubungan
tersebut berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan pada tahun 2001 terhadap 26 Propinsi dari 30 Propinsi
yang ada di Indonesia. Judul penelitiannya adalah Daya Saing Daerah : Konsep
dan Pengukurannya di Indonesia. Penelitian dilakukan oleh Piter Abdulah, SE., MA,
Dr. Armida S. Alisjahbana, Dr. Nurry Effendi, dan Dr. Budiono.
Secara umum, penelitian tersebut
bertujuan memberikan gambaran tentang daya saing dari 26 Propinsi.
Variabel-variabel penelitian utama meliputi Perekonomian Daerah, Keterbukaan,
Sistem Keuangan, Infrastruktur dan Sumber Daya Alam, Ilmu pengetahuan dan
Teknologi, Sumber Daya Manusia, Kelembagaan, Governance dan Kebijakan
Pemerintah, serta Manajemen dan Ekonomi Mikro. Analisis dari ke sembilan
variabel tersebut menganghasilkan Daya Saing dari setiap Propinsi di
Indonesia.
Dalam penelitian tersebut variabel
Perekonomian Daerah didefinisikan sebagai ukuran kinerja secara umum dari
perekonomian makro (daerah) yang meliputi penciptaan nilai tambah, akumulasi
kapital, tingkat konsumsi, kinerja sektoral perekonomian, serta tingkat biaya
hidup. Indikator kinerja ekonomi makro mempengaruhi daya saing daerah melalui
prinsip-prinsip berikut: (halaman 17)
1.
Nilai tambah merefleksikan
produktivitas perekonomian, setidaknya dalam jangka pendek.
2.
Akumulasi modal mutlak diperlukan
untuk meningkatkan daya saing dalam jangka panjang.
3.
Kemakmuran suatu daerah
mencerminkan kinerja ekonomi di masa lalu.
4.
Kompetisi yang didorong mekanisme
pasar akan meningkatkan kinerja ekonomi suatu daerah. Semakin ketat kompetisi
pada suatu perekonomian daerah, maka akan semakin kompetitif
perusahaan-perusahaan yang akan bersaing secara internasional maupun domestik
Tabel di bawah ini menunjukan
peringkat daerah menurut indikator perekonomian daerah.
Tabel :
Pemeringkatan Daerah Menurut Indikator Perekonomian Daerah
Propinsi
|
Perekonomian Daerah
|
SUB INDIKATOR
|
|||||
Nilai Tambah
|
Inves- tasi
|
Tabung-an
|
Konsumsi
|
Kinerja
Sektoral
|
Biaya
Hidup
|
||
DKI
|
1
|
2
|
1
|
1
|
2
|
1
|
15
|
Jawa
Barat
|
2
|
3
|
5
|
3
|
6
|
3
|
8
|
Kalimantan
Timur
|
3
|
1
|
9
|
13
|
21
|
2
|
10
|
Jawa
Tengah
|
4
|
7
|
14
|
6
|
1
|
4
|
18
|
Riau
|
5
|
8
|
6
|
18
|
5
|
7
|
7
|
Sumatera
Utara
|
6
|
10
|
7
|
5
|
8
|
6
|
16
|
DI
Yogjakarta
|
7
|
4
|
17
|
4
|
13
|
5
|
14
|
Kalimantan
Tengah
|
8
|
24
|
4
|
8
|
3
|
12
|
25
|
Jawa
Timur
|
9
|
5
|
3
|
2
|
18
|
24
|
24
|
Sulawesi
Selatan
|
10
|
12
|
2
|
12
|
16
|
15
|
17
|
Kalimantan
Barat
|
11
|
13
|
10
|
10
|
17
|
11
|
5
|
Bali
|
12
|
15
|
15
|
9
|
25
|
8
|
6
|
Nusa
Tenggara Timur
|
13
|
17
|
19
|
7
|
12
|
22
|
1
|
Sumatera
Selatan
|
14
|
11
|
8
|
14
|
7
|
19
|
26
|
Sulawesi
Utara
|
15
|
9
|
24
|
16
|
11
|
13
|
3
|
Sumatera
Barat
|
16
|
18
|
16
|
22
|
9
|
9
|
9
|
Irian
Jaya
|
17
|
6
|
11
|
19
|
14
|
25
|
12
|
Sulawesi
Tenggara
|
18
|
20
|
13
|
15
|
10
|
16
|
20
|
Lampung
|
19
|
14
|
12
|
21
|
23
|
17
|
13
|
Jambi
|
20
|
23
|
22
|
17
|
4
|
14
|
22
|
Sulawesi
Tengah
|
21
|
16
|
18
|
20
|
24
|
20
|
11
|
DI
Aceh
|
22
|
25
|
21
|
26
|
19
|
10
|
4
|
Kalimantan
Selatan
|
23
|
19
|
23
|
11
|
22
|
23
|
19
|
Nusa
Tenggara Barat
|
24
|
21
|
20
|
23
|
20
|
21
|
21
|
Bengkulu
|
25
|
22
|
25
|
25
|
25
|
18
|
23
|
Maluku
|
26
|
26
|
26
|
24
|
26
|
26
|
2
|
Dalam laporan penelitian tersebut
diuraikan (halaman 31-32) bahwa dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa DKI
Jakarta, Propinsi Jawa Barat, dan Kalimantan Timur merupakan 3 daerah dengan
kondisi perekonomian makro yang terbaik. Jika dilihat dekomposisi menurut
sub-indikatornya, maka kinerja perekonomian DKI
Jakarta digerakkan oleh investasi yang bersumber dari tabungan,
konsumsi, dan semua ini tercermin pada peringkat kinerja sektoral dan nilai
tambah yang tinggi. Satu faktor yang cenderung memperlemah kinerja perekonomian
DKI Jakarta adalah biaya hidup yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
banyak daerah lain (peringkat ke-15). Hal yang hampir sama berlaku pula untuk
Propinsi Jawa Barat. Gambaran kinerja sub-indikator Propinsi Kalimantan Timur
sedikit berbeda dalam hal kekuatan perekonomian daerahnya yang ditopang oleh
aspek investasi, kinerja sektoral dan nilai tambah, akan tetapi lemah dalam
aspek konsumsi dan rata-rata aspek tabungan.
Gambaran kinerja sub-indikator bagi
propinsi-propinsi yang berada pada peringkat menengah dari indikator
perekonomian daerah (Propinsi Bali,
Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Propinsi Sumatera Selatan) menunjukan adanya
kombinasi antara dua atau tiga sub-indikator dengan kinerja tinggi, dan
selebihnya dengan kinerja di bawah rata-rata nasional. Bagi Propinsi Nusa
Tenggara Timur, aspek biaya hidup dan
tingkat tabungan relatif memiliki peringkat yang tinggi secara nasional,
tetapi hal ini tidak didukung oleh kinerja sektoral, nilai tambah maupun
tingkat investasi. Propinsi Bali kuat dalam hal aspek tabungan dan kinerja
sektoral, dengan didukung oleh tingat biaya hidup yang relatif murah
dibandingkan banyak daerah lain. Meskipun Propinsi Sumatera Selatan cukup
kondusif dari sisi investasi, nilai tambah dan pengeluaran konsumsi konsumsi ,
namun tidak didukung oleh kinerja sektoralnya, dan terhambat oleh laju inflasi
yang tinggi.
Untuk tiga propinsi dengan peringkat
perekonomian daerah yang terbawah, yaitu Propinsi Nusa Tenggara barat,
Bengkulu, dan Maluku, hampir semua sub-indikatornya berada pada peringkat yang
sangat rendah. Kinerja perekonomian daerah tidak digerakkan oleh investasi ataupun konsumsi, sehingga
perekonomian daerah praktis berada pada posisi yang stagnan. Kinerja perekonomian
daerah yang rendah ini kemudian lebih diperburuk lagi oleh tingkat biaya hidup
yang relatif tinggi, kecuali untuk Propinsi Maluku.
Kepulauan Sulawesi yang diwakili oleh
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara,
menduduki peringkat yang bervariasi. Sulawesi Selatan menduduki peringkat lebih
tinggi dibandingkan dengan Sulawesi Utara, Tenggara, dan Tengah. Daerah ini berada di peringkat
ke-10. Keunggulan utama terletak pada sub indikator investasi, dengan peringkat
ke 2, ditambah dengan tabungan dan nilai tambah. Sulawesi Tengah menduduki
peringat terbawah dibanding dengan tiga Propinsi Sulawesi lainnya. Hampir semua
sub indikator daerah ini lemah, kecuali tingkat biaya hidup yang relatif lebih
rendah. Yang terlemah adalah rendahnya tingkat konsumsi, yang mencapai
peringkat 24, artinya dua dari bawah..
Variabel atau indikator Sumber Daya
Manusia diukur melalui ketersediaan dan kualitas sumber daya manusia.
Faktor-faktor SDM ini mempengaruhi daya saing berdasarkan prinsip-prinsip
berikut:.
.Angkatan
kerja dalam jumlah besar dan berkualitas akan meningkatkan daya saing suatu
daerah.
1.
Pelatihan dan pendidikan adalah
cara yang paling baik dalam meningkatkan tenaga kerja yang berkualitas
2.
Sikap dan nilai yang dianut oleh
tenaga kerja juga menentukan daya saing suatu daerah
3.
Kualitas hidup masyarakat suatu
daerah menentukan daya saing daerah tersebut.
Tabel :
Pemeringkatan Daerah Menurut Indikator Sumber Daya Manusia
Propinsi
|
Sumber Daya Manusia
|
SUB INDIKATOR
|
||||
Karakteristik Penduduk
|
Ketenaga- kerjaan
|
Pendidikan
|
Kualitas Hidup
|
Perilaku dan Nilai Sosial
|
||
DKI
Jakarta
|
1
|
23
|
1
|
1
|
1
|
2
|
DI
Jogyakarta
|
2
|
16
|
4
|
2
|
4
|
3
|
Jawa
Tengah
|
3
|
13
|
3
|
9
|
3
|
8
|
Jawa
Barat
|
4
|
22
|
6
|
4
|
2
|
10
|
Jawa
Timur
|
5
|
24
|
2
|
16
|
5
|
6
|
Kalimantan
Timur
|
6
|
14
|
9
|
7
|
6
|
5
|
Bali
|
7
|
18
|
5
|
18
|
7
|
1
|
Sumatera
Utara
|
8
|
4
|
10
|
3
|
9
|
11
|
Sulawesi
Utara
|
9
|
20
|
7
|
17
|
10
|
4
|
Lampung
|
10
|
11
|
14
|
14
|
8
|
9
|
Sumatera
Selatan
|
11
|
15
|
12
|
11
|
14
|
13
|
Maluku
|
12
|
1
|
16
|
5
|
19
|
15
|
Sumatera
barat
|
13
|
6
|
18
|
10
|
12
|
17
|
Sulawesi
Selatan
|
14
|
5
|
17
|
20
|
11
|
7
|
Kalimantan
Tengah
|
15
|
9
|
13
|
21
|
17
|
12
|
Kalimantan
Selatan
|
16
|
26
|
8
|
19
|
18
|
14
|
Jambi
|
17
|
12
|
19
|
15
|
13
|
19
|
Bengkulu
|
18
|
17
|
15
|
13
|
20
|
23
|
Sulawesi
Tenggara
|
19
|
3
|
24
|
8
|
23
|
16
|
Riau
|
20
|
10
|
26
|
6
|
15
|
18
|
Sulawesi
Tengah
|
21
|
21
|
11
|
22
|
16
|
21
|
DI
Aceh
|
22
|
8
|
22
|
12
|
21
|
22
|
Kalimantan
Barat
|
23
|
19
|
20
|
24
|
24
|
20
|
Nusa
Tenggara Barat
|
24
|
25
|
21
|
23
|
25
|
24
|
Nusa
Tenggara Timur
|
25
|
2
|
23
|
25
|
22
|
26
|
Irian
Jaya
|
26
|
7
|
25
|
26
|
26
|
25
|
Semua propinsi yang berada di Pulau Jawa
memiliki peringkat yang sangat tinggi untuk aspek Sumber Daya Manusia. ,
demikian pula dengan Propinsi kalimantan Timur, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi
Utara dan Lampung. Peringkat tinggi ini (1 – 10) merupakan andil dari sub-indikator
ketenagakerjaan, pendidikan, kualitas
hidup, dan perilaku serta nilai sosial. Propinsi dengan kondisi sumber daya
manusia yang terlemah adalah propinsi Irian Jaya, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa
Tenggara Barat. Ketiga propinsi ini lemah di semua sub-indikator, kecuali NTT
dan Irian Jaya yang jumlah penduduknya
relatif sedikit dibandingkan dengan kebanyak daerah lainnya.
Dari empat propinsi di Sulawesi, yang
paling baik peringkat sumber daya manusianya adalah Sulawesi Utara. Daerah ini
lebih unggul di sub-indikator ketenagakerjaan dan perilaku dan nilai sosial.
Sulawesi Tengah berada di tingkat terbawah (peringkat 21) sedangkan Sulawesi
Selatan di peringkat menengah. Kelemahan
paling mencolok di masyarakat Sulawesi Tengah adalah tingkat pendidikan, yaitu
berada di peringkat 22, berarti keempat dari terbawah (26) .
Dalam laporan tersebut (hal 39)
dikemukakan bahwa yang juga menarik untuk dikaji lebih mendalam lagi adalah
keterkaitan antara aspek kuantitas dan kualitas SDM, di mana propinsi-propinsi
dengan peringkat indikator SDM yang tinggi, umumnya memiliki kuantitas penduduk
yang rendah, tetapi di lain pihak memiliki kualitas penduduk yang baik. Sementara
itu, pada propinsi-propinsi dengan peringkat menengah maupun rendah, yang
terjadi adalah sebaliknya, di mana peringkat kuantitas SDM cenderung berada di
atas, sementara kualitasnya berada di bawah rata-rata nasional.
Untuk mencari besarnya hubungan antara
peringkat kemajuan Ekonomi Daerah dengan peringkat Sumber Daya Manusia Daerah
digunakan rumus statistik Rank Spearman dan hasilnya adalah sebagai berikut :
EKONOMI
|
SDM
|
|||
Spearman's rho
|
EKONOMI
|
Correlation Coefficient
|
1.000
|
.596
|
Sig. (1-tailed)
|
.
|
.001
|
||
N
|
26
|
26
|
||
SDM
|
Correlation Coefficient
|
.596
|
1.000
|
|
Sig. (1-tailed)
|
.001
|
.
|
||
N
|
26
|
26
|
**
Correlation is significant at the .01 level (1-tailed).
Hasil perhitungan di atas secara nyata
menunjukan bahwa ada kaitan antara kualitas sumber daya manusia dengan kualitas
perekonomian. Dengan nilai hubungan (r) sebesar 0,60 dan tingkat kepecayaan
99%, dapat disimpulkan bahwa di antara kedua variabel tersebut ada korelasi
yang relatif cukup kuat dan tidak bisa diabaikan. Memang dari hasil tersebut
dapat diartikan bahwa kualitas sumber daya manusia yang baik bisa membuat
ekonomi menjadi baik, tetapi juga bisa diartikan sebaliknya yaitu karena
ekonomi yang baik maka kualitas sumber daya manusianya yang baik Namun interpretasi yang paling utama adalah
jika kita ingin membangun perekonomian maka kualitas sumber daya manusia jangan
diabaikan, demikian pula jika ingin mengembangan sumber daya manusia, juga
tidak bisa mengabaikan pertumbuhan ekonomi.
Dalam indikator kualitas Sumber Daya
Manusia Daerah, terdapat lima sub-indikator, yaitu : karakteristik penduduk,
ketenagakerjaan, pendidikan, serta perilaku dan nilai sosial masyarakat. Dari
ke lima sub indikator ini ternyata sub indikator pendidikan memberikan
sumbangan terbesar, berdasarkan perhitungan di bawah ini :
PENDIDIK
|
SDM
|
|||
Spearman's rho | ||||
PENDIDIK
|
Correlation Coefficient
|
1.000
|
.668
|
|
Sig. (1-tailed)
|
.
|
.000
|
||
N
|
26
|
26
|
||
SDM
|
Correlation Coefficient
|
.668
|
1.000
|
|
Sig. (1-tailed)
|
.000
|
.
|
||
N
|
26
|
26
|
Dengan korelasi sebesar 0,69
maka diperoleh koefisien determinasi sebesar kira-kira 49% yang artinya skor
kualitas Sumber Daya Manusia dalam
penelitian tersebut sebagian besarnya disebabkan karena pendidikan formal dan
non formal.
Temuan lain dari data penelitian
tersebut akan menambah daftar betapa pentingnya sumber daya manusia bagi
pembentukan daya saing antar daerah. Dalam laporan tadi diurutkan Daya Saing
Daerah berdasarkan peringkat. Yang paling berdaya saing menduduki peringkat ke
1 (satu), sedangkan yang paling rendah daya saingnya menduduki peringkat ke 26
(dua puluh enam). Jika diurutkan maka
munculah tabel seperti di bawah
ini :
Tabel : Pemeringkatan Daerah
Propinsi Secara Keseluruhan
P r o p i n s i
|
Peringkat
|
P e r i n g k a t I n d i k a
t o r U t a m a
|
||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
VII
|
VIII
|
IX
|
||
DKI Jakarta
|
1
|
1
|
3
|
1
|
1
|
1
|
1
|
18
|
21
|
1
|
Kalimantan Timur
|
2
|
3
|
2
|
16
|
2
|
12
|
6
|
1
|
2
|
6
|
Jawa Timur
|
3
|
9
|
1
|
10
|
3
|
3
|
5
|
14
|
16
|
2
|
Jawa Tengah
|
4
|
4
|
6
|
5
|
9
|
10
|
3
|
3
|
4
|
8
|
Bali
|
5
|
12
|
7
|
6
|
8
|
4
|
7
|
4
|
5
|
7
|
DIY Yogjakarta
|
6
|
7
|
15
|
8
|
15
|
2
|
2
|
9
|
8
|
3
|
Jawa Barat
|
7
|
2
|
5
|
15
|
13
|
5
|
4
|
16
|
19
|
5
|
Sulawesi Selatan
|
8
|
10
|
17
|
12
|
5
|
8
|
14
|
11
|
7
|
9
|
Lampung
|
9
|
19
|
14
|
4
|
18
|
6
|
10
|
10
|
15
|
4
|
Kalimantan Tengah
|
10
|
8
|
18
|
9
|
12
|
17
|
15
|
5
|
1
|
15
|
Riau
|
11
|
5
|
4
|
11
|
4
|
20
|
20
|
20
|
10
|
10
|
Sumatera Utara
|
12
|
6
|
8
|
14
|
7
|
11
|
8
|
22
|
22
|
11
|
Sulawesi Utara
|
13
|
15
|
12
|
18
|
10
|
9
|
9
|
7
|
20
|
16
|
Kalimantan Selatan
|
14
|
23
|
20
|
13
|
6
|
7
|
16
|
15
|
17
|
12
|
Jambi
|
15
|
20
|
11
|
2
|
22
|
22
|
17
|
8
|
6
|
13
|
Sumatera Selatan
|
16
|
14
|
13
|
7
|
16
|
15
|
11
|
17
|
18
|
14
|
Sumatera Barat
|
17
|
16
|
26
|
20
|
14
|
14
|
13
|
6
|
11
|
17
|
Sulawesi Tenggara
|
18
|
18
|
21
|
21
|
23
|
19
|
19
|
2
|
3
|
20
|
Sulawesi Tengah
|
19
|
21
|
24
|
19
|
17
|
16
|
21
|
12
|
9
|
18
|
Nusa Tenggara Barat
|
20
|
13
|
9
|
3
|
21
|
26
|
25
|
13
|
12
|
22
|
Nusa Tenggara Timur
|
21
|
24
|
23
|
23
|
19
|
18
|
24
|
21
|
13
|
23
|
Kalimantan Barat
|
22
|
16
|
16
|
17
|
20
|
25
|
23
|
25
|
23
|
19
|
Maluku
|
23
|
26
|
19
|
25
|
26
|
13
|
12
|
24
|
14
|
21
|
Irian Jaya
|
24
|
17
|
10
|
24
|
11
|
24
|
26
|
23
|
24
|
25
|
Bengkulu
|
25
|
25
|
25
|
22
|
25
|
21
|
18
|
19
|
25
|
24
|
Aceh
|
26
|
22
|
22
|
26
|
24
|
23
|
22
|
26
|
26
|
26
|
Keterangan :
I.
: Perekonomian Daerah V
: IPTEK
IX : Manajemen
II.
: Keterbukaan VI : SDM dan Ekonomi Mikro
III.
: Sistem Keuangan VII : Kelembagaan
IV.
: Infra Struktur dan SDA VIII : Governance/Kebijakan
Untuk mengetahui indikator-indikator
mana yang paling banyak memberikan andil pada pencapaian peringkat daya saing
daerah, maka digunakan perhitungan korelasi di antara masing-masing peringkat
indikator utama dengan peringkat daya saing daerah. Dari hasil perhitungan
dengan menggunakan rumus korelasi Spearman Rho – rumus yang digunakan untuk
menghitung besarnya korelasi antara dua variabel yang berskala ordinal –
hasilnya adalah seperti berikut :
Hubungan antara Peringkat Daya
Saing Daerah dengan Peringkat :
a.
Perekonomian Daerah adalah 0,773
b.
Keterbukaan adalah 0,629
c.
Sistem Keuangan adalah 0,663
d.
Infra Struktur dan SDA adalah
0,771
e.
IPTEK adalah 0,788
f.
Sumber Daya Manusia adalah
0,828
g.
Kelembagaan adalah 0,546
h.
Governance dan Kebijakan adalah
0,436
i.
Manajemen dan Ekonomi Mikro 0,943
Jika diberi peringkat maka Manajemen dan
Ekonomi menduduki peringkat I , Sumber Daya Manusia peringkat II, Iptek peringkat III, Perekonomian Daerah
peringkat IV, Infra Struktur dan Sumber Daya Alam peringkat ke V, Sistem
Keuangan peringkat ke VI, Keterbukaan peringkat ke VII, Kelembagaan peringkat ke VIII, dan yang
terakhir Governance dan Kebijakan Pemerintah peringkat ke IX. Makna dari hasil
perhitungan ini adalah bahwa berhasil atau tidaknya pembangunan suatu daerah
lebih banyak terkait dengan aktivitas masyarakat dalam berusaha, sumber
daya manusianya, serta pada perkembangan teknologi. Peran pemerintah
diperlukan, namun lebih banyak bertindak sebagai falitator .
Dari hasil di atas tampak dengan jelas
bahwa hubungan antara kondisi Sumber Daya Manusia dengan kemampuan Daya Saing
Daerah cukup signifikan. Daerah yang
memiliki daya saing dengan peringkat 1 s/d 7 , peringkat kualitas sumber daya
manusianya berkisar 1 s/d 7 pula. Sedangkan daerah yang mempunyai daya saing
peringkat rendah ( 20 s/d 26), juga peringkat kualitas sumber daya manusianya
sebagian besar di antara 20 s/d 26. Maknanya, tanpa didukung oleh kualitas dan
kuantitas Sumber Daya Manusia yang memadai, pembangunan daerah di era otonomi
daerah ini, akan mengalami kegagalan.
Agar memperoleh gambaran lebih lengkap,
perlu juga diketahui indikator-indikator apa saja yang dihitung untuk bisa
menetapkan peringkat kondisi sumber daya manusia daerah. Indikator tersebut
meliputi (1) Angka Ketergantungan, yaitu jumlah penduduk yang tidak produktif,
(2) Tingkat Harapan Hidup, (3) Angkatan Kerja, (4) Laju Pertumbuhan Angkatan
Kerja, (5) Persentase Penduduk Usia Produktif terhadap Total Penduduk, (6)
Laju Pertumbuhan Penduduk Usia Produktif, (7) Tenaga Kerja Akhli, (8) Jumlah
Penduduk yang Bekerja, (9) Persentase Penduduk yang Bekerja terhadap Total
Penduduk, (10) Prospek Kesempatan Kerja , (11) Pertumbuhan Penyerapan Tenaga
Kerja, (12) Pengangguran, (13) Tingkat Partisipasi SD, (14) Tingkat Partisipasi
SLTP, (15) Tingkat Partisipasi SLTA, (16) Tingkat Partisipasi Perguruan
Tinggi, (17) Rasio Jumlah Guru terhadap Murid SD, (18) Rasio Jumlah Guru
terhadap Murid SLTP, (19) Rasio Jumlah Guru terhadap Murid SLTA, (20) Angka
Melek Huruf, (21) Laju Pertumbuhan Angka Melek Huruf, (22) Lama Pendidikan,
(23) Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Idex), (24) Populasi
Penduduk Perkotaan, (25) Kualitas Pelayanan Kesehatan, (26) Fleksibilitas dan
Adaptabilitas Menghadapi Tantangan Baru, (27) Kesetaraan dan Kesempatan
Memperoleh Pelayanan, (28) Nilai-nilai Kemasyarakatan – kerajinan, kebersihan,
perilaku, dsb)
Penutup
Sebagai penutup dari tulisan pendek
ini, perkenankan penulis memaparkan selintas daya saing dari daerah Sulawesi
Tengah, di mana Palu merupakan ibu kotanya. Secara keseluruan peringkat daya
saing propinsi ini pada tingkat 19, yaitu tingkat yang sudah mendekati
kategori rendah. Perekonomian Daerah pada peringkat 21, Keterbukaan pada
peringkat 24, Sistem Keuangan pada peringkat 19, Infra Struktur dan Sumber
Daya Alam pada peringkat 17, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada peringkat 16,
Sumber Daya Manusia pada peringkat 21, Kelembagaan pada peringkat 12, Governance dan
Kebijakan Pemerintah pada peringkat 9 (transparansi dan kosistensi kebijakan
pemerintah daerah) , Manajemen dan Mikroekonomi pada peringkat 18.
Mengingat nilai sumber daya manusia
ternyata sangat penting bagi pembangunan daerah, dan skor hubungan antara
kualitas sumber daya manusia dengan pendidikan relatif tinggi ( 0,69) , maka
sudah seharusnya pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi Sulawesi
Tengah menganggarkan biaya pendidikan serta pengembangan sumber daya manusia
secara lebih memadai lagi. Partisipasi masyarakat untuk mengikuti jenjang
pendidikan SD, SLTP, dan SLTA harus segera ditingkatkan karena dibandingkan
dengan propinsi lainnya, diketiga jenjang pendidikan tersebut Sulawesi Tengah
hanya mncapai peringat 21 dan 22. Partisipasi masyarakat di jenjang Pendidikan
Tinggi ternyata lebih baik, dan berada di peringkat 14, sayangnya pendidikan program
studi manajemen hanya mencapai peringkat 25, padahal sub-indikator ini
memberikan nilai yang tertinggi terhadap pembentukan daya saing daerah.
Palu, 30 Oktober 2002
Sumber Bacaan :
Adhitya Wardhono dan Asep Mulyana, Sumberdaya Padat Otak
dan Otonomi Daerah, Makalah untuk Semiloka Otonomi Daerah di Frankrut, 2001.
Akhmad Subagya , Mulai dari Kabupaten : Mekanisme dan
Implementasi Otonomi Daerah, Anggota
Dewan Konsultasi Otonomi Daerah Kabupaten Bantul, dan Ketua DPC PPP Kabupaten
Bantul, 2002.
Deddy Supriadi Bratakusumah, Kompetensi Aparatur Dalam
Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Publik
Nomor 1, Centre for Public Policy and Management Studies Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, 2002
Desi Fernanda, Signifikansi Struktur, Kultur, Prosedur,
dan Figur dalam Reformasi Administrasi Publik Daerah Otonomi, Jurnal
Administrasi Publik Nomor 1, Centre for Public Policy and Management Studies
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, 2002.
Muadim Bisri,
Melacak Problematika Otoda, Laboratorium Konsultasi Pelayanan Hukum
Universitas Muhamadiyah Malang, 2002.
Piter Abdullah, Cs., Daya Saing Daerah : Konsep dan
Pengukurannya di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksetralan Bank
Indonesia, BPFE-Yogyakarta, 2002.
Syaikhu Usman, Regional Autonomy in Indonesia : Field
Experiences and Emerging Challenges,
The SMERU Research Institute, 2002.
0 comments:
Post a Comment