Thursday 21 June 2012

Optimalisasi Potensi Desa

Desa adalah merupakan perwujudan geografis yang ditimbulkan oleh unsur-unsur yang terkandung didalamnya baik fisiografis, sosial, ekonomi-politik, maupun kultural dalam hubungan dan pengaruh timbal baliknya dengan daerah lain, begitu kiranya pengertian desa menurut R. Bintarto. Deifinisi ini setidaknya memberikan gambaran adanya potensi-potensi yang terkandung didalam sebuah desa. Potensi desa sendiri secara umum terbagi menjadi dua, yaitu potensi fisik dan nonfisik. Potensi fisik desa meliputi tanah air, iklim dan cuaca, serta flora dan faunanya. Sedangkan potensi non fisiknya meliputi masyarakat desa, lembaga-lembaga sosial desa, dan aparatur desa. Kedua potensi ini merupakan satu entitas yang tak terpisahkan dan harus terintegrasi dengan utuh untuk menciptakan kemandirian desa.
Desa yang dalam fungsinya sebagai hinterland, yakni pemasok kebutuhan pokok bagi daerah lainnya terutama perkotaan, perlu membenahi diri khususnya dalam hal pengelolaan dan optimalisasi potensi-potensi yang ada. Kebutuhan primer masyarakat kota seperti beras, gula, garam, sayuran, daging, ikan, dan lain-lainnya, tidak lain adalah produk kekayaan alam dan hasil bumi yang terdapat di pedesaan. Inilah yang seharusnya dipahami oleh masyarakat desa, bahwa jika seluruh potensi desa dioptimalkan, tentu akan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lingkungan.

Tetapi ketika berbicara kondisi faktualnya, sebagian besar desa dari jumlah keseluruhannya di negeri kita belum mampu mengelola dan mengembangkan potensinya dengan optimal. Hal ini tentu saja bukan karena tidak adanya kendala dan hambatan yang menyertai proses pembangunannya menuju kemandirian. Banyak sekali hal yang justru menjadi kendala dalam mengelola potensi desa sendiri. Disparitas pembangunan antara kawasan perdesaan dan perkotaan merupakan salah satu problematika yang menjadi kendala dalam pembangunan desa. Lebih terpusatnya pembangunan di kawasan perkotaan mengakibatkan masyarakat desa sulit mengakses terhadap sumber daya energi, sehingga memungkinkan mereka memiliki peluang yang lebih kecil untuk sejahtera. Hal inilah yang menjadi alasan derasnya arus migrasi masyarakat desa ke kota-kota besar, bahkan ke negeri lainnya. Semata-mata karena minimnya kegiatan perekonomian di perdesaan yang berimbas ke sektor lapangan pekerjaan. Ketimpangan dan kesenjangan pembangunan yang berujung pada tidak seimbangnya tingkat kesejahteraan antarwilayah ini, memicu naiknya angka kemiskinan di tingkat daerah. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2008 menunjukkan gambaran kemiskinan antarpulau terpusat di Pulau Jawa dan Bali yaitu sebanyak  20,2 juta jiwa, serta di Pulau Sumatra yang mencapai 7,3 juta jiwa. Namun, secara persentase tingkat kemiskinan terbesar terdapat di Papua yang mencapai 37,1 % dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia.
Ketimpangan pelayanan sosial dasar yang tersedia seperti pendidikan, kesehatan, hingga air bersih, juga turut mewarnai kondisi perdesaan yang kelabu. Berdasarkan statistik potensi desa, terdapat desa-desa di empat wilayah yang sulit mengakses fasilitas kesehatan, yaitu wilayah Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Gambaran ini setidaknya menunjukkan besarnya implikasi yang ditimbulkan dari kendala optimalisasi potensi-potensi desa.
Upaya peningkatan status desa menjadi kelurahan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan mempercepat kesejahteraan, memang sempat diyakini berbagai kalangan sebagai solusi dalam mengoptimalkan potensi desa. Seperti yang terjadi di desa-desa yang berada di kecamatan kota tertentu, konversi desa menjadi kelurahan ini membawa dampak positif terutama dalam hal tata kelola wilayah dan pemerintahannya. Hal ini tentu membawa implikasi terhadap munculnya tuntutan kepada aparatur kelurahan untuk menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Disamping itu juga, konversi ini akan mengintegrasikan desa, yang dalam hal ini telah berubah statusnya menjadi kelurahan, kedalam struktur pemerintahan daerah dibawah kecamatan, sehingga semua potensi beserta asetnya dikelola dan dikembangkan oleh pemerintah daerah untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam hal penyelenggaraan pemerintahannya, Kelurahan dipimpin oleh seorang lurah yang berstatus pegawai negeri sipil. Berbeda dengan kepala desa yang memiliki kewenangan yang lebih luas di desa, seorang lurah justru memiliki cakupan kewenangan yang lebih kecil. Hal ini tentunya dikarenakan sebagian urusan kelurahan telah terintegrasi menjadi urusan daerah. Jikalau ini dilaksanakan secara optimal oleh Pemerintah Daerah, maka pembangunan yang lebih merata di setiap kelurahan tentu akan tercapai, yang kemudian juga akan mempercepat kesejahteraan masyarakat.
Namun disisi lainnya, upaya konversi desa menjadi kelurahan ini tidak selalu memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat setempat. Tidak jarang terjadinya kasus tukar guling aset pemerintah daerah yang tidak semestinya berawal dari pengintegrasian aset desa kedalam aset daerah. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya kontrol masyarakat terhadap pelaksanaan pemerintahan dan pembangunannya. Hal lainnya yang menjadi sorotan utama ialah perihal pelayanan publik, dimana seorang lurah hanya mampu melayani masyarakatnya terbatas pada jam kerja yang ditentukan, berbeda dengan seorang kepala desa yang mampu melayani warganya hingga 24 jam tanpa hari libur. Ini tentu saja melenceng  dari prinsip utama konversi desa menjadi kelurahan yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik dan menpercepat kesejahteraan.
Upaya konversi desa dalam rangka optimalisasi potensi desa, sejatinya memang memiliki dampak positif dan negatifnya terhadap lingkungan masyarakat. Namun, yang perlu ditekankan dalam hal ini ialah bahwa kunci keberhasilan optimalisasi potensi desa terletak pada komitmen aparatur dan sinergitas antara warga masyarakat dengan perangkat yang ada di desa maupun kelurahan. Apapun bentuk dan statusnya, tentu tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya komitmen pemerintah dan peran aktif masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pembangunannya. Optimalisasi potensi desa memang seharusnya melibatkan semua pihak.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More