Semrawutnya penyelenggaraan pelayanan publik disebabkan karena prosedur layanan tidak jelas atau sengaja dibuat abu-abu sehingga menjadi area yang subur bagi tumbuhnya praktek penyelewengan. Ombudsman Republik Indonesia melaporkan tahun 2008 menerima 1.244 laporan dari masyarakat maupun hasil investigasi inisiatif Ombudsman. Laporan masyarakat yang dikirim lewat surat ada 523 buah, laporan langsung 461 buah, telepon 219 buah, internet 30 buah, dan inisiatif Ombudsman 11 buah.
Isi laporan yang disampaikan masyarakat meliputi banyak hal, paling banyak terkait dengan penundaan berlarut (41,62 prosen). Soal-soal lain yang dilaporkan meliputi tindakan sewenang-wenang (18,99 prosen), tidak menangani (12,93 prosen), bertinak tidak adil (11,72 prosen), penyimpangan prosedur (11,52 prosen), permintaan imbalan uang atau korupsi (7,27 prosen),tidak kompeten (6,06 prosen), melalaikan kewajiban (5,86 prosen), bertindak tidak layak (4,44 prosen), dan penyalahan wewenang (2,42 prosen), Lainnya soal keberpihakan nyata, persekongkolan, dan sebagainya.
Melihat data di atas, permasalahan transparansi menjadi kebutuhan mendesak dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Lewat SK Men PAN Nomor 26 Tahun 2004, negara kita mencoba menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Transparansi berarti warga dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan tugas dan kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik, sejak dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atau pengendalian. Dalam SK MenPAN Nomor 26 Tahun 2004 ada sepuluh tingkatan yang diharuskan menerapkan prinsip keterbukaan, yaitu:
1. Manajemen dan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Transparansi terhadap manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atau pengendalian oleh masyarakat. Seluruh kegiatan tersebut harus dapat diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat.
Isi laporan yang disampaikan masyarakat meliputi banyak hal, paling banyak terkait dengan penundaan berlarut (41,62 prosen). Soal-soal lain yang dilaporkan meliputi tindakan sewenang-wenang (18,99 prosen), tidak menangani (12,93 prosen), bertinak tidak adil (11,72 prosen), penyimpangan prosedur (11,52 prosen), permintaan imbalan uang atau korupsi (7,27 prosen),tidak kompeten (6,06 prosen), melalaikan kewajiban (5,86 prosen), bertindak tidak layak (4,44 prosen), dan penyalahan wewenang (2,42 prosen), Lainnya soal keberpihakan nyata, persekongkolan, dan sebagainya.
Melihat data di atas, permasalahan transparansi menjadi kebutuhan mendesak dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Lewat SK Men PAN Nomor 26 Tahun 2004, negara kita mencoba menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Transparansi berarti warga dapat mengetahui bagaimana pelaksanaan tugas dan kegiatan penyelenggaraan pelayanan publik, sejak dari proses kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atau pengendalian. Dalam SK MenPAN Nomor 26 Tahun 2004 ada sepuluh tingkatan yang diharuskan menerapkan prinsip keterbukaan, yaitu:
1. Manajemen dan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Transparansi terhadap manajemen dan penyelenggaraan pelayanan publik meliputi kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan atau pengendalian oleh masyarakat. Seluruh kegiatan tersebut harus dapat diinformasikan dan mudah diakses oleh masyarakat.