Thursday 21 June 2012

ADD Dalam Menunjang Pembangunan Desa

Written by Ardi
 Alokasi Dana Desa (ADD) adalah bagian keuangan desa yang diperoleh dari bagi hasil pajak daerah dan bagian dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten. Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa pada Pasal 18 dijelaskan bahwa Alokasi Dana Desa (ADD) berasal dari APBD Kabupaten/ Kota yang bersumber dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/ Kota untuk Desa, paling sedikit 10% (sepuluh persen). Konsep ADD sendiri sebenarnya bermula dari sebuah kritik dan refleksi terhadap model bantuan desa yang diberikan Pemerintah Pusat bersamaan dengan agenda pembangunan desa sejak tahun 1969. Dalam mendesign transfer keuangan pusat dengan daerah, Pemrintah pada saat itu ternyata masih melanjutkan tradisi Pemerintah sebelumnya. Ini terlihat dari masih berlakunya beragam jenis transfer keuangan yang ditujukan kepada desa, seperti Bantuan Desa (Bandes), Dana Pembangunan Desa (Bangdes), serta Inpres Desa Tertinggal (IDT). Yang kemudian ini ditransformasikan melalui regulasi terbaru yaitu Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tahun 2005 menjadi Alokasi Dana Desa (ADD).

Sesuai dengan Surat Edaran tersebut, ADD dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintahan Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. ADD juga merupakan wujud dari pemenuhan hak desa untuk menyelenggarakan otonominya agar tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan desa tersebut berdasarkan keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini tentu karena desa mempunyai hak untuk memperoleh bagi hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/ kota, dan bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/ kota.
Bagi Desa, Alokasi Dana Desa (ADD) merupakan fiskal transfer yang membantu dalam penyelenggaraan pembangunan desa menuju kemandirian. Secara umum, ADD atau di beberapa daerah disebut dengan Dana Alokasi Umum (DAU) Desa dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh Desa dan Masyarakat desa. Dana tersebut meskipun terbatas, namun telah mampu menjadi stimulan bagi pembangunan desa. Sebagian besar masyarakat desa berpendapat bahwa kebijakan ADD ini dirasa lebih bermanfaat dibandingkan dengan kebijakan Dana Pembangunan Desa dan Kelurahan (DPDK). Ini dikarenakan mekanismenya dirasa lebih transparan dan partisipatif, ditambah lagi pemanfaatannya yang lebih demokratis berdasarkan rembug desa. Ini tentunya sesuai dengan salah satu tujuan dari ADD sendiri yaitu meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemrintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.
Lahirnya ADD sebagai transformasi dan model baru transfer fiskal ke desa, memang menjadi harapan masyarakat desa akan terciptanya pembangunan daerah yang merata. Namun harapan ini tidak selalu didukung dengan praktek pelaksanaannya. Dalam beberapa tahun terakhir, terhitung hanya beberapa kabupaten saja yang mengalokasikan dana ke desa menurut perimbangan, sedang sebagian besarnya tidak mengalokasikan. Pemerintah Kabupaten/ Kota yang seharusnya memberikan ruang otonomi terhadap desa dalam mengatur rumah tangganya, justru mengganti alokasi dana tersebut dengan mekanisme proyek. Hal ini tentu saja menimbulkan persepsi dikalangan masyarakat bahwa selama ini pembangunan desa memang selalu diatur oleh Pemerintah Daerah dengan pola Top Down, meskipun pengusulannya dari Desa. Maraknya mekanisme pembangunan desa melalui proyek sendiri, tentu lebih berpotensi menimbulkan praktek korupsi didalamnya. Karena proyek tersebut, tidak selalu merupakan kebutuhan yang diharapkan masyarakat, melainkan kebutuhan yang dirumuskan oleh Pemerintah Daerah. Dan biaya pembangunannya pun bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari kaca pandang masyarakat.
Diakui atau tidak, gerakan pembangunan saat ini seringkali bias kepentingan politik. Atmosfir itu tentu akan berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata untuk semua warga. Dari sekian ribu desa yang ada di Negara Indonesia, ada beberapa desa yang didalamnya terus menerus mengalir berbagai proyek dari tahun ke tahunnya. Dan tidak sedikit pula desa yang tidak pernah mendapatkan bagian kue pembangunan tersebut. Bias kepentingan tersebut tentu dirasakan oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk diskriminasi pelayanan yang mereka terima. Kondisi seperti ini jikalau terus dibiarkan, dikhawatirkan akan menciptakan kecemburuan sosial antar masyarakat. Dan tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan rasa enggan, apatis, bahkan benci terhadap pemerintah.
Kondisi diatas merupakan salah satu potret kekecewaan desa atas sulitnya akses pembangunan dan harapan yang tak terpenuhi. Desa sudah menganggap tidak perlu lagi membuat usulan, karena toh usulannya pun kemungkinan kecil dipenuhi. Disisi lain, para pejabat Pemerintah Daerah seringkali menyampaikan hal tersebut dan menjadi pembenaran klasik atas kebijakan Top Down yang masih belum bisa dirubah sepenuhnya.\
Perlu disadari bersama, pola pembangunan seperti itu secara mendasar lebih menyulitkan pemerintah daerah dalam melaksanakan pelayanan publik maupun pembangunan secara lebih adil. Strategi pembangunan akan sulit diwujudkan karena asas pembangunan tidak didasarkan pada kebutuhan strategis, melainkan lebih besar pada urusan kepentingan. Sebaliknya, Pemerintah Daerah justru dibantu dalam meningkatkan pelayanan ketika desa turut berperan membangun lingkungannya. Pemerataan pembangunan akan terwujud jika daerah memberikan kesempatan luas kepada desa untuk turut membangun melalui strategi alokasi dana yang proporsional kepada desa. Hal ini bisa dimengerti karena desa sudah mendapatkan apa yang menjadi harapannya, membangun desanya sesuai aspirasi warganya. Maka sebagian perhatian mereka pun akan ditumpahkan kapada bagaimana mewujudkan cita-cita desa dan memperbaiki kemakmuran rakyatnya.
Desa merupakan potensi pembangunan yang besar bagi daerah. Pembangunan dengan melibatkan langsung masyarakat desa, menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan desa melaui mekanisme proyek. Budaya gotong-royong, gugur gunung, sambatan, dan semacamnya merupakan potensi sosial yang masih hidup didalam masyarakat desa dan harus dilestarikan. Memberikan kesempatan luas kepada masyarakat desa dalam mengtur rumah tangganya sendiri dengan memberikan kewenangan disertai dengan biaya perimbangan akan mempercepat pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan menciptakan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata.

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More